Wisnu 22 bulan lebih tua dari Akira. Sama-sama anak laki, keluar dari perut ibu yang sama, tapi beda bintang- beda weton - beda wuku. Anyway, namanya dua manusia yang berbeda, pastilah kepribadiannya berbeda.
Mungkin perlu diteliti apakah emosi si ibu pada waktu mengandung berkaitan dengan kepribadian anaknya kelak. Soalnya emang jaman ibu mengandung Wisnu, bawaannya sensitif. Nah Wisnu memang cukup sensitif, paliing sering nangis. Sementara Akira, bawaannya tambeng, tough, seng ada lawan (namanya aja Akira-kun getoo loh). Kejedot sampe biru aja cuma garuk2 kepala, demam sampai 41 derajat aja masih bisa tepuk tangan.
Wisnu yang mellow begitu, seringnya nangis kalo tidur sebelahan sama Akira karena kakinya Akira menyepak kesana-kemari. Kalo Akira naik ke pangkuan Ibu, kontan Wisnu nangis dibakar cemburu. Seringnya Akira kelihatannya tahu apa saja yang bisa bikin Wisnu nangis, jadi sering dia sengaja lakukan. Udah gitu, kalo Wisnu dah nangis, dia cuma ngeliatin belagak cuek sampe Wisnu mukul or nendang Akira karena kesal. Eit tapi kalo pukulan Wisnu tidak terlalu keras, biasanya Akira cuma pura-pura menangis sambil memicingkan matanya yang tidak mengeluarkan air mata. Akira pikir orang dewasa tidak bisa membedakan tangisan pura-pura or beneran.
Most of the time Wisnu dan Akira bisa akur juga, misalkan main di taman berdua. Kayak gini nih...ketawa geli ngeliatin kucing di taman.
Sebelum tidur, biasanya memang ada session "belajar bersama ibu" . Awalnya ibu membacakan cerita lalu berlanjut main puzzle atau tanya-jawab. Belakangan ini, Wisnu ambil inisiatif membacakan buku untuk Akira. Akira seolah mengerti , antusias bertanya dan menunjuk gambar-gambar yang ada di buku. Lucu juga ngeliatin ada anak yang belum bisa baca pura-pura membacakan cerita sementara anak satunya pura-pura menyimak dan bertanya.
Hiburan sederhana murah meriah bagi dua bocah ini adalah menunggang guling berkeliling kamar. Mereka bisa terkekeh-kekeh dan tergelak-gelak menuggangi guling itu dan berakhir dengan pukul-pukulan pake bantal guling sampai jatuh terjerembab....dan salah satu mewek..yaituuuu ??? Ya dah bisa ditebak dooong !!
Semoga kompak ampe gede ya...gak pernah musuhan , gak pernah dendam, gak pernah rebutan cewek gebetan (nah yang ini mah susyah kayaknya!), gak rebutan harta yakkk!!
Sunday, February 25, 2007
Thursday, February 22, 2007
Makassar-Jakarta-Bukittinggi-Jakarta
Lagi heboh-hebohnya banjir di Jakarta n orang pada takut terbang ke arah Makassar, aku dapet assignment ke situ. Padahal para kumendan (baca: bos) sebagian besar melarang kepergian ini, namun apa daya... acara yang digelar di Makasar ini juga kelihatannya sulit diabaikan karena menyangkut citra perusahaan. Lha wong 7 bule dari Jakarta bisa n sanggup berada di Makassar, moso aku ini yang bukan bule nyalinya ciut buat ke sono? Tambahan lagi tu para bule dateng ke Makasar naik pesawat dengan tarif murah dengan selamat, masak iya aku ini ciut???
Jadilah aku ke Makassar , tiga hari. Diantara dinas, nyempetin mampir ke pantai Losari di siang bolong, nyobain pisang epek berkuah gula dan durian di malam hari, icip-icip sea food meskipun orang Makasar sedang pantang ikan karena khawatir para ikan itu menelan awak pesawat Adam Air jatuh di perairan makassar . Aku mahhh..cuekkk...
Tugas selesai, kembali ke Jakarta. Seminggu wira-wiri di kantor, eeehh..aku dilempar lagi untuk pergi ke Bukit Tinggi. Rejeki? Tau deh ah... yang jelas assignment kali ini banyak pesan sponsornya sehingga bikin beban juga kalo gak tercapai target. Untungggg...bisa deh tuh ah target dicapai, sehingga klien senang hati dan berkenan mengantarku jalan-jalan menikmati keindahan bukit tinggi. Kadang-kadang ada enaknya jalan-jalan begini -- lupa kalo punya anak n suami di Jakarta.
