Sebenarnya apa sih yang dinamakan berjodoh itu? Kalau ada ungkapan "Kalau jodoh, tak lari kemana", maksudnya apa?
Dulu,waktu masih terlibat cinta monyet, saya pikir yang namanya jodoh itu ya kalo dua belah pihak naksir. Kenapa? Karena seringnya saya naksir, cowoknya nggak. Atau sebaliknya, ada cowok naksir, sayanya ogah. Pokoknya gak pernah kompak.
Sekali waktu, kesampaian juga, cowok kecengan naksir balik, ehhh..ternyata cuman berani nembak, terus ternyata tuh cowok gak pake ba-bi-bu undah nyatronin cewek laen. Jadilah definisi jodoh buat saya adalah pada waktu itu "kelanggengan hubungan sampe bisa nikah".
Definisi demikian masih saya tahbiskan menjadi definisi yang cukup representatif sampai beberapa bulan yang lalu dan sekarang saya pertanyakan. Apa pasal? Sahabat baik saya yang masa pacarannya cinta mati sampai mau bunuh diri dibakar cemburu, setelah menikah sekian belas tahun dan berputra-putri-berumah-bermobil-bermultibisnis memberanikan diri minta cerai. Waktu saya tanya apa alasan perceraiannya; katanya: "Aku tidak bahagia. Aku butuh sendiri, aku mau sekolah lagi, aku ingin membagahiakan diriku". Saya tidak bermaksud mendebat dan tidak berminat menggurui, dan langsung dihardik sang sahabat " Kalau orang yang belum pernah bercerai, tidak akan bisa membayangkan kenapa orang boleh bercerai. Guelebih happy begini. Anak-anak gue baik-baik aja kok, mereka gue titipin tantenya -adik gue. Gue juga menjaga supaya si abang (eks suaminya-red) sejahtera. Kita masih ngobrol kok; malah hubungan kita lebih sehat". Siapa saya menggurui hidup rumahtangga orang?
Kalau versi sedihnya adalah cerita tentang teman yang lain. Setelah berpacaran lebih dari 8 tahun, dalam 4 tahun masa perkawinan, setelah dikaruniai dua putra, sanggup membeli rumah dan merenovasinya sehingga indah berseri, berkendaraan, naik haji bersama, istri jatuh sakit. Selang seminggu kemudian istri yang baik hati, sabar dan penuh cinta itu dipanggil oleh Yang Kuasa. Baru diketahui keluhan menahun dari si istri tentang badannya yang sering lemas dan pusing-pusing itu bukan penyakit biasa; tapi leukimia. Selama itu penyakit tidak pernah digubris dan tidak pernah konsultasi kepada dokter. Dalam dukanya, sang suami meratap " Kenapa setelah pacaran lama, hanya diberi waktu 4 tahun untuk menjadi istri saya". Tenggorokan saya tercekat; dan tidak bisa tidak teringat ucapan bijak para orang tua "Jodoh-bahagia-rejeki-usia hanya Tuhan yang tahu".Memang istri kawan saya itu tidak bisa kembali. Teman saya itu pun rasanya sulit untuk bangkit...
Kisah lain lagi, tentang sepupu saya yang dulu hampir kawin lari dengan pacarnya karena tidak disetujui oleh ortunya. Nekad, supaya diperbolehkan kawin, sepupu saya ini menyerahkan diri untuk hamil pra nikah walupun akhirnya dimaki-maki dan dikawinkan dengan setengah hati. Setelah menikah sepuluh tahun, suami tergoda WIL sehingga mereka bercerai. Sepupu saya pun menikah lagi dengan laki-laki lain meskipun hanya jadi istri kedua. Beberapa tahun kemudian, suami kedua sepupu saya meninggal dunia dan semua harta bendanya diambil oleh sang istri tua. Dalam pencarian itu, bertemulah sepupu saya tadi dengan mantan suaminya yang pertama yang singkat cerita sudah bercerai pula dengan istrinya. Dan apa kelanjutannya? Mereka menikah kembali. Yang mengesankan adalah pada saat ijab kabul, uwak saya yang saat itu sudah berusia 80 tahun dan sulit berjalan, menangis keras tersedu-sedu mengingat kemarahan-kemarahan terdahulu sewaktu menikahkan pertama kali. Saat itu, uwak saya menyesali kata-kata yang dulu ia lontarkan (God knows what they were). Namanya jodoh kali ya? Udah kemana-mana, baliknya ke dia lagi.
