Manusia memang aneh, dan jeleknya saya juga manusia, sehingga harus mengakui punya keanehan juga. Paling mudah menunjuk atau mengenali keanehan orang lain, dibanding diri sendiri. Hehe.
Anak saya yang paling besar, akhir-akhir ini setiap pagi selalu menangis. Ada saja yang dia jadikan alasan untuk menangis. Seringnya sih : gak mau mandi, gak mau sikat gigi, gak mau berangkat kursus. Kalau saya biarkan menangis, tangisan makin keras. Kalau sudah terlalu memekakkan telinga dengan sendirinya saya tak kuasa meminta dia berhenti menangis. Meskipun hasilnya adalah dia meraung-raung :" gak mau dimarahin" seolah-olah saya mau memakan anak sendiri. Pada tahap itu, saya membebaskan diri dengan cara menarik nafas panjang tanpaberkata apa-apa lagi, dan menawarkan diri untuk memeluknya.
Ternyata, dunia ini rasanya tidak akan rame kalau tidak ada insiden lain. Baru-baru ini ibu saya menelepon sekonyong-konyong pada saat saya sedang terbelit urusan dengan klien alot atau malam kala mimpi indah membuai. Yang dikatakan ibu saya juga cuma sedikit, cuma repot urusannya karena pakai nada suara merintih atau setengah menangis. Keluhannya berkisar kakinya sakit tidak bisa berjalan, pembantu hariannya tidak datang, dua anaknya (abang saya:red) belum mengirimi uang, mobil Holden milik ayah saya yang sudah tidak jalan itu merintangi dia menyirami tanaman, dst, dst. Saya cuma bisa mendengarkan. Jurus cesplengnya adalah keesokan harinya saya datang berkunjung dan membawakan buah sekedarnya.
Menerima SMS yang tak terduga isinya, rasanya mirip tersambar halilintar. Kadang rambut saya seolah berdiri semua jika tiba-tiba ada "pesan sponsor" dari mertua. Namanya juga mantu, mana bisa saya pilih-pilih waktu menerima sms. Apalagi mertua perempuan saya setelah pensiun kelihatannya punya banyak waktu untuk memikirkan hal-hal apa saja yang tidak terlintas di benak saya. Hal yang cukup mencengangkan saya adalah di saat saya diburu deadline atau berada di dunia antah berantah (berpikir keras tentang proposal pelik atau menghadapi proyek di kantor) bisa ada saja SMS yang WOW yang bisa membuat kepala saya berdenyut-denyut dan menebak apa maksudnya. Setelah bisa bernafas teratur, baru saya sadar bahwa kami sudah beberapa waktu tidak menelepon sekedar memberi kabar.
Kemarin ini juga saya tiba-tiba kesal, menggerutu tanpa juntrungan kepada suami. Bukan perkara PMS, bukan cemburu, bukan juga soal anak, apalagi pembantu. Tapi jangan salah, ada rentetan peristiwa yang saya permasalahkan. Biasanya tidak menjadi masalah, tapi kali ini saya keberatan. Pokoknya itu semua racun harus keluar saat itu juga. Awalnya, sebagaimana lelaki normal adanya, suami saya yang merasa didakwa dan dipojokkan tiba-tiba, juga mengeluarkan kritikan-kritikan pedas. Sebagai perempuan normal, menangis pula saya ini jadinya. Sesudah itu kami berdua terdiam. Kemarahan saya yang meledak seperti gunung meletus itu mereda hanya dengan rengkuhan penuh rasa maaf dan kesepahaman. Ah, ternyata saya juga uring-uringan karena merasa kehilangan lantaran beberapa hari terakhir suami saya sibuk rapat kerja, dan saya tidak kebagian waktu primanya.
Rasa kehilangan akan kedekatan dengan orang yang kita cintai memang bisa jadi racun di tubuh dan pikiran. Mulanya cuma dirasakan sendiri, lalu menjadi penyakit fisik, dan yang kurang menguntungkan adalah mempengaruhi cara berpikir. Kalau sudah berpikir yang aneh-aneh, bicara jadi kacau. Nah....sebagai orang yang juga dicintai, rasanya wajar mengayomi orang yang kita cintai yang sedang tidak rasional. Kadang bentuknya sesederhana pelukan hangat, percakapan telepon yang akrab dan penuh perhatian, senyum penuh kemafhuman.
Wednesday, November 07, 2007
Friday, October 19, 2007
the overemphasized vacation
Awalnya kami berpikir liburan lebaran yang panjangnya 2 minggu itu lebih baik dipergunakan untuk mengunjungi kakiang dan niangnya anak-anak, karena sejak tiba di tanah air kita belum berkesempatan pulang ke Bali.
