Sunday, August 08, 2010

Penganten Sunat

Sejak 3 bulan lalu, Wisnu punya masalah setiap kali buang air kecil, yaitu air seninya tidak bisa mengucur deras karena lubang keluarnya menyempit. Setelah dibawa ke dokter anak, sang dokter menganjurkan agar Wisnu disunat saja karena bagian atas genitalnya ternyata mengalami perlengketan sehingga kotoran-kotorannya menempel dan air seninya tidak lancar.

Maka mulailah kami memberi pengertian bahwa anak-anak laki seumurnya pun banyak yang sudah disunat. Upaya memberi pengertian ini dimulai dari dialog, membujuk, mengiming-imingi, sampai memaksa. Biasalah, Aji kebagian jadi pihak negotiator dengan segala bla-bla mengenai alasan kenapa harus disunat dan menawarkan metoda sunat apa yang Wisnu setujui . Riset internet, sms teman-teman yang anaknya sudah disunat, menelepon beberapa rumah sakit adalah porsinya Aji karena tokh ada konsekuensi finansial yang pastinya harus dipertimbangkan merupakan hak perogatifnya. Sampai-sampai sempat ada wacana layanan sunat di rumah, yaitu si pemegang profesi pesunat ini bisa dipanggil ke rumah.


Ibu kebagian mengantar Wisnu ke tempat perayaan anak yang sudah disunat dengan harapan memberi gambaran seorang anak yang disunat akan baik-baik saja (berdiri tegak, berpakaian lengkap, tersenyum lebar menerima ucapan selamat dari banyak orang dan mendapatkan amplop). Kesan yang bisa membingungkan untuk seorang Wisnu karena di situasi lain, melihat anak lainnya yang disunat dan terkapar di tempat tidur dan sulit begerak dengan penisnya yang terkespos sementara orang-orang berdatangan memberikan salam dan pujian serta amplop berisi uang. Hey, paling tidak ibu berusaha memberikan gambaran utuh  mengenai kejadian sunat itu !Neneknya Wisnu tidak mau kalah partisipasi dengan caranya sendiri : memperlihatkan amplop yang sudah ditulisi : Untuk Wisnu; Rp 100.000 karena berani disunat. Setiap kali datang kami datang berkunjung, amplop itu diperlihatkan Wisnu seraya bujukan maut sang nenek,
Nih bli Wisnu, lihat, nini sudah sisihkan Rp 100,000 untuk bli dan nini simpan dalam amplop, di dalam dompet nini. Nanti nini berikan kalau Wisnu sudah selesai disunat
Ujaran si nenek berimplikasi kepada Andhika yang berseloroh, " wah, asyik banget! Andhika mau juga disunat!'.

Awalnya kami tertarik dengan metoda clamp yang tersohor itu dan disinyalir tidak sakit. Sempat juga sepakat mau pakai metode laser, tapi kemudian berujung pada pengakuan seorang teman yang memakai dokter di rumah sakit tempat Wisnu lahir, Duren Tiga, dengan azas sederhana : murah, dekat, metoda dokter, bius lokal dan aman.

Tibalah saatnya pada hari minggu, pukul 6 pagi kami sudah stand by di rumah sakit. Awalnya Wisnu sudah siap mental dan setuju bahwa selama proses sunat dilaksanakan dia akan main game saja di I pad. Tapi, pada saat akan dilaksanakan, arahan dokter yang berupaya sabar pun tak sanggup menghalau rasa takut dan panik Wisnu. Menangis, menjerit histeris, memohon dan mengiba agar tidak jadi disunat hampir membuat kami mengurungkan niat. Kemudian, dalam hitungan detik, kami sepakat tidak akan ada hari atau kesempatan lain untuk sunat selain : sekarang. Ibu memeluk erat Wisnu sambil menutupi muka Wisnu agar ia tidak melihat prosesnya, sementara Aji menjadi saksi peristiwa itu dan memberikan semangat.

Wisnu menangis beberapa saat, pada saat jarum suntik membiusnya. Teriakan dan tangisannya mewarnai ruang praktek dokter ditemani sumpah serapah sang dokter yang mengeluh tak bisa tenang karena Wisnu tidak kooperatif. Ibu cuma mau tutup kuping dan berharap proses cepat selesai . Dengan berbagai cara, Wisnu perlu ditenangkan karena kalau dia meronta bisa fatal akibatnya. Sebenarnya setelah dianastesi lokal, tidak ada rasa sakit yang dirasa, hanya saja Wisnu panik karena merasa ada beberapa alat yang tengah beraksi. Sensasi sakit yang sebenar-benarnya dirasakan adalah setelah sunat selesai dan ia minta buang air kecil. Yah, rasa sakit yang mungkin harus dilalui ditambah dengan imajinasinya terhadap apa yang sudah terjadi karena melihat penisnya dalam kondisi dramatis : berlumuran betadin dan mencuat karena ditahan oleh perban. Sepanjang perjalanan dari rumah sakit sampai rumah, Wisnu masih menangis dan tidak bisa menerima kenyataan dia harus disunat. Sempat terucap, " harusnya Wisnu tidak usah disunat, ibu".

Untuk beberapa saat, bahkan amplop sakti isi uang dari Nini tak mampu menahan isak tangis Wisnu. Setelah minum obat penghilang rasa sakit, Wisnu tertidur. Sejam kemudian, barulah dia minta makan dan minum.  Dan akhirnya bisa tersenyum dan berkata dengan bangga, " sekarang penis Wisnu seperti punya Aji". Oh , man! Ibu jadi melengos.com.

1 comment:

Daffodil said...

weleh.untung ngga keluar tuh comparative adjectives dengan semena mena.:-)

congrats utk Wisnu yang berani.