" aku mau sepeda bmx warna merah"
" iya, bagus ya, warnanya merah terang"
"iya, makanya aku mau. babe beli ya buat aku"
" iya, nanti ya. eh, selain warna merah, ada yang warna lain nggak yang bagus?"
" nggak"
" merahnya yang seperti apa?"
" itu tuh, merah tua yang itu"
Dan saya, sibuk menunjuk sepeda yang dimaksud. Saya sibuk berceloteh, dan ia menanggapi sepenuh hati. Tak ada penolakan.
Dan, setiap kali kami melewati pasar rumput, dari ujung toko sepeda sampai ujung lagi, saya selalu mengulang celotehan keinginan saya untuk membeli sepeda. Tidak ada penolakan. Tidak pernah ada. Dan untuk kesekian kalinya kami hanya melintas melewati jajaran toko sepeda itu.
Sepeda BMX merah itu sampai sekarang pun tidak pernah jadi milik saya. Tapi saya tidak pernah merasa dikecewakan.
Sampai hari ini, kenangan melintasi pasar rumput itu tidak pernah lepas dari ingatan saya. Rasa menggebu untuk memiliki sepeda BMX warna merah itu tidak menjadikan saya galau atau bersedih.
Saya tidak tahu kenapa, namun saya paham bahwa sepeda itu akan tetap terpajang saja di toko itu.
Saya tidak perlu bertanya, dan ia tidak perlu menjelaskan.
Jawaban ayah saya juga bukan jawaban luar biasa. Sama sekali tidak lebay.
Saya tahu sepeda itu tidak akan jadi milik saya.
Saya tahu saya, dan saya tidak perlu bersedih .
Saya tidak perlu merengek.
Saya merasa ia cukup paham apa yang saya mau.
Cukup bagi saya untuk ayah saya menyetujui bahwa sepeda BMX itu sungguh sepeda istimewa.
Terima kasih, 'beh untuk semua kata-kata penyejuk.
Melalui kesulitan apa pun dengan hati yang sejuk sungguh jauh lebih penting.
" iya, bagus ya, warnanya merah terang"
"iya, makanya aku mau. babe beli ya buat aku"
" iya, nanti ya. eh, selain warna merah, ada yang warna lain nggak yang bagus?"
" nggak"
" merahnya yang seperti apa?"
" itu tuh, merah tua yang itu"
Dan saya, sibuk menunjuk sepeda yang dimaksud. Saya sibuk berceloteh, dan ia menanggapi sepenuh hati. Tak ada penolakan.
Dan, setiap kali kami melewati pasar rumput, dari ujung toko sepeda sampai ujung lagi, saya selalu mengulang celotehan keinginan saya untuk membeli sepeda. Tidak ada penolakan. Tidak pernah ada. Dan untuk kesekian kalinya kami hanya melintas melewati jajaran toko sepeda itu.
Sepeda BMX merah itu sampai sekarang pun tidak pernah jadi milik saya. Tapi saya tidak pernah merasa dikecewakan.
Sampai hari ini, kenangan melintasi pasar rumput itu tidak pernah lepas dari ingatan saya. Rasa menggebu untuk memiliki sepeda BMX warna merah itu tidak menjadikan saya galau atau bersedih.
Saya tidak tahu kenapa, namun saya paham bahwa sepeda itu akan tetap terpajang saja di toko itu.
Saya tidak perlu bertanya, dan ia tidak perlu menjelaskan.
Jawaban ayah saya juga bukan jawaban luar biasa. Sama sekali tidak lebay.
Saya tahu sepeda itu tidak akan jadi milik saya.
Saya tahu saya, dan saya tidak perlu bersedih .
Saya tidak perlu merengek.
Saya merasa ia cukup paham apa yang saya mau.
Cukup bagi saya untuk ayah saya menyetujui bahwa sepeda BMX itu sungguh sepeda istimewa.
Terima kasih, 'beh untuk semua kata-kata penyejuk.
Melalui kesulitan apa pun dengan hati yang sejuk sungguh jauh lebih penting.