Saya pribadi, hanya berdoa semoga jalan yang saya lalui sepanjang hidup saya dihiasi ketentraman dan kebahagiaan. Namanya juga doa, semoga jangan terlalu terjal jalannya. Semoga kelanggengannya identik dengan kebahagiaan untuk kami, anak-anak kami, dan orang lain.
Monday, September 25, 2006
Wednesday, September 20, 2006
Alkisah tentang Pak Bos
Akhir-akhir ini saya teramat sangat menjadi sentimental. Entah karena sudah mau musim hujan, atau musim duren; atau gara-gara semua kaset love song jaman jebot keluar dari lemari dan saya putar dengan walk man butut pulak.
Di tengah kesibukan di kantor yang sedikit memaksa saya berangkat lebih pagi dan pulang agak telat plus makan siang di hadapan komputer sambil bikin report, tetep aja suasana kantor makin tidak kondusif. Bukan karena rekan kerja atau boss; tapi kebijakan-kebijakan dan aturan main dari jajaran super atas yang mengakibatkan garuk-garuk kepala dan menambah kerut-kerut di sekitar mulut dan kening. Sumpah serapah saya adalah : katro banget seehhh!!
Lalu kemarin siang, mantan bos saya bertandang ke ruangan saya. Kaget. Lha, katanya sudah mengundurkan diri ? Wong jumat lalu seantero jagad sudah didadahin. Kata beliau " Hari ini, hari terakhir, Ken. Saya sekalian mau titip surat perpisahan saya untuk para kepala Afiliasi."
Bapak saya ini....memang unik. Saya ingat betul, beliau ini rela ngebela-belain membalas sms saya pada jam 2 dini hari, sesaat setelah saya mengabarkan kelahiran putra pertama. Bukan cuma itu, beliau mengabarkan semua staff detik itu juga, yang tentunya bikin para staffnya kaget --dikira ada kabar darurat yang mengganggu kemaslahatan masyarakat.
Beliau ini juga mati-matian membujuk saya untuk mempersingkat cuti tanpa bayar saya, padahal saya sudah menyatakan secara lisan dan tulisan bahwa saya akan pergi ikut suami selama minimal 1 tahun. Meskipun saya sudah mengatakan bahwa saya bersedia meletakkan jabatan saya dan merelakan orang lain diangkat untuk menggantikan posisi saya, beliau kekeuh menyatakan akan menunggu saya kembali dan bersedia merangkap pekerjaan dan mengambil alih semua tugas dan tanggung jawab saya sampai saya kembali.
Pernah ada siswa yang kesulitan membayar uang SPP dan beliau tidak meragukan ketidakmampuan ekonomi orang tersebut dan serta merta memperbolehkan siswa tersebut mengikuti ujian dan membayar kemudian. Dan luar biasa yakinnya beliau bahwa siswa tersebut tidak akan mangkir. Dan beliau benar adanya.
Segala macam aspirasi dan kebutuhan bawahannya sangat diakomodasi. Meskipun beliau ditegur oleh atasannya,dianggap menyalahi prosedur dan lain sebagainya ; saya hanya melihat beliau mengedepankan hasilnya. Kalau melalui prosedur bakalan mentok dan tidak berhasil, bukankah lebih baik bicara langsung kepada pemberi keputusan?
Pernah sekelompok staffnya yang agak menyudutkan dan mempersulit posisi beliau, tapi beliau dengan sangat positifnya mencari solusi dan titik temu agar tuntutan para karyawan terpenuhi sesuai dengan ketetapan perusahaan. Emosi karyawan pun bisa teredam.
Beliau memang lembut bicaranya, tapi keras hati. Jika beliau tidak setuju, even dengan super boss, tidak ragu untuk menyuarakan ketidaksetujuannya, namun tetap santun.
Kalau akhirnya karir beliau dipasung; diberi posisi yang tidak memberikan ruang gerak, fasilitas dihilangkan tanpa adanya kompensasi: beliau memilih mengundurkan diri. Tanpa dumelan. Tanpa kasak-kusuk ke seluruh dunia tentang keajaiban keputusan manajemen.
Secara pribadi, saya menganggap beliau seorang ksatria yang meletakkan senjata. Ibarat pemimpin pasukan yang diapkir menjadi kepala kandang kuda; pekerjaan baru yang mubazir dan meremehkan kemampuan tempur sang ksatria. Saya tidak mengatakan kepala kandang kuda bukanlah pekerjaan yang sepele, tapi bukankan sama saja dengan membunuh pelan-pelan si kstaria yang biasa bertempur itu untuk hanya memimpin para pengurus kuda? Buat apa punya kemampuan memainkan pedang dan menembak jitu? Bisa-bisa para kuda itu yang ditembaki dan ditebas pedang karena frustasi.
