Sunday, December 08, 2013

Salah dan salah dan salah


Saya salah.

Katakanlah saya punya beberapa teman yang saya "persepsikan"  cukup dekat. Bukan dekat di mata, apalagi di bbm, tapi jenis kedekatan ini yah lumayan lah untuk memberikan ruang bagi kami  masing-masing untuk ngomong sembarangan, nangis semaunya, ketawa terkekeh-kekeh, cela-celaan dan lain sebagainya tanpa berperan menjadi orang lain yang bukanlah diri kita.

Dan datanglah satu kabar, tentang satu keputusan besar yang dibuat salah satu teman ini. Kaget, pasti doooong. Respon yang diharapkan adalah saya mengucapkan selamat, jadi sederhana saja saya ucapkan selamat. Lalu?

Kemudian saya sadar : bagaimana mungkin saya masuk di suatu keadaan yang hanya menerima berita tentang rencana yang sudah ditetapkan, but tidak dilibatkan dalam prosesnya?

"You know your problem is, Ken?'
"what ?"
" You always want to fix people, that is your problem".

Saya buang muka. Barangkali kalau ada bak sampah yang besar, saya buang juga muka saya ini kesana dan memungutnya kembali besok.

Lalu saya tercenung. Apa salah saya jadi teman? Apa salah saya sehingga saya tertinggal dalam proses pembuatan keputusannya?


"emang lu temennya? lu aje kaliiii yang ge-er"

Yaiks. Jangan-jangan persepsi saya sahaja bahwa saya ini berteman dengannya. Emang penting banget yah? Penting buat siapaaaa?

" biasa ajaaaa kaliiiii"

ish. Saya bukan hanya mempermasalahkan keputusannya, cara pengambilan keputusannya, waktu penentuannnya, siapa yang sudah ditanya untuk mendukung keputusannya, SWOT analysisnya, bukti-bukti pendukungnya, benchmarkingnya, dan, dan, dan, dan....

Arrrrggggggh.

" emang kemaren-kemaren kemane ajeeee luuu?" 


Tuesday, October 15, 2013

ASTAGAAAA

  

Perkara 1
Adik : mas, mobil gue mogok mas, mana dompet gue ketinggalan lagi!  Bisa minta tolong kesini dan bawain duit cash buat mobil derek?
Kakak : boleh, berapa butuhnya?
adik   : sekian, ntar dari bengkel gue ambil dompet di rumah terus gue bayarin
 beberapa saat kemudian ...di lokasi,
Kakak : (ngomong sama pasangannya) kasiin tuh duitnya ke si adik     
ipar     : nih,  eh tapi (sambil narik duitnya) dibalikin nggak ? balikin bener yah
adik    : ???


Perkara 2
Ortu : ada 4 petak tanah yang akan saya bagikan kepada kalian, anak-anakku. A, kamu mendapat 1 petak. B, 1 petak, C 2 petak.
A     : wah, itu namanya pilih kasih, masak C dapat lebih banyak
B     : iya, tidak adil
ortu : baiklah, kalau begitu, C, tanah yang kau dapat tetap 2 petak, tapi yg 1 petak lagi harus kamu bayarkan kepada A dan B
C     : waduh. diakasih malah jadi repot.


Perkara 3
bawahan   : Pak, saya perlu advise untuk project X deadlinenya lusa. Kita musti pake program apa?
atasan       : wah, saya tidak bisa kasih advise. saya juga tidak tahu.
bawahan   : kalau bapak tidak tahu, nasib saya gemana dong pak?  (dalam hati, lu boss gue bukan?)
 atasan      : iyaaa, pokoknya ilmu saya tidak cukup.
bawahan   : *melotot kelojotan


Perkara 3
Perempuan 1 : mau coba? ini saya bikin lasagna.
Perempuan 2 : nggak, dulu di Amerika juga makan beginian kok.
Perempuan 1 : (apa siiiih maksudnyaaa?)


