Tuesday, April 24, 2012

Tak harus seperti yang seharusnya

Sewaktu saya kecil, saya hampir tidak bisa menerima kenyataan bahwa saya dilahirkan sebagai bukan laki-laki. Bagi saya waktu itu, betapa enaknya menjadi anak laki-laki : bisa pergi bermain ke mana saja, memakai pakaian apa saja (celana sependek selangkangan, kaos tanpa lengan, bahkan bertelanjang dada), melakukan apa saja (memanjat pohon, menceburkan diri ke got, bermain tonjok-tonjokan) atau tidak melakukan apa-apa di rumah (bersantai-santai menonton televisi atau mengobrol) sementara anak perempuan ibu saya, yaitu saya, harus membantu di dapur, bertanggung jawab atas kebersihan dan kerapihan rumah.

Mungkin ada banyak perempuan di luar sana berupaya membuktikan diri bahwa dirinya bisa melakukan hal-hal yang pada umumnya dilakukan laki-laki -- saya tidak menyalahkan mereka, tokh saya melakukan itu sebelumnya. Saya memanjat pohon flamboyan setinggi 300m dan jambu air setinggi atap rumah untuk bersembunyi dari teriakan teman yang mengajak main boneka, mengendarai sepeda kakak saya yang kebesaran untuk saya saat berusia 8 tahun  dari tebet utara sampai cikoko (sekitar 1 km dari rumah) sambil berdiri di atas sepeda, lepas tangan, menyalip antara metromini  S 60, becak, motor dan sepeda teman-teman kakak saya yang 6-7 tahun lebih tua dari saya. Saya terus memakai celana pendek dan berambut yongenskop bersepeda sejauh saya mau, mengejar layangan putus, bermain kelereng, adu biji karet, dll.  Hingga suatu hari, seorang bapak melansir " eh, kamu anak perempuan ya? kok seperti anak lelaki?" .  Saya shock, dan berhari-hari duduk di ayunan di halaman rumah memikirkan apa yang ditanyakan bapak itu.

Atas nama wanita, saya paling tidak suka kalau harus melakukan sesuatu atau tidak boleh melakukan sesuatu karena satu alasan : karena saya wanita. Untuk saya, itu bukan alasan yang bisa diterima.

Saya tidak marah dilahirkan sebagai wanita, meski keberadaan saya sebagai anggota gender ini menjadikan saya di aniaya secara verbal oleh sosok dewasa bergender sama:
 " kamu harus belajar masak. laki-laki tidak mau menikahi perempuan yang tidak bisa memasak".
 " gula habis kok bisa tidak tahu? ada anak perempuan di rumah kok bisa gula habis tidak tahu"
 " sisir rambutmu, anak perempuan rambutnya harus rapih"

Saya nyaris berjanji pada diri sendiri, kalau nanti punya anak perempuan, saya berikan kebebasan sama seperti anak laki-laki. Eh, ternyata Tuhan tidak memperkenankan saya punya anak perempuan, atau lebih tepatnya saya lebih dipercaya untuk mendidik 3 anak laki-laki  dan tambahan suami saya (yang juga merupakan anak laki-laki mertua saya) dengan  memasukkan kompetensi perempuan dalam repertoire tanggung jawab mereka. Semua orang harus cuci piring. Semua harus membersihkan apa yang ditumpahkan. Semua harus bisa masak.

Meski saya bukan keturunan dari patih gajah Mada, saya mengeluarkan pernyataan aka ancaman terhadap 4 laki-laki di rumah saya , " perempuan tidak ditakdirkan untuk melakukan dan memikirkan SEMUA".

Setelah itu? Saya menggeram. Eh, tidak, menendang keranjang sampah (ini karena semata-mata saya suka bunyinya, terutama yang terbuat dari kaleng dan mengenai dinding, --you should try it sometime!)

Begini ya, saya tidak punya masalah dengan orang-orang yang mengagumi Kartini. Saya  juga bukan golongan feminis yang menyatakan perempuan lebih hebat atau lelaki tak bisa hidup tanpa perempuan (saya lebih setuju orang tidak bisa lahir ke dunia tanpa perempuan --even bayi tabung).

Barangkali anda penasaran seberapa perempuankah saya, silakan mengobservasi saya selama 2x24 jam di rumah  (well, satu sahabat saya benar-benar melakukannya baru-baru ini dan menyatakan dirinya lebih beruntung).

