Hal yang terberat dari menjadi orang tua adalah ketika kita harus menentukan kapan waktunya konsisten dan fleksibel. Sepasang suami dan istri biasanya punya selera masing-masing untuk memilih peran yang mana. Biasanya, jika si bapak pasang harga menjadi tipe orangtua A, jadilah ia bapak yang konsisten dengan aturan dan seringnya dicap otoriter. Otomatis, si ibu mengambil peran satunya, sebut saja tipe B, yaitu ortu yang fleksibel, bisa diajak negosiasi, kompromi.
Dulu, sebagai anak, saya tentunya lebih nyaman dengan tokoh ortu yang fleksibel. Rasanya dunia ini terasa adil kalau saya tidak diadili. Namun, ternyata setelah jadi ortu, pelan-pelan saya melihat tokoh ortu yang otoriter tidaklah seburuk bayangan saya. Apalagi akhirnya saya sedikit demi sedikit menjadi penetap aturan untuk anak-anak saya, dibanding menjadi negosiator.
Di satu sisi, konsistensi adalah menetapkan satu aturan yang tanpa tedeng aling-aling seperti halnya menarik garis yang harus tegak dan lurus. Tak perduli hujan atau panas, yang namanya hitam tetap hitam. Putih tetap putih. Sementara di sisi lainnya aturan-aturan baku itu membuat semua hal menjadi jelas. Memang sistem itu sengaja dibuat, supaya anak-anak saya tidak rewel karena jadwal yang berubah-ubah. Jam sekian bangun pagi, langsung mandi, tidak pakai acara lain-lain. Kalau tidak bisa diatur, konsekuensi alami yang harus dijalani. Paling telat jam 6 pagi mereka terbangun dan antri minta mandi sebelum saya berangkat ke kantor. Kalau ada yang terlambat bangun, lewat pula kesempatan dia untuk dimandikan saya. Kejam? Mungkin.
Tapi coba saya beri ilustrasi lain, seandainya anak anda diberikan sepenuhnya kebebasan yang kebablasan untuk bangun jam berapa pun dia mau, maukah anda setiap hari : menggedor-gedor pintunya membangunkan, meneriakinya supaya mandi, supaya tidak terlambat pergi ke sekolah, supaya tidak dihukum di sekolah, dst, dst? Di masa dewasanya nanti tanpa anda, ortunya, anak anda menjadi orang dewasa yang tergantung dengan orang lain (mending kalau cuma tergantung alarm untuk hal bangun pagi). Soal kecil memang, tapi bisa mengganggu dirinya sendiri.
Aji untuk anak-anaknya adalah ayah yang punya angelic circle di atas kepalanya untuk kelembahlembutann perkataannya, penuh toleransi terhadap permintaan anak-anaknya. Kadang larangannya bisa jadi ajang negosiasi, sehingga anak-anak suka bingung dengan aturan yang sebenarnya. Soal sederhana, kalau jam 8 para balita belum tidur, itu tidak apa-apa. Tapi pada saat anak-anak sudah lelah, tapi mereka tidak diarahkan menuju kegiatan relaksasi, tapi masih melompat-lompat, lari-lari, seringnya anak itu jadi bertengkar, menangis keras, tidak mau diatur, meronta-ronta, menendang. Dibentak, dihardik pun akhirnya malah tambah keras menangisnya.
Tidak semua anak memang bisa ditertibkan dengan hanya sederet peraturan. Ada yang memerlukan penjelasan, seringnya teladan dari sang pemberi peraturan, sementara yang lainnya harus ditempa dengan konsekuensi atas tindakannya. Tapi kelihatannya akan lebih susah untuk mendidik anak mengerti batasan jika mereka belajar memanipulasi negosiasi.
Dialog satu
" Ayo mandi"
" gak mau "
" ok 5 menit lagi ya"
Sepuluh menit berlalu, tak ada warning.
" ayo mandi"
" 5 menit lagi "
" ok, benar ya 5 menit lagi "
" iya"
Ternyata 30 menit berlalu, sang penegak aturan pun sudah lupa. Terjadi tindakan pemaksaan, yang dibalas perlawanan anak yang belum paham dengan mengatakan "5 menit lagi" itu tidak bisa diterima. Ia juga tidak mengerti seberapa lama 5 menit itu. Penegak aturan kesal, sang anak juga berang merasa dipaksa.
Dialog 3
" makan ya?"
" gak mau"
" makan doong, nanti sakit. ya? makan ya?"
" ...."
" mau makan pakai apa?"
" nasi goreng"
lalu dibuatlah nasi goreng, tapi tak di makannya juga.
Dialog 4
" gak mau nasi gorengnya?"
" gak"
" mau makan apa?"
" macaroni cheese"
lalu dibuatlah mac cheese. Dan? tidak dimakan juga.
Ya itu sih, pilihan juga menjadi orang tua. Mau menerapkan yang mana?