Perkara 4
Perempuan 2 : hasil kebun harus dibagi rata.
Perempuan 1 : ya, bagi aja
Perempuan 2 : singkong, jagung, pisang semua bagi rata
Perempuan 1 : ya, bagi aja
Perempuan 2 : pepaya juga
Perempuan 1 : pepaya baru berbuah 1 mau dibagi 3? ambil aje sono, gue bisa beli sendiri  di pasar





Monday, July 22, 2013

Rumah


Di usia yang 40 tahun ini ternyata saya sudah pernah tinggal di 18 tempat yang berbeda.



Rumah pertama yang saya diami adalah di Jalan Tebet Utara I no 50 C. Dengan halaman yang teramat luas, saya ingat di sebelah kiri halaman rumah dipenuhi pohon jambu air, alpokat, flamboyan nan kekar, pohon pisang. Sebelah kanan rumah pernah ditanami jagung, selebihnya ada pohon merak, dan jambu biji. Halaman yang luas ini benar-benar merupakan wadah saya  mengumpulkan teman-teman saya untuk bermain petak umpet, bentengan, dampu, pasar-pasaran, sampai drama bertemakan perang kemerdekaan. 15 tahun pertama kehidupan saya dihabiskan di rumah ini. Kami meninggalkan rumah ini karena anak ua merasa "lebih berhak" tinggal di properti ortunya yang selama ini dipercayakan kepada orangtua saya.

Selepas dari sini, ortu saya mengontrak rumah di JL Tebet Timur Dalam I L , yang hanya terdiri dari 2 kamar dan 1 ruang tamu dan selasarnya dijadikan ruang makan. Saat itu kedua abang saya sudah keluar dari rumah; yang pertama berlayar di kapal pesiar dan yang satunya lagi tinggal di asrama AIP. Yang saya ingat adalah saya cukup senang karena diberikan kamar sendiri sehingga saya sering menikmati berjam-jam membuat kartu ucapan sampai mata saya lamur dan harus berkacamata plus. Yang lucunya lagi, diumur yang 15 itu saya tengah naksir anak Pangudi Luhur yang nota bene guangteng dan tajir, sehingga  kalau sehabis bepergian, saya menolak habis-habisan diantar sampai ke rumah. Dan meski akhirnya sempat dekat dengan salah satu teman SMA, saya juga kucing-kucingan untuk tidak ditemui di rumah.

Setelah setahun berlalu, kami pindah rumah lagi ke Kompleks Hankam, Jalan Cipinang Jaya II yang merupakan rumah teman ibu saya yang kosong karena beliau ditempatkan sebagai atase militer di Philipina. Di rumah yang besar ini , saya kebagian malah kamar kecil yang pas-pasan hanya untuk tempat tidur dan meja belajar.

Lalu akhirnya kami pindah ke Pondok Pucung, Jalan Anggrek Blok B IV no 22, bersamaan dengan saya memulai kehidupan mandiri , kost di Depok. Saya benar-benar menikmati tinggal dan mengatur sendiri kehidupan. Dari kost di Pondok Permata, pindah ke Graha Libra dan akhirnya di Pondok Laksmi.

Setelah lulus Diploma FISIP, saya pindah kost ke daerah rawamangun, mendekati kampus IKIP dan ditampung di rumah ortu teman kuliah saya yang kebetulan ketua jurusan lain. Saat itu saya dipersilakan tinggal di rumahnya agar membimbing anaknya untuk rajin kuliah.  Setelah setahun saya pamit untuk tinggal  di kost dekat LIA, Jalan Pengayoman no.6 , karena saya mulai mengajar alam hari sampai pukul 9 malam.

Setelah itu karena ibu saya bekerja  di Washington DC dan ayah saya pergi menyusul, saya mendiami rumah di Pondok Pucung sambil sedikit-sedikit merenovasi ruamah ortu dari hasil keringat saya sendiri. Sekitar setahun, tiba-tiba ada salah paham antara saya dan abang tertua saya, sehingga saya kabur kembali ke kost sampai akhrnya saya menikah.

