Monday, May 29, 2006

The twin's birthday



May 26 is Aji and Aunty Evi's 33th birthday. Look at them-- twin but do not look much alike.

In the morning, Aunty Evi shook Aji's hand, and they said " Happy b'day" to one another. No hug nor kiss. Why? That's the way they are.

There are two things about May 26 this year that Aji forgot: it was his b'day and it was Friday, not Thursday.

Aji did not remember his birthday until Aunty Evi congratulated him. Perhaps it works well that way for Aji --so if people forgot his b'day, he just would not bother at all.

Ibu prepared breakfast for Aji and Aunty Evi, but Aji said he was fasting. He thought that it was Thursday (as he often fasts on Mondays and Thursdays). Do'oh.

At lunch Wawa, Oom Subhan, Ameera and Azka came. Everybody enjoyed the yellow riice but those who were celebrating b'day: coz Aunty Evi was still in the office, Aji was fasting.

In the evening Wisnu and Alexa blew the candles and sang "Happy b'day" song happily. No b'day cake but two pieces of big donuts that Ibu made. The following days, those two kids would ask for blowing the candles over and over again.

Sunday, May 21, 2006

Balada mencari Play Group

" jadi wisnu mau sekolah dimana?"
"belum tahu...masih cari-cari" (baca: cari info sambil cari duitnya!)
"wahh...padahal kan sebentar lagi sudah bulan Juli"
" iya siiih.."

Begitulah pertanyaan yang dilontarkan kepada kami dan belum bisa kami jawab. Sungguh bukan hal mudah. Padahal sudah hampir 2 bulan kami mondar-mandir cari info, telepon sana-sini, mengikuti trial class sana-sini. Hasilnya? Makin bingung?

Kami yang tadinya berniat mencari sekolah "terbaik, ter-up-to-date" untuk Wisnu, jadi makin kebingungan. Rata-rata sekolah yang kami datangi untuk trial class malah jadi meragukan niat kami untuk menyekolahkan Wisnu di sana.

Kesimpulan sementara dari penjelajahan 2 bulan ini:

Pertama, hampir semua Play Group dan TK yang tersebar di Jakarta terkena wabah "Montessori". Dari sekolah kecil sampai sekolah mentereng mengklaim mengadopsi metode Montessori. Terus terang, kami saja yang pernah sedikit berkenalan dengan filosofi pengajaran untuk anak usia dini (gara-gara menerjemahkan buku dan mneginterpret untuk sebuah NGO yang membantu proyek Diknas untuk melatih para guru dan kepsek TK seluruh Indonesia) tidak bisa sepenuhnya paham kegiatan belajar berbasis montessori.

Yang lucu , ada sekolah yang berani bilang "kami mengambil metode montessori hanya untuk kegiatan motoriknya saja". Dalam hati, bukankah yang namanya metodologi tidak bisa sepotong sepotong diambilnya?

Terus ada sekolah yang mengatakan" kalau kami sih asli montessori dari singapura, saya (kepseknya) belajar di Singapur". Loh bukankah yang namanya Maria Montessori itu aslinya orang Italia dan kemudian sesudah beliau meninggal partnernya yang bernama Helen Khraust menyebarkan penelitian lebih lanjut ke Amerika dan Jepang? Herannn....

Soal Montessori ini bukan satu-satunya "bahaya". Mungkin anda tahu, bahwa beberapa sekolah tersebut pun menyatakan dengan berani bahwa mereka menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Tunggu dulu, bukan lantaran ibu guru bahasa Inggris jadi semangat memilih sekolah semacam itu....tapi begitu melihat keadaan dalam kelas, lahhhh...malah mengkhawatirkan!! Gurunya sendiri masih kesulitan menggunakan bahasa inggris yang baik, benar, alih-alih bisa dimengerti oleh siswanya. Nah kalo gurunya mencontohkan bahasa yang salah, kan judulnya Wisnu bakal belajar yang salah terlebih dahulu. Argggghh!!! Kenapa sih musti memaksakan "trend bilingualism"?

Belum lagi urusan kurikulum sekolah tertentu yang dengan optimis berniat mengajarkan "matematika dan membaca" sedini mungkin. Ada seorang kawan yang bercerita bahwa guru sekolah TK tega-teganya menghukum siswa dikurung di kamar mandi yang gelap karena anak tersebut tidak bisa menulis dengan rapi. Hiii...bergidik rasanya membayangkan anak umur 4 tahun menangis tersedu-sedu untuk pemaksaan hal yang tak perlu.