 Sebelum alarm berbunyi, dengan terhuyung-huyung saya bangun dari tempat tidur, dengan otomatis (meski belum membuka mata) melangkah dari kamar saya ke kamar anak-anak untuk mematikan AC, membuka jendela, dan menyapa dan menciumi 3 pangeran mungil saya untuk bangun. Kemudian, melangkah ke dapur mengecek apa yang dikerjakan pembantu: apakah sudah masak air panas, apakah takaran susu untuk anak-anak sudah tepat, apakah sarapan disiapkan sesuai arahan saya, apakah buah untuk jus dipotong dengan pisau buah (bukan pisau untuk mengupas bawang) dan tangan si mbak menggunakan sarung tangan plastik, apakah blender dipasang dengan tepat, apakah nasi sudah dimasak, apakah peralatan untuk maturan sudah dicuci dan lengkap, apakah seragam sekolah cukup licin diseterika, sepatu anak-anak cukup mengkilap semirannya. Kemudian saya mandi, dan mengawasi anak-anak mandi , berpakaian, sarapan dan memastikan meninggalkan rumah sebelum 6.25.

Itu baru perkara anak-anak. Suami? o-o, saya tidak akan membahasnya di sini. Setelah anak-anak berangkat, sebelum ke kantor, sambil berdandan (yang seringnya saya lanjutkan di perjalanan menuju kantor, tak perduli supir taksi mengintip keheranan dari rear window melihat saya memulas make up dan mengerol rambut) dan berpakaian, saya membriefing apa saja yang harus dilakukan pembantu : mengkonfirmasi menu yang sudah dibuat selama seminggu, mengecek jadwal les anak-anak, vitamin atau obat yang harus dimakan, apa yang mesti dibeli (gas, air minum, susu, telur, bahan prakarya anak-anak) atau siapa mesti ditelepon.  Semua itu dikerjakan secara simultan dan masih saya harus memastikan meninggalkan rumah tidak lebih dari pukul 7.10 agar suami saya tidak terlambat masuk kantor dan membawa serta dompet, hp, bekal makanan, tas isi apa untuk hari apa (selasa yoga, rabu -jumat aikido, kamis mengajar)

mau gila? itu baru pagi.

Tiba di kantor, seperti rekan lainnya saya bekerja sampai pukul 5. Tapi saya paling tidak sudi ditelepon pembantu soal rumah. Jam layanan rumah hanya pagi sebelum pukul 7 dan sesudah pukul 6 sore. Kenapa? I need some peace of mind. saat badan di kantor, saya ingin jiwa saya tetap di kantor.

Pulang kantor, tiba di rumah, saya makan dan mandi. Sambil makan, mengkomentari masakan, mengecek kebersihan meja makan dan area dapur. Sambil mandi, membereskan peralatan mandi anak-anak, kebersihan kamar mandi, sampai letak keset dan rak handuk. Barulah sesudah itu saya dapat energi untuk menemani anak-anak mengerjakan PR, membacakan cerita sebelum tidur, berdoa dan mematikan lampu. Saya tetap harus mengecek baju mana yang harus diseterika untuk dipakai anak-anak besok, apakah pembantu sudah makan, apakah kompor sudah dibersihkan, apakah baju sudah dilipat dan dimasukkan lemari, apakah jemuran tidak menumpuk dibelakang, apakah menu sarapan untuk besok perlu ditambah, apakah baju tertentu dicuci dengan deterjen yang tepat, apakah ada pemberitahuan dari sekolah anak-anak.

Does it make me less feminine?

Tapi, anda bisa bayangkan apa yang terjadi jika saya tidak punya pembantu, sementara standar yang saya tetapkan tetap tidak turun. Ya, saya baru bisa selesaikan pekerjaan upik abu pukul 1.30 malam, untuk bangun pukul 4.30 pagi, dan masih harus ke kantor tersenyum dan menyatakan dunia baik-baik saja.Dan tiba dirumah yang kocar-kacir, menyatakan semua akan baik-baik saja.

Saya tetap berambut pendek, mengenakan celana pendek (di rumah). Saya masih memanjat tangga untuk mengganti bohlam lampu yang mati, memotong rumput dengan pemotong listrik, mengecek kerusakan rumah, memanggil tukang, dan mengingat jatuh tempo tagihan-tagihan dan membayarnya.

Do I give rooms for others?

Saat saya diminta suami untuk belajar menyetir mobil (lagi), sekarang ini saya bisa menjawab, " boleh aja, biar saya bisa gantian nyetir. Tapi, kalau gitu kamu yang masak dan urus anak-anak ya?"

Terus, saya masih harus menjadi manusia yang pemaaf, berempati kepada orang yang tidak mau berempati kepada saya dan menyalahkan saya atas kekecewaannya. Terus saya tidak boleh punya berharap orang memahami saya.

Saya ini apa? Manusia?

Kalau teman saya punya priveledge saat ini dengan menamakan rasa capeknya dengan kata baby blues atau depresi, saya tidak punya label untuk ini. Tokh mereka lihat saya bisa tertawa, punya kerjaan, bisa jalan-jalan gratis karena dinas, bisa curhat, bisa menulis kegilaan-kegilaan saya. I dont have a name for this state of emotion.

Tapi saya memutuskan untuk tidak harus melakukan atau bersikap seperti yang seharusnya. Seharusnya menurut siapa? Kenapa?




























No comments: