Saya memang tidakpernah konsultasi kepada psikolog apakah saya berkepribadian ganda. Tapitanpa seorang ahli jiwa atau pengembali jiwa, akhir-akhir ini saya merasa berada dalam tubuh yang salah, melihat dengan mata yang salah, mendengar dengan telinga orang lain, dan berbicara menggunakan mulut entah siapa.
Hari-hari yang berat ini bukan berjudul kepura-puraan. Siapa pun yang pernah berbincang dekat dengan saya biasanya menganggap saya tak pandai satu hal : pura-pura. Pura-pura sedih saja tak bisa, apalagi pura-pura senang. Let alone pura-pura cinta.
Mensikapi kejadian buruk, hey semua orang punya kiat untuk menjadi sabar, bijaksana, in control. Bagaimana dengan mensikapi pikiran yang buruk, kawan? It's all in your mind. Bahkan di depan altar dalam upaya meminta petunjuk dan pengampunan pun saya tidak bisa berhenti mengutuki pikiran buruk itu.
Demi etika kesopanan saya tidak bisa menjadi diri saya. Padahal saya muak bermanis muka, mendengarkan, mencoba menerangkan, meyakinkan. Saya terlanjur melabelkan kondisi ini a, dan akan berakhir b. So predictable.
Demi niat baik saya tidak seharusnya membanting pintu, membanting barang-barang di sekitar saya, pergi kemana pun saya mau untuk tidak kembali. Bagaimana pun dulu saya terlanjur berjanji untuk mencoba , mencoba dan mencoba. Lagi, lagi dan lagi.
Monday, January 19, 2009
Wednesday, January 07, 2009
On the contrary
Kalau tidak lucu, jlimet atu aneh, itu bukan hidup namanya. Tuhan punya aturan, skenario, alur cerita yang serba-neka. Kalau mau (pura-pura) bijaksana, kita bisa katakan: Itulah cobaan. Kalau mau menerima, pasrah, kita tinggal mengatakan : Ini sudah suratan nasib. Kalau mau berontak, anti sedih dan ditindas, kita boleh menyatakan : Semua ada konsekuensinya, tinggal pandai-pandai menentukan pilihan.
Rumah yang cukup besar dan sejuk, itu bukan rumah kami. Saya juga bukan anak pemilik rumah. Bisa saja dalam hitungan waktu saya tercoret dari status pernikahan dan saya harus hengkang. Well, tapi saya juga boleh memilih untuk hengkang dari sana, dengan atau tanpa keluarga saya bukan?
Tapi, keadaannya tidak sesederhana itu. Di dalam rumah ini, ada yang disebut merajan (tempat sembahyang) dan jika anda tidak percaya , didalamnya ada penghuninya yang kami sebut leluhur yang harus dirawat dan diperhatikan. Ada kehidupan di sana. Anda pasti pikir: gampang, bawa aja tuh tempat sembahyang plus penghuninya. Hehe.Ada penghuni lain, dua manusia yang darah daging suami saya . Kembarannya, seorang wanita yang baru setahun bercerai dan anak perempuannya berumur 5 tahun.
Saya mungkin berhati batu, saya tidak tahu. Yang jelas, saya hanya menantu dari ibu sang wanita kembaran suami saya itu. Jika ada selisih paham, pihak mana yang mengadu? Siapa yang akan dibela? Siapa yang akan ditegur dan kupingnya menjadi merah karena tak bisa marah atau tidak menerima atau merasa dituduh?
Saya mungkin egois, saya tidak tahu. Saya harus bangun pagi dan memandikan anak-anak sebelum kekantor, tiba di rumah sepulang kantor ingin bersama anak-anak saya saja (tanpa orang lain), bermain dan mengajarinya sebelum menidurkan saya tepat waktu supaya mereka bisa bangun pagi (dan sempat saya mandikan sebelum ke kantor) . Untuk saya jadwal hidup yang teratur, kenyamanan anak-anak saya, eksluksivitas perhatian saya terhadap mereka adalah hal yang penting. Jika keadaan tidak cukup nyaman untuk anak-anak saya, saya merasa berhak untuk memberi perimeter dalam garis yurisdiksi saya.