Saya sedih sekaligus marah dengan keputusan bos super atas. Yang lebih menyedihkan adalah kebanyakan orang menganggap pengunduran diri si boss sebagai suatu keputusan emosional semata. Dan bukan itu saja, mereka mengangap beliau selama ini nyeleneh. Ah, yang bener aja !
Pak boss, anda adalah bapak kedua saya; yang begitu mengayomi, memberi saya banyak pelajaran. Jika banyak orang menyalahartikan semua tindakan bapak, saya tetap yakin bahwa bapak tidak punya pretensi apa-apa dan menjalankan tugas bapak dengan niat yang luhur.
Di tengah kesibukan di kantor yang sedikit memaksa saya berangkat lebih pagi dan pulang agak telat plus makan siang di hadapan komputer sambil bikin report, tetep aja suasana kantor makin tidak kondusif. Bukan karena rekan kerja atau boss; tapi kebijakan-kebijakan dan aturan main dari jajaran super atas yang mengakibatkan garuk-garuk kepala dan menambah kerut-kerut di sekitar mulut dan kening. Sumpah serapah saya adalah : katro banget seehhh!!
Lalu kemarin siang, mantan bos saya bertandang ke ruangan saya. Kaget. Lha, katanya sudah mengundurkan diri ? Wong jumat lalu seantero jagad sudah didadahin. Kata beliau " Hari ini, hari terakhir, Ken. Saya sekalian mau titip surat perpisahan saya untuk para kepala Afiliasi."
Bapak saya ini....memang unik. Saya ingat betul, beliau ini rela ngebela-belain membalas sms saya pada jam 2 dini hari, sesaat setelah saya mengabarkan kelahiran putra pertama. Bukan cuma itu, beliau mengabarkan semua staff detik itu juga, yang tentunya bikin para staffnya kaget --dikira ada kabar darurat yang mengganggu kemaslahatan masyarakat.
Beliau ini juga mati-matian membujuk saya untuk mempersingkat cuti tanpa bayar saya, padahal saya sudah menyatakan secara lisan dan tulisan bahwa saya akan pergi ikut suami selama minimal 1 tahun. Meskipun saya sudah mengatakan bahwa saya bersedia meletakkan jabatan saya dan merelakan orang lain diangkat untuk menggantikan posisi saya, beliau kekeuh menyatakan akan menunggu saya kembali dan bersedia merangkap pekerjaan dan mengambil alih semua tugas dan tanggung jawab saya sampai saya kembali.
Pernah ada siswa yang kesulitan membayar uang SPP dan beliau tidak meragukan ketidakmampuan ekonomi orang tersebut dan serta merta memperbolehkan siswa tersebut mengikuti ujian dan membayar kemudian. Dan luar biasa yakinnya beliau bahwa siswa tersebut tidak akan mangkir. Dan beliau benar adanya.
Segala macam aspirasi dan kebutuhan bawahannya sangat diakomodasi. Meskipun beliau ditegur oleh atasannya,dianggap menyalahi prosedur dan lain sebagainya ; saya hanya melihat beliau mengedepankan hasilnya. Kalau melalui prosedur bakalan mentok dan tidak berhasil, bukankah lebih baik bicara langsung kepada pemberi keputusan?
Pernah sekelompok staffnya yang agak menyudutkan dan mempersulit posisi beliau, tapi beliau dengan sangat positifnya mencari solusi dan titik temu agar tuntutan para karyawan terpenuhi sesuai dengan ketetapan perusahaan. Emosi karyawan pun bisa teredam.
Beliau memang lembut bicaranya, tapi keras hati. Jika beliau tidak setuju, even dengan super boss, tidak ragu untuk menyuarakan ketidaksetujuannya, namun tetap santun.
Kalau akhirnya karir beliau dipasung; diberi posisi yang tidak memberikan ruang gerak, fasilitas dihilangkan tanpa adanya kompensasi: beliau memilih mengundurkan diri. Tanpa dumelan. Tanpa kasak-kusuk ke seluruh dunia tentang keajaiban keputusan manajemen.
Secara pribadi, saya menganggap beliau seorang ksatria yang meletakkan senjata. Ibarat pemimpin pasukan yang diapkir menjadi kepala kandang kuda; pekerjaan baru yang mubazir dan meremehkan kemampuan tempur sang ksatria. Saya tidak mengatakan kepala kandang kuda bukanlah pekerjaan yang sepele, tapi bukankan sama saja dengan membunuh pelan-pelan si kstaria yang biasa bertempur itu untuk hanya memimpin para pengurus kuda? Buat apa punya kemampuan memainkan pedang dan menembak jitu? Bisa-bisa para kuda itu yang ditembaki dan ditebas pedang karena frustasi.