Sejak menikah, saya tinggal di rumah milik mertua. Saat mau menikah kami sebenarnya meminta izin untuk menkontrak rumah, namun ibu mertua menyatakan bahwa tanggung jawab suami saya sebagai anak laki-laki satu-satunyalah  yang  harus merawat rumah ini berdasarkan aturan adat. Dan saya istrinya harus mendampinginya. Titik.

Namun, ternyata pernyataan itu bukan berakhir dengan tanda titik, namun banyak tanda baca lainnya.

Pertama, kami tinggal bersama dengan kembaran perempuan suami. Kemudian, cara kami memaknai banyak hal ternyata  berbeda definisinya dengan tetangga dalam. Ranjau semakin banyak setelah kami sudah memilki anak, merekrut pembantu, baby sitter. Tuhan menyelamatkan saya dengan memberikan jalan untuk meninggalkan tanah air dan tinggal di Yokohama selama 1,5 tahun.

Kembali ke tanah air dengan 2 anak dan kondisi hamil tua, masih harus diterjang gelombang-gelombang tarik urat syaraf dengan tetangga dalam. Seolah menjadi dosa bawaan saya untuk memiliki apa yang orang lain tidak miliki, Sementara saya terbiasa tidak perduli dengan apa yang orang lain miliki.

Saya belajar untuk menerima kekuatan saya sebagai kelemahan saya. Kekuatan seperti tak perduli dihina, tak gentar diintimidasi menjadi  terbalik diartikan sebagai keras kepala, tidak ada empatinya, tidak tahu diri. Saya rasa tidak banyak orang paham bahwa untuk ukuran orang seperti saya seolah sudah dari sononya ditakdirkan untuk menantang pendapat orang lain.

Jika rumah menjadi sesuatu yang diperebutkan antara saudara kandung, saya sudah mengalaminya sejak usia 15 tahun. Jika ada orang yang berniat baik untuk menjalankan amanah dan masih saja dianiaya, barangkali sinetron sudah menayangkan puluhan episode dan terlalu membosankan untuk saya tuangkan dalam blog apalagi novel yang mungkin bahkan bisa jadi best seller.

Mungkin, bagi saya yang sudah belasan kali pindah tempat tinggal, sudah tidak punya lagi comfort zone.Bagi saya rumah tidak bisa diartikan bangunan dan mesti ada batas kekuasaan. Rumah bagi saya adalah tempat tinggalnya orang-orang yang saling mengasihi. Dan cukup penghiburan bagi saya untuk mengingat bahwa sebaik-baiknya rumah di dunia  ini hanyalah untuk sementara saja.


Saturday, May 18, 2013

On my own



I could never be a sun
to shine with my own light
without getting my self burnt

I could never be anybody's angel
to lend my wings
even before learning how to fly

I could never have any reason
to think that I have everthing to give
but my self

I could never be there for anyone
as I lost myself 
never wanna be found

if only the sun appears
and shall light all my my fears
guide me far and shine me home


 

Thursday, April 11, 2013

Sibling rivalry

DSCF2051

Akira dan Andhika usianyahanya terpaut setahun, tepatnya 358 hari. jadi, waktu Akira ulang tahun ke-1, Andhika berusia 7 hari! Kok bisa?  Jangan tanya deh ya, kok mepet sekali jadwal tayangnya. Jangankan saya, anda, dokter kandungan saya yang mendewakan data statistik, mati-matian mengatakan “ tidak mungkin hamil kalau masih menyusui bayi”.

Saya cukup bersyukur mereka didatangkan secara bertahap, tidak sebagai kembar, karena ibu macam saya ini tak punya kesabaran ganda untuk merawat 2 bayi yang nangis bersamaan, atau mau menyusu dalam waktu bersamaan. Saya rasa , saya tidak lulus ujian kesabaran dari Tuhan untuk mengasuh tandem saat Wisnu lahir dan sepupunya dilahirkan 9 hari sebelumnya Winking smile 

Bicara soal kesiapan, sebenarnya Akira pun tidak siap mental menjadi kakak, apalagi dari seorang Andhika yang berkepribadian koleris  aka maunya mengatur dan mengajari.  Malah   Akira sempat merasa  Andhika adalah kakaknya. Dalam banyak kesempatan Akira memperlihatkan sosok yang sensitif, memberikan sentuhan pribadi, memahami. Di sisi lain, Akira menjadi terlihat lebih pencemas, cepat sedih, cepat tersinggung.