Buat kebanyakan orang, tugas ke luar kota kayak gini kurang menyenangkan; yahhh karena gak disetujui suami, kepikiran anak-anak, dll. Aku kok ya mikir anak-anak tapi kok gak sebegitunya sih? Meski pas tak tinggal anak-anak n babenya kompakan kena flu n sempat ada yang sakit panas. Tokh memang lagi musim flu . Tokh sudah dibawa ke dokter dan dikasih obat. Tokh aku bakal pulang hari kamis malam. Kenapa juga yang senewen orang lain?
Dalam perjalanan pulang ke Padang, mampir di istana Pagaruyung di Batu Sangkar. Yang menakjubkan adalah pemandangan sepanjang jalan; sawah hijau dengan latar belakang bukit barisan. Wuihhh...rasanya bangga banget jadi orang Indonesia yang tanah airnya seindah ini.
Begitu mendarat di Lanuda Soekarno Hatta, tak sabar rasanya menyalakan HP untuk ngecek apakah anak-anak ikut jemput ke bandara. Ternyata hanya Wisnu si sulung yang ikut jemput, itupun sudah terkulai tertidur di kursi depan. Beberapa hari gak ketemu anak-anak, ngeliatin mereka pada tidur rasanya mereka cowok-cowok terkece yang pernah aku lihat seumur hidup (ngalahin babenya deh!).Yang lebih menyenangkan, begitu pagi tiba dan mereka bangun dengan senyum-senyum menyadari ibunya sudah ada di rumah. Tahu kan rasanya?
Jadilah aku ke Makassar , tiga hari. Diantara dinas, nyempetin mampir ke pantai Losari di siang bolong, nyobain pisang epek berkuah gula dan durian di malam hari, icip-icip sea food meskipun orang Makasar sedang pantang ikan karena khawatir para ikan itu menelan awak pesawat Adam Air jatuh di perairan makassar . Aku mahhh..cuekkk...
Tugas selesai, kembali ke Jakarta. Seminggu wira-wiri di kantor, eeehh..aku dilempar lagi untuk pergi ke Bukit Tinggi. Rejeki? Tau deh ah... yang jelas assignment kali ini banyak pesan sponsornya sehingga bikin beban juga kalo gak tercapai target. Untungggg...bisa deh tuh ah target dicapai, sehingga klien senang hati dan berkenan mengantarku jalan-jalan menikmati keindahan bukit tinggi. Kadang-kadang ada enaknya jalan-jalan begini -- lupa kalo punya anak n suami di Jakarta.
Buat kebanyakan orang, tugas ke luar kota kayak gini kurang menyenangkan; yahhh karena gak disetujui suami, kepikiran anak-anak, dll. Aku kok ya mikir anak-anak tapi kok gak sebegitunya sih? Meski pas tak tinggal anak-anak n babenya kompakan kena flu n sempat ada yang sakit panas. Tokh memang lagi musim flu . Tokh sudah dibawa ke dokter dan dikasih obat. Tokh aku bakal pulang hari kamis malam. Kenapa juga yang senewen orang lain?
Dalam perjalanan pulang ke Padang, mampir di istana Pagaruyung di Batu Sangkar. Yang menakjubkan adalah pemandangan sepanjang jalan; sawah hijau dengan latar belakang bukit barisan. Wuihhh...rasanya bangga banget jadi orang Indonesia yang tanah airnya seindah ini.
Begitu mendarat di Lanuda Soekarno Hatta, tak sabar rasanya menyalakan HP untuk ngecek apakah anak-anak ikut jemput ke bandara. Ternyata hanya Wisnu si sulung yang ikut jemput, itupun sudah terkulai tertidur di kursi depan. Beberapa hari gak ketemu anak-anak, ngeliatin mereka pada tidur rasanya mereka cowok-cowok terkece yang pernah aku lihat seumur hidup (ngalahin babenya deh!).Yang lebih menyenangkan, begitu pagi tiba dan mereka bangun dengan senyum-senyum menyadari ibunya sudah ada di rumah. Tahu kan rasanya?
Wednesday, February 07, 2007
Dinas luar kota does not make me a bad mom
Status saya memang menikah dan punya anak (tiga pula , dan balita --underscored). Suami, pegawai negeri yang tengah terbelit urusan negara dengan para wakil rakyat sehingga separuh minggu terpaksa meninggalkan keluarga demi menyelesaikan suatu perubahan.