Saya sedih sekaligus marah dengan keputusan bos super atas. Yang lebih menyedihkan adalah kebanyakan orang menganggap pengunduran diri si boss sebagai suatu keputusan emosional semata. Dan bukan itu saja, mereka mengangap beliau selama ini nyeleneh. Ah, yang bener aja !
Pak boss, anda adalah bapak kedua saya; yang begitu mengayomi, memberi saya banyak pelajaran. Jika banyak orang menyalahartikan semua tindakan bapak, saya tetap yakin bahwa bapak tidak punya pretensi apa-apa dan menjalankan tugas bapak dengan niat yang luhur.
Sunday, September 17, 2006
Pelajaran tentang keihklasan
ilustrasi ini mungkin bisa sedikit meredam kegelisahan saya:
Tapi kalo anda ingin jadi danau Galilea, jangan pernah menghitung jumlah air yang anda berikan kepada para ikan yang sangat bergantung kepada kesegaran air yang anda jaga.
Kalau kita menjadi ikan yang tinggal didalam danau Galilea, pun harus ikhlas menerima pemberian sang danau. Jika air yang kita teguk kadang mengandung kotoran, kita harus mau menerimanya : karena kita menggantungkan diri kepadanya. Atau malah dalam konteks tahu diri dan balas jasa, kalau perlu kita telanlah semua kotoran milik sang danau. Sehingga airnya tetap jernih dan bisa menghidupi yang lain. Kita sebagai ikan tidak usah ngongso-ngongso berteriak ke seluruh penjuru dunia "HOIIII..saya ini ikan, kalau bukan karena saya, mana mungkin danau Galilea airnya tetap jernih. HOOOOIII!!! Hebat kan saya ini???". Buat apa? Yang penting kita bisa hidup dari kejernihan airnya dan hidup damai di dalamnya.
Salam penuh damai.
Di Palestina ada dua sumber air; danau Galilea dan laut Mati.
Danau Galilea jernih airnya, banyak ikan, tetumbuhan hidup di sekitarnya.
Laut Mati asin airnya, tidak ada kehidupan.
Keduanya dihubungkan oleh satu sungai yang sama.
Lalu apa yang membedakan?
Danau Galilea menerima air dari sungai, lalu menyalurkannya ke Laut Mati.
Sedang laut Mati, ia menerima air dari Danau Galilea dan tidak menyalurkan kemana-mana.
Maka memang, berbagi itu indah. Dan sehat pula.
Untuk yang menerima, juga untuk yang memberi.
Tapi kalo anda ingin jadi danau Galilea, jangan pernah menghitung jumlah air yang anda berikan kepada para ikan yang sangat bergantung kepada kesegaran air yang anda jaga.
Kalau kita menjadi ikan yang tinggal didalam danau Galilea, pun harus ikhlas menerima pemberian sang danau. Jika air yang kita teguk kadang mengandung kotoran, kita harus mau menerimanya : karena kita menggantungkan diri kepadanya. Atau malah dalam konteks tahu diri dan balas jasa, kalau perlu kita telanlah semua kotoran milik sang danau. Sehingga airnya tetap jernih dan bisa menghidupi yang lain. Kita sebagai ikan tidak usah ngongso-ngongso berteriak ke seluruh penjuru dunia "HOIIII..saya ini ikan, kalau bukan karena saya, mana mungkin danau Galilea airnya tetap jernih. HOOOOIII!!! Hebat kan saya ini???". Buat apa? Yang penting kita bisa hidup dari kejernihan airnya dan hidup damai di dalamnya.
Salam penuh damai.
Thursday, September 07, 2006
Legowo
Saya memang bukan orang Jawa tulen, cuma 50 %. Itu pun predikatnya ngaku jadi orang Jawa, meskipun tidak bisa bahasanya, buta soal adat-istiadatnya. Tapi jangan salah, saya mengakui keluhuran filsafat Jawa yang sering diceramahkan para teman Jawa ini. Bukan berarti daerah lain tidak punya filsafat tentang hidup, cuma uniknya masyarakat Jawa --menurut saya-- selalu bisa bersikap positif dan mencari ke dalam. Kalo Oom Gde Prama bilang mengarah mencari jalan-jalan yang penuh keindahan. Istilah dalamnya: legowo.
