Semakin bertambah umur, hidup ini makin lucu rasanya. Makin banyak jenis orang unik yang saya temui. Makin banyak pertanyaan yang tidak terjawab. Makin tidak jelas kenapa kejadian A berakibat Z, bukan B.
Kalau memang hidup itu penuh ujian, kenapa sebelum manusia dilahirkan tidak diberi bimbingan belajar dulu oleh Tuhan? Supaya bisa naik kelas, zaman kita sekolah dulu harus rajin belajar dan mengerjakan PR, nilai harus bagus. Hidup itu banyak sekali yang diujikan tanpa adanya bimbingan. Seringkali, ujian diulang-ulang dengan soal yang sangat mirip, namun pengujinya berbeda-beda.
Konon, jika ujiannya datang lagi berarti mata pelajaran tersebut masih dalam status remedial. Ha-ha-ha. Kelihatannya untuk beberapa kompetensi hidup saya memang under-dog. Jeblog.
Waktu usia kanak-kanak ujian terberat saya adalah untuk menjalani lakon anak yang pesakitan. Kena angin, asma. Kecapekan, asma. Cium-cium kucing, asma. Apa juga yang dimakan demi peningkatan daya tahan tubuh, tetap berujung a-s-m-a.
Waktu remaja, ujian terberat adalah menerima perasaan jatuh cinta. Astagah. Mati-matian saya jatuh cinta kepada para pria yang kenal saya pun tidak. Pun kenal, biasanya jatuh cintanya kepada sahabat saya sendiri. Sungguh tragis.
Waktu menginjak dewasa muda, perjuangan terberat adalah menjadi mandiri. Dididik dari kecil untuk bisa memutuskan untuk diri sendiri, mencoba hal baru, tegar dan tak mudah mengeluh. Saya pikir saat sudah memiliki kocek sendiri, kemerdekaan ada di tangan sendiri. Ternyata, ibunda tak sudi berbagi kendali, meski dengan anaknya sendiri. Ironis. Saat mau mandiri, malah dianggap tak tahu diri. Ya, jarang pulang ke rumah, tidak minta nasehat ortu, apalagi minta uang jajan.
Perlu bab tersendiri untuk menceritakan ujian dalam kehidupan pernikahan. Heu-heu. Anggap saja seperti menulis kamus atau ensiklopedia -- bahasannya tumpang tindih kategorinya.
Tahun ini, 2020 setelah blog ini hibernasi bertahun-tahun, saya memutuskan untuk mulai nulis kembali. Bukan semata-mata karena tidak bisa mengantuk sampai pukul 3 pagi, tapi rasanya sayang kalau blog yang sudah begitu banyak catatan sejarah kehidupan terbengkalai .
Pandemi Covid19 ini adalah juga ujian nasional kehidupan. Semua orang dipaksa belajar ekstra. Membolak-balikkan priotitas dan pola pikir. Yang biasanya kerja habis-habisan, sekarang malah habis pekerjaannya se-perusahaan dan se-penghasilannya. Yang biasa keluyuran, dipaksa tinggal di rumah berhari-hari. Yang biasa minta orang kerjakan, sekarang terpikir untuk melakukannya sendiri .
Seberapa jauh kita bertahan untuk jenis ujian ini? Saat Ramadhan mendekat, jangan kan terpikir tunjangan hari raya, pegawai bergaji tetap pun terancam pengurangan take-home-pay. Saat duit sudah menipis, teman menjauh, sanak saudara terpisahkan, lalu apa yang tersisa?
Endurance dan strategi yang menghemat energi. Siapkan mental dan aktivasi afirmasi positif buat diri sendiri. Tak perlu urus orang lain punya pola pikir, kita bertarung dulu dengan diri sendiri. Mengalahkan aneka raksasa keserakahan dan kepelitan untuk berbagi.
Kalau memang hidup itu penuh ujian, kenapa sebelum manusia dilahirkan tidak diberi bimbingan belajar dulu oleh Tuhan? Supaya bisa naik kelas, zaman kita sekolah dulu harus rajin belajar dan mengerjakan PR, nilai harus bagus. Hidup itu banyak sekali yang diujikan tanpa adanya bimbingan. Seringkali, ujian diulang-ulang dengan soal yang sangat mirip, namun pengujinya berbeda-beda.
Konon, jika ujiannya datang lagi berarti mata pelajaran tersebut masih dalam status remedial. Ha-ha-ha. Kelihatannya untuk beberapa kompetensi hidup saya memang under-dog. Jeblog.
Waktu usia kanak-kanak ujian terberat saya adalah untuk menjalani lakon anak yang pesakitan. Kena angin, asma. Kecapekan, asma. Cium-cium kucing, asma. Apa juga yang dimakan demi peningkatan daya tahan tubuh, tetap berujung a-s-m-a.
Waktu remaja, ujian terberat adalah menerima perasaan jatuh cinta. Astagah. Mati-matian saya jatuh cinta kepada para pria yang kenal saya pun tidak. Pun kenal, biasanya jatuh cintanya kepada sahabat saya sendiri. Sungguh tragis.
Waktu menginjak dewasa muda, perjuangan terberat adalah menjadi mandiri. Dididik dari kecil untuk bisa memutuskan untuk diri sendiri, mencoba hal baru, tegar dan tak mudah mengeluh. Saya pikir saat sudah memiliki kocek sendiri, kemerdekaan ada di tangan sendiri. Ternyata, ibunda tak sudi berbagi kendali, meski dengan anaknya sendiri. Ironis. Saat mau mandiri, malah dianggap tak tahu diri. Ya, jarang pulang ke rumah, tidak minta nasehat ortu, apalagi minta uang jajan.
Perlu bab tersendiri untuk menceritakan ujian dalam kehidupan pernikahan. Heu-heu. Anggap saja seperti menulis kamus atau ensiklopedia -- bahasannya tumpang tindih kategorinya.
Tahun ini, 2020 setelah blog ini hibernasi bertahun-tahun, saya memutuskan untuk mulai nulis kembali. Bukan semata-mata karena tidak bisa mengantuk sampai pukul 3 pagi, tapi rasanya sayang kalau blog yang sudah begitu banyak catatan sejarah kehidupan terbengkalai .
Pandemi Covid19 ini adalah juga ujian nasional kehidupan. Semua orang dipaksa belajar ekstra. Membolak-balikkan priotitas dan pola pikir. Yang biasanya kerja habis-habisan, sekarang malah habis pekerjaannya se-perusahaan dan se-penghasilannya. Yang biasa keluyuran, dipaksa tinggal di rumah berhari-hari. Yang biasa minta orang kerjakan, sekarang terpikir untuk melakukannya sendiri .
Seberapa jauh kita bertahan untuk jenis ujian ini? Saat Ramadhan mendekat, jangan kan terpikir tunjangan hari raya, pegawai bergaji tetap pun terancam pengurangan take-home-pay. Saat duit sudah menipis, teman menjauh, sanak saudara terpisahkan, lalu apa yang tersisa?
Endurance dan strategi yang menghemat energi. Siapkan mental dan aktivasi afirmasi positif buat diri sendiri. Tak perlu urus orang lain punya pola pikir, kita bertarung dulu dengan diri sendiri. Mengalahkan aneka raksasa keserakahan dan kepelitan untuk berbagi.
No comments:
Post a Comment