Kalau suami tidak pulang bermalam-malam, kelihatannya pemuka masyarakat menganggapnya itu suatu yang wajar. Seringnya mereka malah mensyukuri pekerjaan saya yang tidak menuntut berangkat terlalu pagi dan pulang terlalu malam --semata-mata karena kantor saya jaraknya setimpukan gabus dari rumah alias super dekat dan anti macet. Tambahan lagi saya cuma staff yang pekerjaannya tidak akan sepusing manajer : seperti kata boss saya dulu , "Kalau jadi kepala (boss) pasti pusing, kalau jadi tangan dan kaki (staff) mah pasti pegel". Bener banget deh ah, secara kerjaan saya sebagian besar memang klerikal dan musiman --tergantung perintah boss.
Meskipun di era emansipasi , tetapi diskriminasi mah tetap ada. Sebagai contoh, kalau saya ditugaskan keluar kota untuk beberapa hari, padahal orang satu kantor tahu bahwa sebagai staff di unit yang mengkoordinasikan 26 kantor cabang di 15 provinsi di seantero Indonsia , tidak akan mungkin saya menghindar tugas keluar kota. Tambahan lagi cuma ada 2 orang ; saya sendiri dan boss saya yang menangani sebegitu banyak cabang. Kasarannya minimal sekali dalam sebulan kami berdua bakalan melontarkan diri ke luar kota minimal sekali untuk beberapa hari. Jika ada proyek tambahan, bisa-bisa dua minggu saya menghilang dari kantor dan berkantor di luar kota.
Nah, judulnya kalo saya bakalan ditugaskan ke luar kota, komentar rata-rata adalah : asyik dong jalan-jalan (dalam hati : kagak tahu apa lu gue bakalan diperes kayak tebu, kerja lebih dari 8 jam sehari dan melototin gaya ngajar segitu banyak guru ampe pedes ini mata n hati).
Udah tahu juga judulnya dinas, tetep aja ada yang coba-coba nyeletuk : jangan lupa yah oleh-oleh (dalam hati : emang ada anggarannya? udah bagus kalo gua kagak nombokin uang SPJ buat makan n transpor disono). Mungkin ada juga teman yang rajin membawakan oleh-oleh demi untuk gak disirikin. Saya? Ntar dulu ah. terserah aja mau sirik mah, silakan minta dipindahkan jadi staff di unit saya aja gih sono! Asal kuat dan memenuhi sayrat mah monggo.
Yang bikin nafsu mah, yang belom married or belom punya anak dengan mata membulat bertanya : anak-anak lo gemana ditinggal berapa hari gitu? Dulu-dulu sih saya cuma angkat alis sambil buru-buru angkat kaki dari lokasi pembicaraan. Sekarang? Udah mulai bebel, jadi bisa jawab; Lah....kan ada babenya. (dalam hati ; emang lu mau ngurusin anak gue?)
Tidak jarang, para ibu-ibu itu membahas kepergian saya sambil geleng-geleng kepala. Ujaran rata-rata mereka : saya dulu, waktu anak-anak masih kecil sih , saya jadi part timer. Yang bikin telinga saya panas sih yang mulai ngejulukin saya BUGIL . Eit jangan ngeres dulu ! Bugil ini singkatan dari IBU GILA.
Terserah deeee...mo dibilang BUGIL apa BUNGIL (ibu tengil). Saya rasanya gak perlu gembar-gembor bahwa sehari-hari saya sudah berusaha maksimal untuk anak-anak saya, dari bangun pagi untuk masakin mereka, sepulang kantor menyempatkan diri bermain dengan mereka (tidak jarang bikin prakarya ato loncat-loncat bareng), menidurkan mereka dan bangun tengah malam untuk membuatkan susu. Meskipuuun....pada saat saya di kantor atau di luar kota, semua urusan anak-anak diambil alih 1 baby sitter dan 2 pembantu. Lavish? Ah, relatif menurut saya.
Kira-kira apa yang akan mereka komentari kalo tahu saya juga jumpalitan berupaya memperhatikan kesejahteraan ketiga anak saya. Tahukah mereka bahwa saya rela berpikir dan membuka-buka buku masakan untuk bisa membuatkan menu makanan untuk anak-anak saya per dua mingguan dan belanja sendiri untuk menjaga kualitas bahan pangan dan variasi menu. Kadang saya bela-belain bangun pagi sekali di hari minggu supaya bisa belanja di pasar tradisional dan kalo kesiangan belanja juga merasakan dikejar-kejar petugas kamptibmas karena belanja di luar PD Pasar Jaya -- lah abis harganya lebih murah dan lebih segar bahan makanannya.