Setelah berapa tahun berlalu, akhirnya kini barulah saya sedikit mengerti. Hidup selalu dipenuhi hal-hal diluar batas pengharapan. Maafkan saya kalau harus mengaku bahwa saya punya banyak sekali pengharapan, namun kadar kesabaran saya masih pasang surut. Masih sulit rasanya membebaskan diri dari kemarahan, sakit hati, merasa diperlakukan tidak adil, dinjak-injak harga diri, dan seterusnya. Lihat saja betapa panjang daftar perasaan saya yang tidak enak. Banyak tuduhan yang tidak saya bantah, tapi bukan berarti saya membenarkannya. Itu hanya upaya saya menuju satu titik : legowo
Tapi sore ini, saat saya berdiri terpekur memandang ke luar jendela kantor.... matahari yang berniat tenggelam menyilaukan mata saya. Saya tentang sinar menyengat itu, betapa pedih mata saya. Kepala saya jadi senut-senut karena cahaya merah. Lalu saya beranjak, hanya selangkah. Ternyata saya masih bisa melihat sinar itu yang tidak lagi menyengat. Karena begitulah matahari yang hampir tenggelam ini....di titik yang berbeda malah saya bisa menikmati kehangatannya di dalam ruangan kantor saya yang sudah mulai sepi dan Ac nya membuat menggigil.
Saya memang pistol tua. Pemicunya masih bekerja dengan baik, tapi pelurunya sudah lama saya gadaikan. I gave things up to God since long long time ago. There were times I prayed but did not dare to ask anything nor complain. God has given me much-- even too much more than I can bear.
Jika hati ini masih saja perih, maafkan saya yang punya airmata hampir satu galon setiap hari. Sepanjang hidup saya ini, hanya diberikan sedikit kesempatan untuk membahagiakan sejumlah kecil. Meski kadang disalah artikan, dituding-tuding, dilabelkan, apa boleh buat.
Saya tidak mau menuntut balas. Enggan untuk mengungkit masa lalu. Terlalu capek untuk berlari. Jika keberadaan saya lebih banyak menimbulkan ketidaknyamanan, berikan saya kesempatan untuk mengutarakan sisi pandang saya; tidak melalu suatu perdebatan, namun pengamatan lebih jauh. Look and listen.
Saat ini, saya hanya butuh kedamaian.
Setelah berapa tahun berlalu, akhirnya kini barulah saya sedikit mengerti. Hidup selalu dipenuhi hal-hal diluar batas pengharapan. Maafkan saya kalau harus mengaku bahwa saya punya banyak sekali pengharapan, namun kadar kesabaran saya masih pasang surut. Masih sulit rasanya membebaskan diri dari kemarahan, sakit hati, merasa diperlakukan tidak adil, dinjak-injak harga diri, dan seterusnya. Lihat saja betapa panjang daftar perasaan saya yang tidak enak. Banyak tuduhan yang tidak saya bantah, tapi bukan berarti saya membenarkannya. Itu hanya upaya saya menuju satu titik : legowo
Tapi sore ini, saat saya berdiri terpekur memandang ke luar jendela kantor.... matahari yang berniat tenggelam menyilaukan mata saya. Saya tentang sinar menyengat itu, betapa pedih mata saya. Kepala saya jadi senut-senut karena cahaya merah. Lalu saya beranjak, hanya selangkah. Ternyata saya masih bisa melihat sinar itu yang tidak lagi menyengat. Karena begitulah matahari yang hampir tenggelam ini....di titik yang berbeda malah saya bisa menikmati kehangatannya di dalam ruangan kantor saya yang sudah mulai sepi dan Ac nya membuat menggigil.
Saya memang pistol tua. Pemicunya masih bekerja dengan baik, tapi pelurunya sudah lama saya gadaikan. I gave things up to God since long long time ago. There were times I prayed but did not dare to ask anything nor complain. God has given me much-- even too much more than I can bear.
Jika hati ini masih saja perih, maafkan saya yang punya airmata hampir satu galon setiap hari. Sepanjang hidup saya ini, hanya diberikan sedikit kesempatan untuk membahagiakan sejumlah kecil. Meski kadang disalah artikan, dituding-tuding, dilabelkan, apa boleh buat.
Saya tidak mau menuntut balas. Enggan untuk mengungkit masa lalu. Terlalu capek untuk berlari. Jika keberadaan saya lebih banyak menimbulkan ketidaknyamanan, berikan saya kesempatan untuk mengutarakan sisi pandang saya; tidak melalu suatu perdebatan, namun pengamatan lebih jauh. Look and listen.
Saat ini, saya hanya butuh kedamaian.
Subscribe to:
Posts (Atom)