Kami tidak meminta agar Wisnu menjadi anak jenius. Sungguh tidak. Memang pasti bangga kalau anak kami bisa lebih menonjol dibanding anak-anak lain, namun sesungguhnya ada hal yang lebih penting dibanding itu semua: ia diberi kesempatan untuk mengembangkan potensinya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Selebihnya, kami sebagai orang tua hanya bisa berdoa, memberikan dukungan moral, mengusahakan dana. Begitu bukan?




http://imsmontessori.org/whatismontessori.htm
http://www.edith.nl/telmie2/reforped/princm/princm.html

Tuesday, May 16, 2006

(Pura-pura) Bikin donat dan milk shake sendiri


Dasar ortu pengangguran (ibu: cuti hamil di luar tanggungan kantor, aji: nunggu penempatan setelah pulang tugas belajar), kita cari-cari kegiatan dehhh...

Ceritanya tgl 14 Mei kemarin, Wyeth Gold Club ngadain acara lagi. Kali ini acara bikin donat dan milk shake. Karena aji udah bolos latihan aikido beberapa kali, jadinya ibu sendirian yg menemani Wisnu mengikuti kegiatan ini.

Kegiatan ini diselenggarakan di Jakarta City Center, sebuah mall baru di belakang ex Hotel Indonesia. Waktu kita sampai di sana, ternyata bakalan banyak pesertanya.

Yang judulnya bikin donat sendiri....menjadi sebuah ajang keruwetan. Entah kenapa, para bocah yang semestinya lebih diberi kesempatan untuk bereksplorasi dengan mengaduk-aduk terigu, mentega dan air malah dikalahkan oleh pendampingnya yang kelihatannya lebih "heboh" memperebutkan bahan adonan. Teriakan-teriakan seperti , "mas, minta tepungnya lagi dong" atau "mbak, kurang nih menteganya" atau "yaa, gemana sih, saya belum kebagian airnya nih, mas, mas, sebelah sini dooong". Jelas aja para anak-anaknya malah jadi bengong.

Setelah mengaduk-aduk adonan donat dan membentuknya menjadi donat, ternyata adonan itu bukanlah yang akan digoreng untuk kemudian disantap para pembuatnya. Ternyata sudah dipersiapkan donat matang oleh panitia untuk dihias anak-anak ini. Nah ini dia. Icing sugar dan kacang plus meises untuk mendekorasi donat pun jadi bahan pergulatan. Bayangkan saja, ada anak yang sudah memakan donatnya dengan tenangnya mencelupkan donatnya yang bertekstur giginya (karena bekas gigitannya) di atas icing sugar, alahhhh.... !!!! Sedangkan yang berusaha sabar menunggu giliran akhirnya malah tidak kebagian. Panitia pun kelihatan bingung menghadapai teriakan dan protes sana-sini.

Itu belum menggambarkan sepenuhnya kehebohan para emak yang (mungkin) kelaparan juga ingin mencicipi milk shake. tadinya kami pikir anak-anak mendapat kesempatan untuk mencoba sendiri membuat milk shake. Apanyana, Ternyata cuma ada 3 orang staff wyeth untuk mencampur ice cream dan air plus membagikan gelas, sedotan serta menuangkan milk shake ke gelas-gelas peserta. Kehebohan pertama, tidak semua orang kebagian gelas (apalagi sedotannnya). Ada juga akhirnya gelas tambahan yang datang tapi ukurannya sangat kecil dan tentu saja langsung diprotes oleh para ibu tersebut. uehhhhh.....Kemudian, ternyata ada yang kebagian milk shake dan minta tambah, sebagian lagi belum kebagian sama sekali.

Ibu udah malessss.... berebutan sama orang, jadi nunggu aja pasrah. Eh ternyata ada salah satu ibu pendamping yang rada berangasan tapi baik hati yang dengan lantang berteriak, " rani, rani, ibu ini yang disebelah saya belum kebagian gelas. mana sini, kasih satu gelas!".Wisnu karena cemas, terus-terusan menghisap jempol. Sesudah para peserta bubar, barulah Wisnu kelihatan relax dan berceloteh kepada Ameera, Azka dan Alexa.

