Monday, December 14, 2009

Bentuk lain kegembiraan

Beberapa bulana terakhir ini, sungguh saya berkhayal pergi jauh. Entah kemana. Seperti biasa dalam doa saat sedang murung atau penat , saya berucap, " mbok ya saya diberikan kesempatan pergi kemana gitu, Tuhan. Ke tempat yg belum pernah saya datangi. Bertemu orang yang belum saya kenal. Makan makanan yang belum pernah saya rasakan. Away from home lah..."

Tapi ternyata Tuhan tidak menyapa saya dengan cara yang saya bayangkan. Diawali dengan politik kantor yang selalu manis dijadikan gunjingan kawan-kawan dan merupakan target empuk untuk mencibirkan keparahan sistemik, melayanglah sebuah Surat Perjalanan Dinas di atas meja saya yang dipenuhi draft proposal dan MOU. Plak. Tak ada tawar-menawar. Tak ada penolakan. Lancar. Aneh.

Saya berangkat dengan senyum, mengira ini jawaban kontan dari doa saya. Seharusnya saya gembira bukan? Melihat pemandangan indah, sawah hijau membentang, bukit bermega dikejauhan, makanan enak, para kenalan baru yang ramah. Hm...

Begitu masuk ke dalam kamar hotel yang lebih menyerupai cottage, saya merasa aneh. Entah, kenapa, seperti belum pernah tidur sendiri di tempat asing. Serasa masuk ke dalam kotak keheningan yang aneh. Dan kejutan berikutnya: mati lampu. Hening dan senyap luar biasa. Suara jangkrik pun tak ada. Gelap.

Seorang kawan dengan setia membalas sms saya dalam gelap. Lucunya ia memberikan arahan : cari lilin (mak, petugas hotel tak bisa dihubungi karena telepon mati, mau keluar benar2 gelap dan front office berada jauh dari kamar), dengerin radio (duh, HP jadul, mana bisa denger radio), telepon ke rumah (halah, barusan udah, dan ternyata mereka pergi dengan babenya bergembira ke tempat mencuci mobil sehingga telepon saya tak diangkat).

Plek, Mati gaya. Mau tidur, belum mengantuk. Mau baca, tak ada sinar. Mau ngobrol, tak ada orang. Mau makan, gak ada apa-apa di kamar. Weleh.

Ternyata saya orang kota tulen. Yang bergantung dengan sinar PLN. Yang mendambakan wireless internet connection. Yang nyaris stress karena tak ada teman ngobrol, apalagi untuk marah-marah. Yang butuh hiburan walau sekedar lagu-lagu cinta picisan dan ABG abis dari radio. ANYTHING that brings my life back.

Lalu saya ingat, lagak saya yang membayangkan indahnya kalau bisa pergi jauh. Ahhhhhhhhhhhhhhhhh.....saya cuma kepengen pulang, Tuhan, detik itu juga. Saya rindu tempat tidur saya yang ukuran 120 x200 itu , yang harus berbagi satu bantal berdua suami saya yang kalau tidur bak jagoan aikido sedang belajar menendang. Saya rindu cahaya lampu neon yang terus terang bisa terang terus. Saya rindu buku-buku saya yang menumpuk di meja tamu, di sandaran kepala tempat tidur, di kamar mandi, di lantai ruang TV. Ohhhhhhhh...

Jika boleh dan diperkenankan, saya mengajukan permohonan baru, Tuhan. Tetaplah berbaik hati kepada saya dengan meluluskan permintaan saya sesuai dengan kapasitas saya. Maksudnya, saya senang dan gembira bisa bepergian. Tapi ijinkan saya tetap memiliki yang biasa ada . Tidak susah kok, Tuhan : cahaya lampu.

Tuesday, December 01, 2009

Marah : perlu belajar

Saya tidak diajari cara marah waktu kecil. Yang saya ingat, jika marah akan meledak, saya masuk ke kamar dan ceklek mengunci diri. Sejam, dua jam. Biasanya diisi dengan mendengarkan lagu sambil menulis diary, lalu menangis sambil tertidur. Untungnya saya sejak kecil tidak berbagi kamar tidur, jadi punya privacy yang tinggi.

Marah model begitu tidak bisa lagi dipakai waktu mulai menikah. Apalagi punya anak. Apalagi tinggal berbagi dengan ipar dan keponakan. Sekarang ini, saat marah, kalau masih bisa, akhirnya harus angkat bicara setelah menghirup oksigen berkali-kali. Kalau masih belum cukup, akhirnya mencari target pencurahan energi : membersihkan kolam ikan atau menyikat lantai kamar mandi. Capek fisik bisa mengantar ke sensasi lelah dan kehilangan selera untuk murka. Akhirnya, tak berkomentar dan tertidur.

Suatu hari Wisnu marah. Saat saya menyeterika baju, ia menghampiri saya. Tanpa berkata apa-apa, ia meletakkan sehelai kertas dan bertuliskan " Ibu dan Aji tidak boleh masuk ke kamar wisnu". Saya membacanya, dan mengangkat alis sementara ia berdiri di belakang saya. Saya menyahut " OK". Lalu ia bergegas pergi dan kembali lagi dengan secarik kertas yg lain yangberbunyi " Ibu dan Aji boleh masuk kamar Wisnu, asal minta maaf dulu". Aha. NEGOISASI. Saya hormati upaya seorang anak usia 6 tahun yang mencoba memberitahu ibunya ia marah. Saya bertanya kenapa, dan ternyata ia merasa saya tidak mengacuhkan dan sibuk menyeterika. O-o. Baiklah, saya minta maaf.

Hari yang lain, Akira menangis keras tanpa sebab. Sekitar satu jam tanpa henti. Semua bertanya dari mulai wisnu, andhika sampai pembantu tak dijawab, hanya dengan tangisan dan ucapan berulang mirip rap " aaaaaaaaa....aaaaaaaaaa...aaaaaaaaaa" berirama. Akhirnya, saya peluk, dan tangisnya berhenti dan langsung tertidur. Paginya saya tanya kenapa, ia jawab " Akira mau matiin lampunya.Gak boleh Andhika". Wah. Mana kami tahu, nak.

Hari yang lain, Andhika sedang main dengan sepupunya. Entah bagaimana si sepupu tidak mau memberi Andhika kesempatan untuk memegang mainan. Sepupunya menjerit dan menutup pintu kamarnya dan masuk kamar. Apa yang terjadi? Gubrak ! Andhika menendang pintu itu. Pintu kamar dibuka dan disambut jeritan sepupunya. Gubrak ! Tendangan kedua yang lebih keras menghantam pintu itu. Muka Andhika, bocah usia 3 tahun itu, tidak terlihat kesal, malah tertawa-tawa.
Lalu terjadilah penyerangan dari sepupunya yang tidak puas, dan paniklah seluruh isi rumah karena Andhika siap menendang dan meninju kesana kemari dengan gaya bebas. Halah.

Saya baru sadar, ternyata harus belajar untuk mengajarkan marah. Bagaimana? Saya harus mencontohkan. Hm. Butuh sparing partner?