Sejak covid 19 menyebar di Indonesia, tanggal 29 Maret 2020, selepas mengajar di klien , beberapa teman menencourage segera terbang pulang ke Bali. Untung saya tidak keras kepala seperti biasanya hahah. Hari itu hari terakhir bandara Ngurah Rai buka. Setibanya di airport Denpasar itu, petugas bandara menjaga ketat suhu tubuh para penumpang yang datang. Keadaan begitu tegang dan mencekam. Keesokan harinya resmi PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) diberlakukan. Bandara ditutup .
Oh well.
Senin dimulai dengan kekagetan betapa anak-anak diliburkan , dan diberlakukan belajar dari rumah. Para guru tidak serta merta canggih dengan adaptasi pengajaran berbasis daring. Terseok-seok juga mulai dengan wa group, lalu beralih ke zoom dan akhirnya terintegrasi dengan Google Classroom.
Pada hari berikutnya, kami menengok Niang di Singaraja. Pada hari itu kami sudah mulai cemas dengan bagaimana bisa mensupport beliau jika beliau tetap bersikeras tinggal sendirian, jauh dari kami di Denpasar. Kami berupaya membujuk, untuk mengajak ke Denpasar. Beliau mengatakan beliau lebih takut kalau tertular anak-anak kalau tinggal di Denpasar.
Ya sudah. Apa mau dikata. Namanya orang tua, punya pola pikir yang berbeda sesuai dengan kebiasaan-kebiasaannya. Kami pulang kembali ke Denpasar pada hari yang sama. Selang sehari, ternyata beliau malah tambah khawatir kesulitan mencari bahan makanan dengan diberlakukannya PSBB. Akhirnya beliau menelepon, minta dijemput untuk dibawa ke Denpasar.
Cus, boyongan lah hari itu. Semua barangnya dia bawa : baju, ember (untuk pipis katanya kalau malam keburu ingin pipis dan tidak bisa ke kemar mandi), sabun-shampoo, makanan dan surat-surat berharga, obat-obatan. Macam pindah rumahlah. Kocak juga kalau ingat itu.
Wajah cemasnya masih terbayang. Entah apa saja yang dipikirkannya saat itu. Bahkan cucu-cucunya ingin menyambutnya dan bersalaman pun dia menolak, katanya 'jaga jarak'. . Ya, ya,ya. Saya pun tak menyangka sebegitu kuatirnya ia akan covid ini. barangkali terpengaruh dengan berita-berita yang meyeramkan yang dibahas di sosmed.
Hari-hari pertama di rumah, ia banyak diam dengan wajah tegang. Saya tidak banyak bertanya, tidak juga lebay. Sebagai mantu, saya menempatkan diri agar ia mendapatkan masa transisi yang mulus. Kami juga belum tahu seberapa lama ia akan tinggal dan juga seberapa cepat kita bisa saling menyesuaikan diri.
Yang jelas, untuk makanan beliau saya bantu menyajikan. Nasi pun saya ambilkan, beserta lauk dan bahakan air minum. Beliau tidak banyak cakap dan banyak gerak. Terbatas dari kamar, ke kamar mandi lalu di kursi tamu untuk duduk dan terkantuk-kantuk tertidur. Beliau mengeluh merasa lemas, capek , kesemutan tangannya bekas stroke beberapa tahun lalu.
Jika tidak diambilkan, beliau tidak mau makan. Lalu berulang-ulang mengatakan mau tes rapid untuk memastikan apakah ia terkena covid atau tidak. Saat itu rapid tes masih jarang dan bahkan dokter atau lab yang menerima pemerikasaan pun sangat ketakutan dan cemas.
Saya masih ingat juga betapa suatu hari beliau mengatakan tidak bisa ke belakang 2 hari dan perlu obat cuci perut. Lalu setelah dibelikan, obat itu ia minum setengah botol, dan berakibat malah BAB terlalu cair dan bahkan tidak tertahankan dan tercecer dalam langkahnya ke kamar mandi.
Disitulah kehebatan anak lelakinya, yaitu suami sayah tercinta. Ia tidak menyalahkan ibunya, namun dengan ihklas membersihkan semua kotoran dengan penuh penerimaan. Tanpa segan turun langsung menangani situasi tanpa saya harus ngotot.
Jika ada acara persembahyangan di griya pun, beliau menolak ikut. Alasannya nanti tertular dari para umat yang datang untuk sembahyang. Ya sudah, bebas ajalah. Beribadah itu tidak bisa dipaksakan.
Di rumah pun banyak sekali lingkaran kekuatiran beliau. Mulai dari mempertanyakan, buat siapa maturan, siapa yang dipuja dan dituju jika sembahyang. Kenapa duduk di depan area akurarium untuk sembahyang, siapa yang tunjukkan untuk duduk di sana. oh well. Saya dan suami menanggapinya dengan jawaban sederhana saja , ya berdoa kepada Tuhan YME. Duduk di situ karena nyaman saja. Tempat lain juga boleh kok.
Memang tak mudah bagi beliau beradaptasi. Makanan yang dimasak si teteh pun seringkali tidak berkenan : tidak suka pedaslah, kalau makan pisang goreng jadi jerawatan lah, dimasakkan masakan dikomentari tidak suka karena beliau orang kampung lah tidak pernah makan yang aneh-aneh lah. Pokoknya aneka rupa. Si teteh sempat baper pula karena semua yang dimasak seolah tidak ada yang benar.
Barangkali beliau juga kesal dalam hatinya lihat pola tidur mantunya, yang seringnya bergadang sampai pagi dan baru bangun siang jam 9. Sementara anaknya bangun pagi dan mengurus maturan , mantunya masih tidur itu... sesuatu bingit yaaa.
Awal-awal tinggal bersama kami, beliau tidak mau naik ke lantai atas karena merasa sudah tua dan tidak kuat naik tangga, itu sesuatu sih. Padahal usiaya 74 tahun dan masih kuat berjalan. Somehow, whatever you think about yourself, you are right.
Saya menuliskan pengalaman ini agar menjadikan catatan, bahwa apapun butuh proses adaptasi. Seringnya kita sendiri yang membuat keadaan menjadi sangat sulit untuk diterima karena ada rasa asing, tidak tahu apa yang dapat diharapkan, dan rasa tidak nyaman luar biasa. Perubahan adalah sesuatu yang menakutkan, sampai akhirnya kira perlahan menyadari bahwa fase-fase yang harus dilalui begitu panjang sebelum tiba di kondisi penerimaan.
Barangkali saat kita menjadi lansia pun akan dipenuhi dengan kekhawtiran dalam bentuk prilaku yang berbeda, sehingga sejak sekarang belajar dari mengamati agar memiliki kecakapan hidup yang lebih baik.
No comments:
Post a Comment