Tuesday, December 01, 2009

Marah : perlu belajar

Saya tidak diajari cara marah waktu kecil. Yang saya ingat, jika marah akan meledak, saya masuk ke kamar dan ceklek mengunci diri. Sejam, dua jam. Biasanya diisi dengan mendengarkan lagu sambil menulis diary, lalu menangis sambil tertidur. Untungnya saya sejak kecil tidak berbagi kamar tidur, jadi punya privacy yang tinggi.

Marah model begitu tidak bisa lagi dipakai waktu mulai menikah. Apalagi punya anak. Apalagi tinggal berbagi dengan ipar dan keponakan. Sekarang ini, saat marah, kalau masih bisa, akhirnya harus angkat bicara setelah menghirup oksigen berkali-kali. Kalau masih belum cukup, akhirnya mencari target pencurahan energi : membersihkan kolam ikan atau menyikat lantai kamar mandi. Capek fisik bisa mengantar ke sensasi lelah dan kehilangan selera untuk murka. Akhirnya, tak berkomentar dan tertidur.

Suatu hari Wisnu marah. Saat saya menyeterika baju, ia menghampiri saya. Tanpa berkata apa-apa, ia meletakkan sehelai kertas dan bertuliskan " Ibu dan Aji tidak boleh masuk ke kamar wisnu". Saya membacanya, dan mengangkat alis sementara ia berdiri di belakang saya. Saya menyahut " OK". Lalu ia bergegas pergi dan kembali lagi dengan secarik kertas yg lain yangberbunyi " Ibu dan Aji boleh masuk kamar Wisnu, asal minta maaf dulu". Aha. NEGOISASI. Saya hormati upaya seorang anak usia 6 tahun yang mencoba memberitahu ibunya ia marah. Saya bertanya kenapa, dan ternyata ia merasa saya tidak mengacuhkan dan sibuk menyeterika. O-o. Baiklah, saya minta maaf.

Hari yang lain, Akira menangis keras tanpa sebab. Sekitar satu jam tanpa henti. Semua bertanya dari mulai wisnu, andhika sampai pembantu tak dijawab, hanya dengan tangisan dan ucapan berulang mirip rap " aaaaaaaaa....aaaaaaaaaa...aaaaaaaaaa" berirama. Akhirnya, saya peluk, dan tangisnya berhenti dan langsung tertidur. Paginya saya tanya kenapa, ia jawab " Akira mau matiin lampunya.Gak boleh Andhika". Wah. Mana kami tahu, nak.

Hari yang lain, Andhika sedang main dengan sepupunya. Entah bagaimana si sepupu tidak mau memberi Andhika kesempatan untuk memegang mainan. Sepupunya menjerit dan menutup pintu kamarnya dan masuk kamar. Apa yang terjadi? Gubrak ! Andhika menendang pintu itu. Pintu kamar dibuka dan disambut jeritan sepupunya. Gubrak ! Tendangan kedua yang lebih keras menghantam pintu itu. Muka Andhika, bocah usia 3 tahun itu, tidak terlihat kesal, malah tertawa-tawa.
Lalu terjadilah penyerangan dari sepupunya yang tidak puas, dan paniklah seluruh isi rumah karena Andhika siap menendang dan meninju kesana kemari dengan gaya bebas. Halah.

Saya baru sadar, ternyata harus belajar untuk mengajarkan marah. Bagaimana? Saya harus mencontohkan. Hm. Butuh sparing partner?

No comments: