Saturday, March 22, 2008

Mendaki Gunung Kesabaran

Kalau ada orang yang menderita luka, sungguh mudah bagi kita untuk berkata "sabar". Kenapa? Karena kita tidak merasakan perihnya luka, meskipun kita mungkin melihat ada darah yang keluar dari luka. Dengan kata lain: kita tidak dalam penderitaan tersebut.
Tapi kalau kita mau menelaah lagi nasihat kita agar orang bersabar, sebenarnya kita bisa belajar tentang hal yang berbeda. Jika orang terluka, boleh-boleh saja kita berlaku bijaksana menasehati, mengingatkan atau bahkan mengkritik. Gradasinya bisa macam-macam sampai tingkat menghina dengan bungkus simpati.

Kembali ke persoalan orang yang terluka, mereka tidak butuh nasehat supaya lain kali tidak terluka. Yang terjadi adalah, jika sang terluka meringis ataupun menangis menahan sakit merupakan saat yang paling tepat untuk tidak mengomentari. Ia butuh penerimaan dia sedang terluka. Itu saja. Bukan nasehat. Bukan cibiran "kalau gue jadi lu siih, gue begini begitu, jadi gue nggak terluka". Lha. Wong keadaan yang ada di depan mata adalah dia terluka. Titik.

Dan satu hal lain lagi, saat sang terluka menangis kesakitan, bukan berarti dia tidak sabar. Coba anda bayangkan, anda terluka parah dan meringis kesakitan, lalu teman anda yang melihat berujar " jadi orang tuh musti sabar, bersyukur, ikhlas, dll, dsb". Apa yang akan anda katakan?

Pada saat orang kesakitan, hormatilah rasa sakitnya. Jika orang sedang berkeluh kesah atas kegundahannya, dengarkanlah. Andaikan anda bisa menerima penderitaanya, sesungguhnya itu bentuk pertolongan yang lebih dari cukup. Bukan karena kita orang yang terdekat dengan mereka menjadikan kita orang yang serba tahu tentang bagaimana menjalani hidup orang lain. Simpanlah dulu nasehat kita. Bagaimanapun juga, kita tidak menjalani penderitaannya. Jikalau pun kita merasakan ada kemiripan dengan kejadian yang pernah kita alami, tidak perlulah kita menggurui. Jadikan pengalaman masa lalu kita itu untuk turut merasakan kepedihan luka si penderita. Dengan begitu, kita berjalan disisinya, menjadi temannya.

Bagaimanapun juga, sebagai orang yang sedang tidak terluka, kita bisa mengulurkan lengan dengan penuh kesabaran. Dengan cara begitu, kita lah yang mendapat bonus pencerahan.

Untuk kawan saya yang tengah terluka.


Monday, March 10, 2008

Celoteh Wisnu

Akhir-akhir ini, sebelum tidur, seusai baca doa, biasanya ada celotehan Wisnu. Di saat itu, ibu biasanya sudah super ngantuk --jadi agak setengah sadar. Paginya baru teringat dan terasa terngiang-ngiang di telinga. Kadang celotehan itu jadi bahan ketawa sendirian saat bete, kadang malah jadi bahan bikin sedih --terutama kalo lagi tugas ke luar kota.

Berikut celotehannya:


Wisnu ingin punya rumah. Rumah kita sendiri, yang besar dan tingkat
tujuh, tinggiii.... Ini kan bukan rumah kita, tapi rumah kakiang dan niang. Gak
boleh dicoret-coret, gak boleh kotor, dindingnya gak boleh digunting-gunting.

Ibu, ibu, Wisnu mau ke Jepang lagi, sama adik Akira dan adik Andhika.
Ibu di rumah aja, masak, main sama Wisnu, nonton TV. Gak ngantor lagi, gak pergi ke Bali, gak pergi ke Makassar, gak pulang malam. Aji juga gak ngantor, cuma ke kampus aja, cuma aikido aja. Nanti main salju lagi. Belanja lagi sama Wisnu. Naik bis, naik kereta.


Kenapa ibu ke kantor setiap hari? Cari uang? Buat beli susu Wisnu dan
adik-adik? Gak usah! Kalo ibu ke kantor, Wisnu jadi sedih dong. Ibu pulangnya
lama, Wisnu gak mau sama mbak-mbak. Wisnu tungguin ibu, ibunya gak dateng-dateng. Wisnu telepon aki, eh akinya gak dateng-dateng.


Kalo Wisnu sudah besar, Wisnu mau jadi tukang ikan. Ikan yang untuk
dimakan. Kita gak boleh makan binatang, kasihan binatangnya. Kalau binatang yang gak bagus, boleh mati, boleh dimakan.


Kalo Wisnu sudah dewasa, sebesar Aji, Wisnu mau naik motor aja ah,
biar cepat, gak mau naik mobil, macet!