Saya mungkin tidak penuh cinta, saya tidak tahu. Saya tidak punya nada merayu, hanya datar. Jika saya marah, saya marah. Tak peduli , pada setan pun saya bisa marah. Saya melotot, menyalak, tapi saya tidak menyumpah serapah. Saya keras menerapkan peraturan tertentu kepada anak-anak saya. Kata kuncinya : regularity, consistency, consequences. Jika anda bukan anak saya, saya tidak memaksa dan bukan tanggung jawab saya mendidik anda, apalagi anak anda.
Saya mungkin tidak mau menjadi belas kasihan orang lain, saya tidak tahu. Hidup saya memang penuh kesusahan. Tapi jangan berani-berani mengulurkan tangan kepada saya karena kasihan. Saya tidak mau anak-anak saya dibesarkan di lingkungan orang-orang yang mengasihani mereka. Mereka harus berusaha, dan kadang-kadang kecewa karena menerima kenyataan.
Saya mungkin batu, lebih memilih dianggap tidak ada. Saya tidak tahu lagi. Tapi satu yang saya tahu, saya tidak suka dipaksa menjalani hidup yang bukan hidup saya. Kita memilih untuk bahagia atau tidak bahagia, berdamai atau bermusuhan, memahami atau tak acuh, cemburu atau merasa dicintai.
Rumah yang cukup besar dan sejuk, itu bukan rumah kami. Saya juga bukan anak pemilik rumah. Bisa saja dalam hitungan waktu saya tercoret dari status pernikahan dan saya harus hengkang. Well, tapi saya juga boleh memilih untuk hengkang dari sana, dengan atau tanpa keluarga saya bukan?
Tapi, keadaannya tidak sesederhana itu. Di dalam rumah ini, ada yang disebut merajan (tempat sembahyang) dan jika anda tidak percaya , didalamnya ada penghuninya yang kami sebut leluhur yang harus dirawat dan diperhatikan. Ada kehidupan di sana. Anda pasti pikir: gampang, bawa aja tuh tempat sembahyang plus penghuninya. Hehe.Ada penghuni lain, dua manusia yang darah daging suami saya . Kembarannya, seorang wanita yang baru setahun bercerai dan anak perempuannya berumur 5 tahun.
Saya mungkin berhati batu, saya tidak tahu. Yang jelas, saya hanya menantu dari ibu sang wanita kembaran suami saya itu. Jika ada selisih paham, pihak mana yang mengadu? Siapa yang akan dibela? Siapa yang akan ditegur dan kupingnya menjadi merah karena tak bisa marah atau tidak menerima atau merasa dituduh?
Saya mungkin egois, saya tidak tahu. Saya harus bangun pagi dan memandikan anak-anak sebelum kekantor, tiba di rumah sepulang kantor ingin bersama anak-anak saya saja (tanpa orang lain), bermain dan mengajarinya sebelum menidurkan saya tepat waktu supaya mereka bisa bangun pagi (dan sempat saya mandikan sebelum ke kantor) . Untuk saya jadwal hidup yang teratur, kenyamanan anak-anak saya, eksluksivitas perhatian saya terhadap mereka adalah hal yang penting. Jika keadaan tidak cukup nyaman untuk anak-anak saya, saya merasa berhak untuk memberi perimeter dalam garis yurisdiksi saya.
Saya mungkin tidak penuh cinta, saya tidak tahu. Saya tidak punya nada merayu, hanya datar. Jika saya marah, saya marah. Tak peduli , pada setan pun saya bisa marah. Saya melotot, menyalak, tapi saya tidak menyumpah serapah. Saya keras menerapkan peraturan tertentu kepada anak-anak saya. Kata kuncinya : regularity, consistency, consequences. Jika anda bukan anak saya, saya tidak memaksa dan bukan tanggung jawab saya mendidik anda, apalagi anak anda.
Saya mungkin tidak mau menjadi belas kasihan orang lain, saya tidak tahu. Hidup saya memang penuh kesusahan. Tapi jangan berani-berani mengulurkan tangan kepada saya karena kasihan. Saya tidak mau anak-anak saya dibesarkan di lingkungan orang-orang yang mengasihani mereka. Mereka harus berusaha, dan kadang-kadang kecewa karena menerima kenyataan.
Saya mungkin batu, lebih memilih dianggap tidak ada. Saya tidak tahu lagi. Tapi satu yang saya tahu, saya tidak suka dipaksa menjalani hidup yang bukan hidup saya. Kita memilih untuk bahagia atau tidak bahagia, berdamai atau bermusuhan, memahami atau tak acuh, cemburu atau merasa dicintai.
Subscribe to:
Posts (Atom)