Sunday, July 12, 2009

Menyongsong pendidikan gratis 9 tahun


Pemerintah mencanangkan pendidikan 9 tahun gratis. Pelaksanaan di lapangan ? Ha,ha. Seperti judul sinteron di negeri ini atau juga judul lagu dangdut yang meledak : too good to be true. Dramatis. Fantastis. Bombastis. Sekaligus: Miris, Ironis, Bikin Meringis.

Bagi saya yang (tadinya) memilih jalur alternatif bagi pendidikan usia dini, alih-alih ikutan hompimpa alaihum gambreng mendaftarkan anak di play group atau TK seperti ibu-ibu lainnya, konsep homeschool lah yang kami terapkan. Home = rumah, School = sekolah, kesimpulan= sekolah di rumah saja.
Istilah yang terlalu sophisicated itu biasanya disambut dengan respon orang ala permen nano-nano (macam-macam rasanya), seolah konsep itu salah total, dosa besar, atau apalah lainnya. Daripada membela diri, mengkampanyekan program kegiatan belajar di rumah untuk anak, saya lebih menikmati nyengir di bibir dan dalam hati.

Homeschool ala saya adalah Pertama, mendownload tahap perkembangan sesuai usia anak; Kedua, mencari referensi kurikulum yang sesuai dengan tugas perkembangannya yang hasilnya kurikulum Indonesia dicampur yang asing; Ketiga, berburu topik kombinasi dari kurikulum tadi; Keempat berburu buku, software, games on line, website yang aman tapi menarik untuk tema2 itu; Kelima membuat daftar kegiatan untuk belajar sehari-hari. Repot? emang! Kata siapa ngajar itu gampang?

Kemampuan saya untuk mengajar tingkat Tk terbatas, dalam arti untuk aspek seni (musik, visual, kerajinan tangan) saya harus menyerahkan anak ke dalam bimbingan guru kursus.Jadi? ya, selain di rumah, belajar di tempat kursus! Emang ada larangan kursus untuk anak TK? Ada kok kursus musik untuk balita, menggambar, kursus bahasa asing yang dikemas belajar kerajinan tangan. Olahraga? Suruh aja main ke lapangan dekat rumah, main sepeda, kursus berenang. Setelah menginjak usia 5 tahun, barulah Wisnu saya daftarkan TK B di sekolah beneran. Program belajar dirumah tetap berjalan beriringan.


Di usia 6 tahun, perburuan sekolah dimulai. Saya satroni sekolah berstandar nasional yang hanya menerima 30 siswa per angkatan. Dan hasilnya : ditolak mentah-mentah karena usia Wisnu belum 7 tahun. Lalu, saya ke SD percontohan dan ditampik karena alasan serupa. Tak patah arang, saya ke SD percontohan lain dan diijinkan mendaftar dan mengikuti ujian tertulis sampai wawancara segala.
Penguji : Namanya siapa?
Wisnu : Wisnu
Penguji : Mau sekolah di sini?
Wisnu : gak, mau di rumah aja, gak mau sekolah. Sekolah pulangnya lama!
Penguji : ibu dan bapak mendaftarkan anaknya kesini kenapa?
Ibu : (gombal mode on) blablabla
Penguji : o begitu ya, ya,ya,ya
Penguji : sekarang tes bahasa inggris ya, wisnu
Wisnu : (mengangguk)
Penguji : what's your name?
Wisnu : (mengangkat alis : bukannya tadi dah tau? napa nanya lagi?) Wisnu
Penguji : ok.... (kelihatan senang) what is your mom?
Wisnu : mom? (menoleh ke ibu) mom itu ibu ya?
Penguji : eeh...gak boleh nengok sana, what is your mom?
Wisnu : gak tau
Penguji : ...e.... what is your country?
Wisnu : country ? apa country? peta ya? itu! (menunjuk ke dinding)
GUBRAK
Penguji : ibu dan bapak, sekolah tidak memungut bayaran apa-apa.
ibu : oya?
Penguji : ya bu, namun kami tidak menutup kemungkinan seandainya bapak dan ibu mau menyumbangkan sesuatu untuk sekolah ini, apakah keberatan? jika tidak, tolong ditulis di sini, sebagai surat pernyataan apa yang akan disumbangkan.
GUBRAK-GUBRAK.
Kami hanya menulis "Kami bersedia memberikan apa yang dibutuhkan sekolah sesuai dengan kemampuan". Hal yang terjadi kemudian, pengumuman itu keluar dan bahwasanya Wisnu tidak diterima dengan alasan usia tidak cukup.
Ya sudah, berburu sekolah lain saja. SD reguler. SD biasa, tidak pake plus plus, tidak pake sumbangan. Sekolah yang kelasnya berisi 40 orang. Cihuy! Seragam putih-merah. 06.30 masuk sekolah. Gratis, gratis, gratis.

SD ini kebetulan sekolah tempat Aji sekolah dulu. Bahkan guru-gurunya adalah guru-guru Aji semua. Lucu juga, sejarah berulang. Dalam hati sih, semoga anak gue gak dibanding-bandingin sama Ajinya.
Buat seorang Wisnu, sekolah sungguh melelahkan. Pertanyaannya sekarang setiap pagi adalah , "Kenapa musti sekolah tiap hari? Wisnu mau di rumah aja. Belajar sama ibu sama Aji. Sekolah lama, badan Wisnu keringetan.

Aih...aih...salahkah diriku memperkenalkan belajar di rumah itu menyenangkan, wahai anakku?