Lalu mencarilah kami tiket murah; untuk 5 orang termasuk 3 krucil: Wisnu, Akira dan Andhika dengan budget 5 juta pulang pergi. Tentunya anda bisa menebak bahwa kami memilih maskapai apa. Penerbangan malam, tanpa makan/minum (kecuali anda mau beli), boarding pass nya tak bernomor kursi (sehingga begitu gate ke pesawat dibuka, semua orang berlarian berebutan kursi) demi keterjangkauan kocek.
Kehebohan demi kehebohan sudah terjadi pada masa persiapan keberangkatan. Antara lain, pembelian tiket pesawat lewat internet dengan kartu kredit bank anu yang sungguh independent, sehingga untuk melakukan transaksi saja kita tidak bisa memutuskan sendiri, karena si bank itu sangat mau-maunya sendiri: perlu konfirmasi sebelum transaksi, menunggu 10 menit baru bisa dibuka linenya.
Kehebohan lainnya mencari hotel untuk 2 malam sebelum kita bertolak ke Jakarta, karena Kakiang dan Niang tinggal di Singaraja dan akan ada acara sendiri, sehingga kami lebih baik mencari tempat tinggal sekitar Denpasar. Rata-rata harga hotel yang ditawarkan travel agent sangat fantastis: tak terjangkau, dengan dalih "high season price". Akhirnya kita dapat satu hotel, dan karena Aji yang melakukan pemesanan kamar, entah kenapa bisa akhirnya tawar-menawar harga hotel. Karena kita mah bukan orang Bali, jadinya pengen cari hotel yang bagus, bersih, kamarnya besar, sea view, ada spanya. jadilah kita memilih disini.
Kehebohan ketiga, adalah berupaya membuat anak-anak duduk tenang selama perjalanan. Awalnya ibu duduk bersama Wisnu dan Akira yang sudah dapat tempat duduk sendiri, sedangkan Aji memangku Andhika. Ternyata 90 menit penerbangan dengan 3 balita sungguh menantang. Pertama, Akira berdiri di atas kursi dan cengar-cengir dengan penumpang di belakang kita lalu diikuti Wisnu melakukan hal yang sama. Kemudian, Akira mulai melompat-lompat dan berteriak tak karuan, minta pindah duduk dengan Aji, sementara Andhika harus duduk dipangku. Melihat Akira jumpalitan, Wisnu juga ikutan ingin duduk dengan Aji. Pertengkaran dimulai dan akhirnya Aji tukeran tempat duduk dengan ibu. Walah, itu belum apa-apa. Andhika juga meronta ingin ikut Aji, akhirnya 3 anak duduk dengan Aji. Baru tenang sebentar, Akira minta dipangku Aji dan Andhika menangis karena tidak kebagian tempat, Wisnu menangis minta pindah dipangku ibu. Welehhhhh.....ada beberapa menit 3 anak menangis bersamaan sementara ibu dan Aji rasanya pengen pura-pura tidur atau cepat-cepat turun dari pesawat.
Kami tiba di Denpasar sekitar jam 22.00 WITA dan berlanjut ke Singaraja. Mereka tidak rewel di perjalanan dan malahan tertidur karena capek. Selama 2 hari di rumah Niang dan Kakiang, anak-anak badannya demam, selera makannya menurun, pilek karena malamnya tidur dikamar yang dipasangi kipas angin. Akira yang sedang berada di periode tak mau pakai celana, sempat pipis dimana-mana dan pup di ruang makan. Pokoke heboh.
Hari Kamisnya, kami meninggalkan Singaraja untuk bermalam di hotel. Kelihatannya anak-anak bisa lebih beristirahat meskipun selera makannya masih belum pulih dan frekuensi pertengkaran dan tantrumnya tidak mereda. Paling tidak ibu sempat pijat, anak-anak sempat main di pantai, aji sempat foto-foto. Masing-masing kelihatannya punya kebahagiaan sendiri-sendiri.
Pantai Sanur yang tidak sepadat Kuta sehingga suasananya cukup menenangkan. Kita sempat makan malam di restauran-restauran mungil nan cantik dan romantis di pinggir pantai sampai matahari tenggelam. Ya, dengan 3 balita tentunya acara makan malam diwarnai oleh makanan tumpah, Akira matanya kemasukan pasir, Andhika berdiri di high chair dan merebut makanan Akira sehingga mereka berdua bertengkar.
Senang? Oh....senang. Hanya saja, to live in reality means having a vacation with 3 kids and no nannies is not necesarily more fun than staying at home.
Tapi hidup kan perlu selingan. Walau selingan itu berarti..well, whatever it means.
Subscribe to:
Posts (Atom)