Monday, October 17, 2016

Words are just like toothpaste


You will remember this plate of toothpaste for the rest of your life. 
Your words have the power of life or death. 
just see just how much weight your words carry. 

You are going to have the opportunity to use your words to hurt, demean, slander and wound others.
You are also going to have the opportunity to use your words to heal, encourage, inspire and love others. 

You will occasionally make the wrong choice;
Just like this toothpaste, once the words leave your mouth, 
you can't take them back.

When others are misusing their words, guard your words.
Make the choice every morning that life-giving words will come out of your mouth.

Decide tonight that you are going to be a life-giver.
Be known for your gentleness and compassion. 
Use your life to give life to a world that so desperately needs it. 


You will never, ever regret choosing kindness ... 


Hanya tentang rumah



Rumah yang berdiri sejak tahun 1967 memang wajar jika kemudian menjadi lapuk kayu-kayu bagian atapnya. Semua benda akan memiliki masa pakai dan tiba di masa rusak atau hancur.  Lihat saja beberapa bagian dari rumah ini, disaat penghuninya masih berada di dalamnya, kondisi seperti ini bukan perlu penanganan dikarenakan unsur estetika namun unsur keamanannya,



Gambar 1 . Atap ruang tamu




Bukan suatu kesalahan jika yang menghuni rumah kemudian harus memutuskan apa yang harus dilakukan . Pilihannya ada 2 : membiarkan rumah hancur dan dibangun kembali atau merenovasinya sehingga bisa tetap ditingagali, Kedua pilihan itu objektif, berdasarkan data dan budget yang tersedia. Sah, logis, wajar, masuk akal. 


Gambar 2 . Atap ruang Tamu


Bagaimana pun, suatu keputusan akan dipengaruhi unsur subyektifitas yaitu tergantung dari si pembuat keputusan berdasarkan motif pribadinya. Semua perhitungan untung rugi tetap akan dipengaruhi sang pembuat keputusan. Untung buat siapa, rugi buat siapa. Bukan hitung-hitungan matematika semata.



Meski kalau digambarkan ruang makan dan ruang tamu bukan suatu ruang yang menentukan bagian dari rumah. Bisa saja dipengaruhi pola pikir, selama bangunan masih bisa digunakan untuk tidur, tidak apa tidak makan di ruang makan yang sudah hampir runtuh atau tidak usah terima tamu sementara waktu karena tokh di luar rumah orang bisa bertemu kita dengan keadaan yang lebih mentereng ; di cafe, di restaurant, di tempat klien. Selama pakai baju rapi dan keren, tata rias yang beterima, mengendarai kendaraan mewah meski itu milik perusahaan, lupakan saja langit-langit rumah akan runtuh. 
Gambar 2 . Atap Ruang Makan 

Amazing. Masing-masing orang punya kemampuan mentoleransi frustasinya dengan hanya memfokuskan kepada tujuannya yang membawa keuntungan baginya,


Gambar 3. Ruang Tamu

Dan tiba di saat serpihan kayu berjatuhan, dan bahkan tiang penyangga tidak dapat dipastikan seberapa persen dapat menopang. Masih bisa berjalan di bawahnya, tidur nyenyak dan bermimpi besok akan baik-baik saja. 

Gambar 4 . ruang tamu


Memang rumah ini akibat seorang pesakitan yang pun akan diobati kemungkinan sembuhnya kecil. Barangkali beberapa orang lupa jasa rumah ini sebagai tempat lebih dari sekedar berteduh. Tempat ini pernah menjadi wadah kebersamaan yang disebut "keluarga". Benang merah antar pribadi yang mengikat meski ada perbedaan pendapat, sifat dan tabiat. 

Gambar 5. Tampak dalam atap 
Bahkan beberapa orang pun lupa bagaimana perjuangan untuk mendapatkan rumah ini, atau bahkan mempertahankannya. Jerih payah dalam membanting tulang atau menyisakan uang untuk membuat rumah ini berdiri seperti ini. 


Gambar 6  Tampak Atas atap


Tapi tidak ada yang dikatakan atau dilakukan si rumah. Karena tugasnya hanyalah menaungi siapapun yang tinggal di dalamnya. Jiwa dalam bangunan yang mendengar setiap bait doa, menyaksikan segala peristiwa yang terjadi di dalam setiap jengkal bagiannya.
Gambar 7 . Tampak Depan

Beberapa pertanyaan tetap akan tidak bisa dijawab secara adil untuk semua orang. Karena adil bukan berarti sama rata bagian yang diberikan. Karena keadilan hanyalah dimiliki oleh  Yang Maha Adil. Seberapapun kita menggugat keadilan, jawabannya hanyalah tingkat keihklasan. 


Gambar 8 . Rangka baru

Jika untuk merobohkan rumah itu lebih mudah untuk dijalankan karena sebuah ego , agar pihak lainnya tidak mendapatkan manfaat yang menurutnya bukan sepantasnya dinikmati...