Kalau dipikir-pikir, mestinya acara macam ini (yang pake bagi-bagi makanan) harus lebih diantisipasi. Bukannya kenapa-kenapa, kalau mengenai makanan kayaknya orang kita pasti berebutan. Lihat aja kalo acara kondangan, orang-orang berebutan mengambil makanan sebanyak-banyaknya walaupun akhirnya mereka tidak menghabiskan porsi yang sudah diambil, sedangkan orang lain tidak kebagian makanan. Belum lagi acara dorong-dorongan segala.

Mustinya acara macam begini dari awal registrasi, semua peserta sudah dibagikan alat-alat makan satu-satu yang diberi nama, jadi tidak terjadi kecurangan atau rebut-rebutan. Tapi ya gitu dehhhh..emang lebih enak kritik orang lain dibanding dikritik....!!!

Thursday, May 11, 2006

Emergency Room : do not expect too much

Akira is very different from Wisnu. He does not cry a lot eventhough he bumped his head into the wall or fell down while crawling. He never got cranky but still had good appetite, drank the same amount of milk, ate the whole portion of his meal when he got the chicken pox. We took it for granted he would be in the good shape despite the fact that Wisnu, Alexa and some other people living at the same house were catching a cold.

We hardly took Akira out because we were trying to protect him before he got the complete Indonesian vaccination. Japanese government only required few kinds of vaccination for babies less than a year: DPT (3 times), BCG, and Polio (1x). On the other hand, Indonesian babies –even less than a year—will have to be injected with DPT (4 times), BCG , Polio (4 x), Morbili, HiB (2x), Hepatitis B (3x). For a month in Jakarta, we did not have a chance to visit a pediatrician to consult, until last Friday.

Last Friday was really the whole day for Akira. In the morning, mbak Anis, the nanny, reported that Akira had a temperature—38 degrees celcius and he refused to eat. We needed to take him to the doctor soon but the clinic would open at 5. We did managed to see dr. Srie Enggar in Duren Tiga Hospital and the doctor said Akira had somewhat inflammation in his throat. Akira was given antibiotics and vitamins.

We got home by 7 p.m and got Akira drink his medicine. Surprisingly at 10 p.m his body temperature raised by 40.2 degrees celcius and his body was trembling. We ran him to the emergency unit at Harapan Kita hospital because we thought this was the only hospital who has the stand-by pediatrician around the clock.

When we arrived at the Emergency Unit, there were two children and an adult waiting for the doctor. As soon as the doctor showed up, we mentioned that Akira has a temperature. The doctor touched Akira’s forehead and surprisingly he said, “The temperature is very high. I suggest that he be hospitalized for observation.” Aji and Ibu were taken aback. How could he say so without checking Akira’s throat, or at least check with the thermometer to see Akira’s condition? Aren’t he supposed to examine a patient before deciding something???

Aji was speechless. Ibu took a deep breath and said, “ Wait, doctor, for your information, our son had never been this sick back in Yokohama, by the way, we just arrived here a month ago. As the matter of fact, we saw a pediatrician this afternoon and she said it’s due to the change of weather, our son had tonsils inflammation. The doctor prescribed Amoxylin (antibiotics) and some other medicines. We took our son here because we were afraid that he might get a seizure because of high temperature.”

The doctor looked relieved – we wonder why—and finally uttered, “ All right then, just continue taking the medicine. It might take some time for the antibiotics to work. Give your son paracetamol (medicine to reduce his temperature) every four hour if he still has a temperature. We are going to give him a suppository paracetamol from his rectum now.”

Aji and ibu agreed. So we waited for the suppository paracetamol. One of the nurses even suggest that we wipe Akira’s body with warm towel to help reduce the temperature. She even showed us how while waiting for the medicine. Akira looked calmer and better.

Then we asked a prescription for more suppository paracetamol, as it is more effective for high temperature. After that, we headed home.

We got home by 11.30 P.M and checked Akira’s body temperature—still 39 degree celcius but he already happily clapped his hands and babbled. He did not look like a baby who was having a high fever. We almost could not believe that we just ran him to the ER where we could find no good pediatrician but merely a general practitioner who had no much idea about handling babies for emergency situation.

The things that we learned from the incidence was that as patients or the family of a patient we need to try to state our opinion instead of leaving it to the doctor's decision. Beside that, a big hospital such Harapan Kita does not guarantee effective treatment, let alone the Emergency Unit. Doctors are only human beings, anyway. What do you expect for Rp 50,000 ???