Bukan juga pamer, tapi saya buatkan program belajar bagi Wisnu dan merancang kegiatan-kegiatan di rumah yang bisa dibimbing si mbak pengasuh yang meliputi keterampilan motorik, kemampuan kognitif, afektif, moral, verbal. Sepulang kantor saya masih rela ikut gunting-gunting kertas, bikin prakarya, mebuat percobaan-percobaan sederhana atau mengajarkan Wisnu apa saja yang saya cantumkan di menu homeschooling program yang saya tempel di dinding kamar sebagai reminders saya mengenai tingkat kompetensi yang perlu dicapai anak seusia Wisnu.
Bagi kemajuan Akira, saya juga tidak keberatan membuatkan boneka sederhana yang berkuping, bermulut dan bermata walaupun untuk itu saya harus berburu dakron, kain felt, dan peralatan sulam-jahit ke Mangga Dua ditemani sahabat baik plus teman gosip saya yang bikin hidup tambah seru, dan juga rela mengurangi jatah tidur malam demi membuat boneka tersebut. Kalau saya sempat pulang sore, saya masih berusaha memandikan Andhika, menyuapi Akira dan mengajak mereka bermain meskipun Wisnu sudah teriak-teriak cemburu minta gilirannya.
Saya tetap saja ingin menjadi ibu yang baik, meskipun saya sering meninggalkan mereka berhari-hari untuk pekerjaan di luar kota. Sungguh tidak adil, jika ada anggapan bahwa sosok ibu yang sempurna adalah semata-mata ibu yang ada di rumah around the clock, tidak bekerja, tidak bergaul dengan kawan-kawan yang bisa menyehatkan hati dan pikiran. Bukan suatu hukum yang mutlak bahwa untuk mencapai suatu tujuan A hanya ada satu cara. Jika saya mengalami kesedihan atau tantangan dalam kepengasuhan dan pendidikan anak-anak saya, rasanya tidak bisa selalu dikaitkan dengan ketidakberadaan saya di rumah.
Saya sendiri tumbuh dan melewati masa kanak-kanak saya tidak dengan keadaan ibu saya di rumah. Ibu saya full timer di suatu perusahaan yang pergi dan pulang ditemani matahari dan seminggu dua kali pulang malam karena mencari nafkah tambahan. Namun tidak semua orang tahu bahwa sebelum ibu saya berangkat ke kantor, beliau masak untuk kami terlebih dahulu saat fajar menyingsing. Makanan walaupun jumlahnya tak banyak tapi penuh gizi dan tidak ber-MSG. Sepulang kantor ibu saya masih sering menyempatkan diri membuat puding sarikaya, cake atau apalah untuk kudapan esokan harinya demi menggembar-gemborkan slogan anti jajan. Walau teman-teman saya jajan dan mencemooh saya yang tidak pernah punya uang jajan, saya bisa menikmati makanan yang dibuatkan ibu saya dengan all her sweat and blood.
Saya pernah harus tinggal sendiri, membuat perencanaan keuangan dan renovasi rumah ortu saya sementara kedua ortu saya berburu dolar dinegeri orang. Saya melewati masa gadis saya dengan selamat dengan kondisi ibu yang tidak selalu ada di rumah, namun mencari nafkah, bahkan pergi bertahun. Kenapa? Keadaan membuat saya belajar mandiri, tidak menggantungkan diri kepada ortu, bertanggungjawab terhadap diri sendiri dan orang lain dan harta orang lain.
Kalau sekarang saya harus bolak-balik tugas ke luar kota meninggalkan tiga buah hati dan suami, bukanlah suatu kebetulan, juga bukan suatu kekurangan. Bukan juga berarti saya tidak bisa menjadi seperti ibu-ibu yang lain, karena memang saya dari species pekerja. Itu juga berarti anak-anak saya adalah manusia istimewa yang tumbuh dalam lingkungan yang istimewa. Saya percaya, mereka punya sejuta jalan untuk mendefinisikan kebahagiaan. Saya, dan juga suami saya memberikan mereka ruang gerak untuk belajar mandiri dan bertanggungjawab -- yang maaf kata mungkin tidak dimiliki oleh para anak lain.