Jika  hanya perlu sepenggal konstruksi tembok agar semuanya jelas batasnya , jelas hak masing-masing, jelas harta dan kepemilikan...

Bila kesiapan didefinisikan waktu dan biaya, bukan penerimaan hati dan timbang rasa ataupun cinta kasih terhadap suatu bagian yang pernah jadi suatu yang utuh....


Namun atap tak mungkin berdiri tanpa sangga dibawahnya , fondasi yang kokoh mengakar ke bumi.
Atap itu serupa payung yuridiksi pembagian tentang keduniawian, yang dianggap lebih kental dari darah.
Fondasi ke dalam bumi adalah sesuatu yang tetap ada di dalam hati masing-masing -- alasan melakukan apa pun yang dapat dibenarkan dan dibuat seolah masuk logika dan realita.

Tembok fisik tidak pernah akan sama dengan partisi kepentingan ataupun keuntungan ...
Selembar akta buatan manusia tidak akan bisa membatasi persaudaraan...


Bahwa hidup harus dijalani, dilakoni dengan segala pemaknaan.
bahwa segala nikmat Tuhan datang dalam bentuk yang kadang tak dipahami manusia, apalagi disyukuri,

bahwa dalam setiap doa yang dipanjatkan selalu dimulai dengan permohonan ampun kepada sang Pencipta
agar dihati kita selalu dapat memaafkan dan berlapang dada

karena sebaik-baiknya rumah adalah yang didalamnya ada rasa kasih sayang  dan penuh rasa syukur kepadaNya.








Thursday, May 19, 2016

Hadiah : sang penerima dan sang Pemberi

Saat "merasa" hati ikhlas, menerima, akan datang belokan tajam yang membuat kita terpelanting dan mempertanyakan diri sendiri : apa iya?

Hasil gambar untuk present

Ingat perkara hadiah. Hadiah, adalah sesuatu yang diberikan dan suka-suka sang pemberi hadiah. Penerima hadiah sepatutnya berterima kasih. Sudah bagus diberikan hadiah. Lucunya, saat penerima hadiah lainnya merasa lebih berhak mendapatkan hadiah tersebut, kenapa harus marah? Kenapa tidak kembalikan lagi kepada keputusan sang pemberi hadiah? Kembalikan saja jika perlu.

Namun beberapa orang memiliki anggapan berbeda tentang hadiah ini. Ada yang mengharapkan sejak lama untuk menerimanya. Barangkali bertahun-tahun membuat gambaran mental untuk datangnya hadiah ini yang akan begitu berkesan dalam hidupnya. Lalu kecewa begitu kenyataannya berbeda dengan angan-angannya.

Inilah sebenarnya seninya menjadi penerima hadiah. Mau memilih kecewa atau senang dengan hadiahnya. Tak perduli apapun rupa dan isi hadiahnya, maupun saat diberikannya.

Hadiah itu bisa dianggap anugerah atau musibah. Jika anugerah, seolah tidak ada syarat dan ketentuan yang dipermasalahkan, tidak ada lagi orang yang berhak selain diri kita untuk menerimanya. Sebaliknya jika hadiah dianggap sebagai musibah, mengubah perasaan ini kalau bisa dialihkan saja kepada orang lain. 

Lupa seringnya bahwa kita tidak punya kendali terhadap apa jenis hadiahnya. Masing-masing dari kita mendapat gulungan undian dengan nomer masing-masing yang sudah diperuntukkan. Yang dapat kita lakukan adalah menunggu, antri giliran menerimanya.

Bolehkah bernegosiasi atau menawar kadar hadiahnya? Silakan mencoba. Mencoba dengan berdoa dan bersikap yang dapat diterima sang pemberi hadiah selama kita berdiri dalam antrian. Berdirilah dengan sikap yang menyenangkan, tidak menginjak kaki orang yang berada di belakang kita atau menyumpahi orang yang di depan kita, atau mencemoh orang-orang lain yang baru saja menerima hadiahnya dan membuka hadiahnya di hadapan kita.

Mengapa? Karena kita tidak berhak menghakimi para penerima hadiah. Sebagai sesama penerima hadiah dilarang saling membully. Posisi kita semua sama, hanya sedang mendapatkan giliran yang berbeda.

Ada salah satu pihak yang dipercaya sebagai distributor hadiah. Ingat, mereka pun hanya menjalankan apa yang mereka dapat jalankan. Jika mereka tidak melakukan seperti yang seharusnya, atau merugikan kita, mengapa kita merasa berhak menghakiminya? Sang pemberi hadiah Maha Mengetahui apa yang terjadi dan sudah memiliki alat ukur untuk mengukur KPI mereka. Serahkan saja pada ahlinya. Sekali lagi, terima saja, wong peran kita sebagai penerima hadiah. Titik. 

Masih berani menghujat sang Pemberi hadiah?  Sungguh?