Monday, March 24, 2008

Apa yang berasal dari Tuhan, kembali padaNYA

Warning no.1

Pukul 4 subuh, Andhika menggedor pintu kamar kami. "abu, pu" serunya. Artinya : "ibu, saya pup, tolong dibersihkan. Walau mata masih sepet karena keinginan untuk bermalasan lebih tinggi dibanding semangat bangun pagi di libur akhir pekan nan panjang kali ini, saya menggandeng tangan mungil Andhika menuju kamar mandi.

Angin semilir terasa menyusup dari celah kaca kamar mandi. Saat saya menyalakan keran air shower, terdengar suara dari loudspeaker mesjid di ujung jalan " Inna lillahi wa inna ilahi rojiun, telah berpulang ke rahmatullah..." . Kucuran air yang menyentuh kaki saya terasa lebih dingin dari pagi sebelumnya. Andhika mengagetkan saya dengan suaranya "abu, itu sapa?", seolah menanyakan artinya. Saya memang tidak memperhatikan nama orang yang disebutkan pengelola mesjid itu, tapi ada perasaan lain yang hadir kali ini dengan ucapan pembuka pengumuman. Saya tatap mata Andhika yang membulat, menunggu jawaban. Alih-allih menjawab, saya berkata dalam hati : Inna lillahi wa inna illahi rojiun.

Hari ini memang bukan hari istimewa. Pengumuman seperti itu pun sering berkumandang dari pengeras suara mesjid. Namun, ucapan yang menggema yang dihasilkan adalah : ya, apapun yang berasal dari Tuhan kembali kepadaNYA.


Warning No.2

Baru saja minum jus pepaya, saya berjalan melintasi ruang makan menuju kamar bersiap berganti baju. Tiba-tiba telepon berdering. Saya lirik jam dinding : pukul 6 pagi. Pasti telepon penting. PRT saya mengangkat ganggang telepon ,
" halo, selamat pagi. Ya? ada, sebentar".
Ternyata telepon itu datang dari ibu saya, yang beberapa waktu belakangan ini ambek-ambekan minta ditengok dan ditelepon lebih sering dan tuntutan-tutntutan lainnya yang melebihi tritura. Saya tarik napas sedikit, bersiap menghembuskannya perlahan-lahan sebagai upaya antisipasi kejutan.
" Ken?"
" yak." jawab saya garing
" Alo Asep (alo= keponakan, dalam bahasa sunda) meninggal pagi ini, tolong sempatkan mampir ke sana, ya"
Tiba-tiba, kejengkelan saya kepada ibu saya menguap. Rasanya ada yang mengelepak kepala saya dan membuat batin saya hidup kembali.
" halo? ken? " seru ibu saya dari seberang sana yang menyadarkan kelinglungan saya.
" iya, nanti sebelum ke kantor aku ke sana".
Klik. Begitu telepon saya tutup, jantung saya lebih cepat berdegup. Seandainya saja, pagi itu telepon itu memberitakan orang tua saya yang meninggal, apakah saya masih uring-uringan kalau diminta menengok mereka?


Warning No.3

Setelah turun dari taxi, saya bergegas menukarkan uang di kasir dan menuju ke lift . Hayah, say aterlambat 15 menit untuk rapat dengan Yayasan. Beberapa saat kemudian, setelah berniat mengecek sms, barulah saya sadar Handphone sudah tak berada di tas saya. Cari sana, cari sini, tak ada. Telepon ke perusahaan taxi, meminta bantuan info seandainya supir menemukannya. Saya hubungi nomor telepon saya, ternyata nomor tak aktif. Lemas sudah. Handphone tercanggih yang pernah saya miliki dalam sejarah kepemilikan Handphone, raib.

Tak lama kemudian, teman kantor saya menghampiri.
" Ken, kamu ketinggalan HP di taxi ya katanya.
" iya" saya senyum kecut.
" saya juga, pagi ini!"
" padahal saya naik taxi xxx, tapi tak hapal nomor pintunya"
" saya juga!" seru teman saya tambah semangat.
" saya telepon, nomornya mati."
" lah, saya juga telepon, pake HP nya selly, eh diangkat sama supir taxinya. Ini, dibalikin akhirnya kesini " dengan mata berbinar teman saya mengacungkan handphonenya. Kawan saya seruangan melirik, menanti komentar saya.
" yah, nasib. Kurang amal kali gue ye". jawab saya lemah.

Saya teringat penundaan saya membayar hutang dan pemberian uang sekolah kepada anak supir kantor yang disekolahkan di Jawa karena kekurangan biaya. Argh. God, you just know it when you have to do it to me.

No comments: