Sunday, August 29, 2010

what ramadhan brings me back

Bagian terbaik dari sepotong nyali saya ini adalah mencoba kembali ke masa lalu. Meski banyak orang yang mati-matian bilang bahwa untuk maju kita harus beranjak masa lalu, untuk beberapa hal tertentu masa lalu itu tidak selalu menjadi hal yang diharamkan untuk ditengok.

Ramadhan bagi seorang saya waktu kecil adalah upaya keras untuk bangun lebih awal membantu ibu saya menyiapkan makanan untuk seluruh keluarga. Saya uring-uringan atas perlakuan diskriminatif ibu saya saat itu karena semata-mata saya anak perempuan, jadi harus bangun lebih pagi, sementara kakak saya yang tergolong gender berbeda bisa asyik tidur dan baru bangun 10 menit sebelum imsak.

Beberapa Ramadhan kala itu saya uring-uringan tak ada habisnya. Hingga datang waktunya, satu demi satu kakak saya pergi meninggalkan rumah. Kursi yang kosong itu tidak pernah terisi lagi. Sampai satu waktu ortu sayalah yang pergi dinas untuk beberapa tahun. Meninggalkan saya sahur sendiri. Ada rasa yang menggelegak mengingat seberapa sepetnya mata bangun pukul 3, di masa sebelumnya, paling tidak ada upah tawa dari para penikmat masakan yang disajikan. Selebihnya, hanya kentongan hansip dan nyala televisi yang menemani suapan demi suapan menu sahur.

Dan bisa saya bayangkan, bagaimana perasaaan ibu saya sekarang bangun sahur. Tak ada anak-anaknya. Berdua saja dengan ayah saya yang selalu bangun lebih dulu tapi tak pernah menemani makan atau bicara sepatah kata pun. Ibu saya yang maha cerewet itu, akhir-akhir ini pun baru saya perhatikan tidak punya lagi repertoire sebanyak dulu.

Baru saya tersadar. Kemarin saya sibuk dengan teman-teman untuk berbuka dengan para anak panti asuhan. Sibuk beli ini-itu untuk sembako karyawan. Saya lupa, membagi kebahagiaan saya dengan orang tua sendiri. Lupa, lupa, lupa. Tiga minggu sudah saya absen menjenguk mereka. Ahhhhh...

Saat saya sudah tidak bisa kesal lagi karena harus ekstra bangun untuk memasakkan makanan, tidak usah lagi mendengarkan omelan, tidak lagi merunduk karena tidak diberi uang untuk membeli buku kesukaan saya,paling tidak, tidak seharusnya saya membuat mereka berharap sampai tak berani meminta untuk dikunjungi.

Hari ini, ya,'mak. Maafkan saya baru tersadar hari ini.

2 comments:

Zule Bernardi said...

jadi teringat ibu saya juga yg jarang ditengokin dan cinta nya saya balas cuma tiap tanggal 25 dgn kalimat di telp : "udah di transper yaaa" padahal badrol nya gak lebih dari 1/4 harga sepatu sayah..

*anak macam apa sayah nie....nangiskejer*

Anonymous said...

sungguh ya cinta orangtua itu tidak bisa dibeli,karena sejak kita dapat melihat dunia ini ,tidak ada satupun yang penting bagi seorang ibu selain bagaimana ya buah hatiku ini menjadi manusia yang berguna kelak di kemudian hari.HANYA ALLAH TEMAN HIDUPNYA ,DIA TAK PEDULIKAN DIRINYA LAGI YANG TERPENTING BAGINYA ADALAH MEMPERTAHANKAN RUMAH TANGGANYA BAHAGIA TAK KURANG SUATUPUN APA,ITULAH SEBABNYA AGAMA KITA MENGAJARKAN AGAR MENGHORMATI ORANG TUA KITA ,TERUTAMA IBU ,KARENA DIA RELAKAN JIWA RAANYA UNTUK KEBAIKAN PUTRA-PUTRINYA,MESKIPUN SUDAH JELAS-JELAS ANAK-ANAK SUDAH DEWASA CINTA ORANG TUA TIDAK LUNTUR SEDIKITPUN....SETIAP DETIK SELALU MEMOHON REDHO ALLAH AGAR PUTRA PUTRINYA SELALU DALAM GENGGAMANNYA.SUBHANALLOH .....SEMOGA ALLAH SELALU MENYAYANGI