Saat Andhika murung dan bersikukuh dengan kemauannya, biasanya Akira mengambilkan minum, memunguti barang-barang yang dilemparkan Andhika . Sampai akhirnya Andhika tenang, Akira masih tetap tenang dan tak menghujat apa yang sudah dilakukan Andhika.

Di saat lain, misalkan waktu menghadapi tantangan baru, Akira ragu untuk mencoba, kadang menangis ketakutan. Andhika biasanya memulai terlebih dahulu, lalu mencontohkan cara yang harus dilalui Akira.  Sesudah itu, Andhika menyakinkan Akira untuk mencoba.

They are special in their own way.

Kalau berdua lagi rukun, makan bareng sambil ngobrol, ketawa terkekeh-kekeh tak peduli siapa di sekitarnya. Kalau lagi bertengkar, Andhika tendang Akira, Akira cubit Andhika, lalu diakhri dengan suara “bak-buk-aaaaaa”

Kalau yang satu dibelikan barang, yang satunya merayu minta dibelikan item yang sama. Meskipun model atau warnanya tidak mau sama, namun minta yang serupa atau semodel.

Kalau yang satu mengadu karena merasa dijahili, yang satunya berlagak menangis untuk membuat kesan dia juga merupakan korban.

Kalau yang satu diberikan pujian, yang satunya lagi menggugat “ aku juga begitu” atau “ Andhika kan ngikutin Akira”.

Adakah ibu yang benar-benar bisa adil terhadap anaknya? Adakah anak-anaknya tahu, meski mereka mendapatkan hal yang berbeda, perlakuan yang berbeda tidak berarti ibunya pilih kasih? Adakah saya bisa akan selalu berusaha mengambil keputusan yang bijaksana?

Adakah saya mampu mencintai mereka , anak-anak saya, dan membuat mereka merasa dicintai sama banyaknya, sepanjang waktu yang diberikan untuk saya?

Wednesday, March 13, 2013

too much for a thank you

 









      A pair of twinkling eyes looked at me innocently and wishes for a sanctuation Day. Just a look in her eyes and I can not decide what to feel. I choked on my reply. 

" thank you"  I said, and  I said it to my self "tell your mom, thank you for trying but she is still not welcome to me". Did I say that? Off course, NOT.  She is just a 9-year old girl who has nothing to do with me and her mom giving each other cold shoulders.

Go on, judge me that I can not forgive.  Maybe they are right. Tell them they are right, so they are happy to file me gulty for "not being able to be good enough person".

I dont hide my feelings well, but I dont shoot people down. I could, but I didnt. Why? a psychologist who overanalyzed me during a job interview even accused me of  " the-always-nice-person". I am not. I can kick the trash can when I vent my anger over my boss. I scold people to back off when they are getting in my way or telling non sense.

I know what I can and what I can not accept. It has nothing to do with forgiveness. Forgiveness is not ceasing to feel the pain. I learn to live with it, but it would be too much to just forget it happened.

And what happened? I could write a series of novels about it. You will be amazed how I remember every details. You will probably said the same sentence as my friend said " kalo gue jadi lu, dah mati berdiri kaleeee".

Yes, i died everyday and got up on my own feet. No matter how hard she tried to put me down.











 

Terima kasih, Wisnu





Aji : kalau abis sembahyang, Wisnu doanya apa?
Wisnu : biasanya ada 3. doa yg 1 dan 2 biasanya sama, dan yang ketiga ganti2.
Aji : yang ke1 apa?
Wisnu : yang ke-1, semoga keluarga kita menjadi keluarga yang beruntung
aji : ooo, terus yang ke-2?
Wisnu : semoga kita semua diberi perlindungan
            naaah, yang ketiga terserah Wisnu deh, macem-macem. Bisa semoga pulang sekolah cepat, semoga
            bisa beli lego, semoga teman-teman wisnu gak nakal sama wisnu.