Suatu hari, saya menulis status di suatu jaringan sosial media begini "Kalau PRT minta gaji standar UMR, mari saya tatar soft skillsnya dan ukur KPI nya". Dalam hitungan detik, ada jawaban penuh kemarahan dari kawan saya yang mungkin kesambet setan pembela PRT dengan ucapan "gue prihatin kalo lu gak mau dukung PRT dapet UMR. mereka kerja 24 jam tauk". Jiahhhhhh...
Andai saya bisa, sungguh ingin saya keplak kepala teman saya itu. Andai dia tahu, diantara para majikan yang brengsek dan biadab, ada juga 1001 jenis PRT yang cilaka duabelas pernah saya terima.
Jenis pertama, adalah si A yang entah dapat ide darimana, datang untuk kerja di Jakarta pertama kalinya. Kukunya panjang dan berkuteks (okelah untuk unsur estetika) tapi dodolnya kuku itu menancap dengan suksesnya dibagian belakang anak saya setiap saat membersihkan pasca BAB. Dan pagi-pagi saat saya ada dititik hectic luar binasa dan membutuhkan peran ke-PRT-annya, yang ada semua panci di dapur saya hampir beterbangan lantaran panggilan saya yang kesekian belas kali tak juga direspon dengan kemunculannya lantaran beliau sedang bermake up lengkap. HAH? Mau ngapain coba pake bedak,lipstick, eyeliner dan astagaaa maskara dan pensil halis untuk ketemu sama panci dan penggorengan!! Grrrrrrrrrrrrrrhhhhhh
Jenis kedua, adalah si B yang berasal dari daerah tertentu yang dengan mudahnya anda akan menandai bahwa PRT ini tutur katanya seolah-olah lemah lembut, dan kita cenderung menilai orang model begini bakal sabar dan pasrah luar binasa. Ternyata dugaan saya S-A-L-A-H. Kalau dipanggil, mesti anda akan mendapat jeda seolah-olah panggilan anda adalah panggilan dari lain operator dan melewati BTS lain diseberang pulau. Jadi, contohnya begini ; "mbooooooook". Lalu hening, tak ada suara. 1,2,3,4,5 menit. Terus dengan datanglah si PRT dengan langkah yang lambatttt bikin anda semaput, tanpa rasa berdosa menyahut "iya" dalam tempo ketukan 1/64.
Baiklah, kalau ibaratnya mesin bubut, katakan ini mesin sudah di overhaul berkali-kali sehingga macet. Tapi kemudian ada kedodolan lain yang harus diterima bahwa orang yang minta gaji sekian ini, belum pernah menyeterika dengan seterikaan listrik; pun diajari, ternyata menyeterika pun tidak bisa licin dan malahan kusut terlipat-lipat. Let alone menyalakan kompor gas, untuk mengambil makanan yang sudah matang dari dalam oven saja dia ngibrit mencari bantuan karena tak tahu bagaimana menarik handle pintu. waktu diminta mengesum celana panjang yang jahitannya terlepas, dengan tanpa rasa berdosa berkata "saya tidak bisa,bu. dibawa ke tukang jahit saja". Jueger.
Belum sampai masa gajiannya, dia sudah minta gajinya. Lalu entah polos entah memang dodol, sedikit-sedikit mengeluh tentang uang
"Saya kok beli pulsa cepet habis ya bu. Padahal baru kemarin saya beli, sekarang sudah habis".
"emang nelepon kemana? brapa lama?"
"cuma ke anak saya, yang di bandung, barusan ini, tadi sih saya telpon pas abis azan zuhur"
" azan zuhur? sekarang sudah jam 3! 3 jam ya lama itu, pasti habis pulsanyaaaaa! @#!@#*"
Setelah terima gaji, senyam senyum aneh ia berkata, "maaf bu, saya mau minta pulang". Dia pikir dia bisa pulang seenak perutnya. Saya bilang, "boleh, tapi saya harus dapat gantinya dulu". Dan ternyata si yayasan tak kunjung memberikan gantinya, sampai dua hari berselang dia sudah tidak mau lagi mengerjakan apa-apa lagi dan , si PRT ini meraung-raung didepan rumah membawa gembolannya ngotot minta pulang. Grhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh!!
Jenis lain lagi, suaranya keras dan sok akrab. Lebih parah lagi, bukan hanya tidak tahu mengoperasikan alat-alat rumah tangga, yang ini buta huruf. Lengkaplah penderitaaan saya sebagai majikan, secara dia tidak bisa membedakan antara cairan pencuci piring dan cairan pel. Nah, mana tuh teman saya yang mau memperjuangkan UMR?
Setelah 2 minggu bekerja, dia bercerita tentang ladangnya yang ditumbuhi petai dan jengkol dan ujung-ujungnya dia pamit minta pulang kampung karena akan panen. LU PIKIR LU SAPA BISA PULANG KAPAN SAJA? Dengan wajah tak berdosa saya bilang, tidak bisa pulang kalau tak ada pengganti dari yayasan. Nah, sesudah itu dia bersandiwaralah. Sepulang saya kantor, dia berjalan seola-olah pincang dan meringis-ringis. Saya tak pedulikan, karena kakinya kelihatan biasa-biasa saja. Besoknya dia belagak tambah pincang, dan katanya terpeleset sewaktu mencuci. Okelah, saya belikan parem, tapi ternyata tidak dipakainya, malah menangis meraung-raung minta pulang. eee capeee deee. Dia sudah tidak mau makan, tidak mau melakukan apa-apa kecuali duduk di kamarnya dan menonton TV. Dua hari saya tak acuhkan, akhirnya dia pegel sendiri, dan mulai bekerja lagi. Daripada capek hati, saya minta gantinya saja dari yayasan. Coret, boro-boro UMR. She does not even deserve her salary.
Boleh-boleh aja empati sama penderitaan PRT. Tidak ada yang melarang. Tapi saya rasa motivasi orang bekerja di Jakarta sebagai PRT benar-benar bervariasi. Kebanyakan menganggap kerjaan PRT itu ya cuma cuci-cuci, bersih-bersih, ngepel. Mau kerja ke Jakarta hanya untuk 1 bulan, tokh lumayan dapat uang sekian ratus ribu, setelah itu pulang kampung, tokh yayasan bisa menerima alasan "saya tidak betah" atau "tidak cocok dengan majikan" atau malah ngibul dikit "saya tidak dikasih makan sama majikan" dan mengirimnya kembali pulang ke sponsor.
Cilaka dua belasnya tidak ada perlindungan konsumen dari YLK untuk majikan yang sudah membayar sekian untuk suatu kesepakatan mendapatkan PRT dan berhak mendapat penggantian 3 kali. Pun kalau cukup beruntung dapat ganti 3 kali, tingkat kewarasan majikan hampir bergeser. Seharusnya kalau sudah berani menetapkan tingkat standar gaji PRT, sudah selayaknya ada standar minimum kompetensi yang diprasyaratkan dan garansi durasi kontrak kerja. Otherwise, ini cuma jadi bentuk eksploitasi dan kesemena-menaan. Jadi, jangan cuma berani teriak minta hak, coba persiapkan dengan baik kemampuan dan prilaku calon PRT. Sederhana saja : ada harga ada rupa.