Banyak orang takut sendirian. Begitu menakutkannya kesendirian itu, sehingga muncullah perasaan rindu, cemburu, marah, frustasi, depresi, atau sinis.
Olok-olok kawan baik saya adalah, "we are born alone, and we'll die alone, so get used to be alone." Saya awalnya terbahak-bahak mendengar umpatannya, tapi kemudian setelah mengunyah-ngunyah umpatannya itu, hati saya tercabik-cabik juga.
Buat saya, yang seringnya lebih menikmati dan merindukan kesendirian, sungguh membingungkan jika ada reaksi orang-orang yang kemudian saya pahami sebagai gejala takut sendirian. Empati saya ternyata kadarnya masih sekian persen dari prasyarat yang diharapkan sekitar saya. Alih-alih memberi respon yang positif atau mengobati perasaan orang lain, saya menarik diri dan menjauh.
Diantara para penderita gejala takut sendiri, yang menjadi perhatian saya adalah seorang teman yang senang dikelilingi dan dipuja orang lain. Tapi sekali saja orang tak setuju dengannya, ia akan berbalik seolah memusuhi. Cara memusuhinya pun cukup unik, yaitu dengan mealienasikan orang itu, diantara orang-orang lain yang memujanya.
Adalah seorang yang saya kenal dulunya sebagai figur ayah yang keras dan kaku, dan kemudian waktu berlalu menjadikan anak lelakinya pria dewasa yang tak tahu bagaimana harus mempersonalisasikan hubungan anak-orang tua. Termakan oleh waktu dan prioritas pekerjaan, sang ayah rupanya tak tahu bagaimana menjalin kedekatan batin. Memang semua yang dilakukan adalah hal-hal yang terbaik untuk keluarga, dan tentunya anak-anak. Tapi hey, saat ia menjadi tua, sang anak tak bisa merasakan kebutuhan atas kehadiran sang ayah. Termakan oleh rasa takut sendiri, sang ayah membuat asumsi bahwa sang anak hanya menghubungi jika ada keperluan. Adakah sang ayah introspeksi selama ini, jika tidak ada "masalah", apakah ia menjangkau hati anaknya? Semata-mata karena sang anak sekolah dengan baik, menurut, tak banyak protes, sang ayah tak perlu "hadir". Saat ia tua, takut merasa sendiri, lalu berkecamuklah prasangka tentang parents negligence.
Adalah seorang ibu seperti saya yang senantiasa khawatir anak-anak merasa sendirian di rumah, sehingga mengepung mereka dengan para pembantu, buku-buku aktivitas, mainan edukatif untuk menjauhkan mereka dari TV dan online games. Kemudian di saat krisis pembantu, saya pontang-panting berupaya menjadi ornag yang paling eksis buat mereka, yang berakhir dengan kerutan di kening anak yang paling tua, selorohan anak tengah saya , " ah, kalau ada ibu, gak asyik, banyak aturan", dan yang pertanyaan yang menghujam dari si bungsu " ibu kapan kerja?" yang menyadarkan saya bahwa anak-anak saya pun perlu merasa sendirian: tanpa pembantu, tanpa orang tua, tanpa adik atau kakak. Just alone, doing nothing, and they are damn fine.
Adalah saya sebagai seorang anak dari orang tua atau mertua saya, berusaha memahami bahwa sangat manusiawi mereka merasa takut sendirian. Yang satu berespon dengan menteror, "kenapa tidak punya perhatian, telepon kek, datang kek kepada ortu". Yang satunya dengan gaya acuh-tak-acuh datang berkunjung tanpa warning, kadang tanpa bicara pun sudah terlihat senang melihat saya dan anak-anak dalam keadaaan apapun, dalam suasana apapun, dan ngloyor pergi tanpa pamit setelah hatinya penuh rasa bahagia. Yang satunya bertanya ini-itu dan membandingkan keadaan masing-masing anak, memberikan saran-saran (yang kadang tak sesuai dengan kondisi sebenarnya), dan ceramah panjang-lebar-luas diulang-ulang untuk memastikan anaknya menurutinya. Ya, ya, ya, sayangnya saya bukan pendukung MU yang berteriak "you'll never walk alone".Saya butuh merasa sendirian, dan bukan cuma kadang-kadang.
Adalah saya yang sebagai teman kadang menjengkelkan. Saat teman saya susah hati, saya tak bisa merayunya untuk bercerita gundah laranya. Jika ia mau cerita, silakan cerita. Jika ia tak mau cerita, sungguh saya tak mau bertanya-tanya. Saat saya mau bercerita, dan ia mau mendengarkan, tentunya itu adalah babak bonus. Bebalnya saya adalah kadang tetap bercerita, saat sang pendengar tak mau mendengarkan atau malah sedang ingin didengarkan. Tapi saya bisa berang, jika saya bercerita dan ditanggapi dengan nada yang seolah tak ada yang istimewa dengan apa yang saya hadapi. Oh, well, maybe I am not that special. Ordinary things are special when a special person listens to it.
Adalah saya sebagai seorang kekasih, istri seorang lelaki ini, kadang perlu menyendiri. Seberang apapun, semaki-maki kasar saya, semelengking teriakan kejengkelan saya, sederas apapun airmata saya, kadang lebih bisa saya uraikan saat saya sendiri. Saat saya sudah siap dan tenang, saya akan kembali bersama-sama. Bukan karena saya tak cinta, bukan saya menarik diri. Karena, saya perlu menjadi diri saya sendiri, bercakap-cakap dengan diri sendiri, dan kembali menerima paradoks bahwa saya tak bisa senantiasa sendirian.
No comments:
Post a Comment