Kalau benua Atlantis yang konon tenggelam saja bisa ditemukan, apalagi hubungan darah, hubungan adik-kakak.
Tanpa ahli geologis, tanpa kompas, saya menemukan lagi kakak-kakak saya. Lho, memang selama ini mereka dimana? Ada, secara fisik, tapi mereka tidak meng-kakak-kan diri kepada saya selama belasan tahun.
Sejak saya dan suami (waktu itu masih calon) mengajukan proposal untuk menikah, kakak tua menyatakan diri jadi pihak oposisi. Alasan sederhana, pemilihan pasangan hidup perlu memenuhi kriteria penyamaan. Kalau berbeda, coret.
Kakak tengah lebih seru lagi, menggunakan inflitrasi bahwa jika tidak menuruti berarti ada konsekuensi hukuman dari Sang Illahi. Masuk neraka. Atau alasan drama, " Kau bukan adikku lagi".
Puluhan tahun berlalu. Tiap Lebaran, kami datang berkunjung kepada ortu dengan jadwal piket yang berbeda. Pun kalau pas selisipan, mereka lah yang bergegas menghindari. Yah, sudahlah.
Namun para keponakan saya, anak-anak kakak saya menjadi penghubung ikatan kami kembali. Dalam suatu kondisi, akhirnya kami dipertemukan kembali. Tak lama setelah kejadian itu, ibunda kami meninggal dunia, sehingga mendekatkan kami semua.
Tahun berganti, keponakan-keponakan dari kakak besar semakin mandiri. Sepasang ayah-bunda yang penuh kasih, merasa ada rasa sedih karena kehilangan kendali. Fase kehidupan selanjutnya tetap penuh tantangan.
Kakak tengah usahanya semakin berkembang, yah meski barangkali kadang ia terkena tipu daya rekanan. Asset bertambah, tantangan keiklasan berpacu dengan keterikatan. Kenyamanan diri dimaknai dengan penerimaan khalayak ramai, yang dulu cenderung abai.
Barangkali saya hanya pengantar perjalanan mereka sahaja, sebagai para pemimpin keluarga. Segala keputusan saya memang cenderung melontarkan saya kepada orbit tersendiri, tanpa bayang-bayang aturan keluarga.
They might have taken the right or wrong decisions. God knows.
Benar atau salah, tidak di posisi saya menghakimi.