Sementara ini saya perlu menebarkan senyuman yang lebar dan mendamaikan hati untuk menggempur segala macam komentar tentang kesibukan tugas luar kota. Kalimat afirmasi andalan saya saat ini adalah " It's just not as bad as you think".
Kalau suami tidak pulang bermalam-malam, kelihatannya pemuka masyarakat menganggapnya itu suatu yang wajar. Seringnya mereka malah mensyukuri pekerjaan saya yang tidak menuntut berangkat terlalu pagi dan pulang terlalu malam --semata-mata karena kantor saya jaraknya setimpukan gabus dari rumah alias super dekat dan anti macet. Tambahan lagi saya cuma staff yang pekerjaannya tidak akan sepusing manajer : seperti kata boss saya dulu , "Kalau jadi kepala (boss) pasti pusing, kalau jadi tangan dan kaki (staff) mah pasti pegel". Bener banget deh ah, secara kerjaan saya sebagian besar memang klerikal dan musiman --tergantung perintah boss.
Meskipun di era emansipasi , tetapi diskriminasi mah tetap ada. Sebagai contoh, kalau saya ditugaskan keluar kota untuk beberapa hari, padahal orang satu kantor tahu bahwa sebagai staff di unit yang mengkoordinasikan 26 kantor cabang di 15 provinsi di seantero Indonsia , tidak akan mungkin saya menghindar tugas keluar kota. Tambahan lagi cuma ada 2 orang ; saya sendiri dan boss saya yang menangani sebegitu banyak cabang. Kasarannya minimal sekali dalam sebulan kami berdua bakalan melontarkan diri ke luar kota minimal sekali untuk beberapa hari. Jika ada proyek tambahan, bisa-bisa dua minggu saya menghilang dari kantor dan berkantor di luar kota.
Nah, judulnya kalo saya bakalan ditugaskan ke luar kota, komentar rata-rata adalah : asyik dong jalan-jalan (dalam hati : kagak tahu apa lu gue bakalan diperes kayak tebu, kerja lebih dari 8 jam sehari dan melototin gaya ngajar segitu banyak guru ampe pedes ini mata n hati).
Udah tahu juga judulnya dinas, tetep aja ada yang coba-coba nyeletuk : jangan lupa yah oleh-oleh (dalam hati : emang ada anggarannya? udah bagus kalo gua kagak nombokin uang SPJ buat makan n transpor disono). Mungkin ada juga teman yang rajin membawakan oleh-oleh demi untuk gak disirikin. Saya? Ntar dulu ah. terserah aja mau sirik mah, silakan minta dipindahkan jadi staff di unit saya aja gih sono! Asal kuat dan memenuhi sayrat mah monggo.
Yang bikin nafsu mah, yang belom married or belom punya anak dengan mata membulat bertanya : anak-anak lo gemana ditinggal berapa hari gitu? Dulu-dulu sih saya cuma angkat alis sambil buru-buru angkat kaki dari lokasi pembicaraan. Sekarang? Udah mulai bebel, jadi bisa jawab; Lah....kan ada babenya. (dalam hati ; emang lu mau ngurusin anak gue?)
Tidak jarang, para ibu-ibu itu membahas kepergian saya sambil geleng-geleng kepala. Ujaran rata-rata mereka : saya dulu, waktu anak-anak masih kecil sih , saya jadi part timer. Yang bikin telinga saya panas sih yang mulai ngejulukin saya BUGIL . Eit jangan ngeres dulu ! Bugil ini singkatan dari IBU GILA.
Terserah deeee...mo dibilang BUGIL apa BUNGIL (ibu tengil). Saya rasanya gak perlu gembar-gembor bahwa sehari-hari saya sudah berusaha maksimal untuk anak-anak saya, dari bangun pagi untuk masakin mereka, sepulang kantor menyempatkan diri bermain dengan mereka (tidak jarang bikin prakarya ato loncat-loncat bareng), menidurkan mereka dan bangun tengah malam untuk membuatkan susu. Meskipuuun....pada saat saya di kantor atau di luar kota, semua urusan anak-anak diambil alih 1 baby sitter dan 2 pembantu. Lavish? Ah, relatif menurut saya.
Kira-kira apa yang akan mereka komentari kalo tahu saya juga jumpalitan berupaya memperhatikan kesejahteraan ketiga anak saya. Tahukah mereka bahwa saya rela berpikir dan membuka-buka buku masakan untuk bisa membuatkan menu makanan untuk anak-anak saya per dua mingguan dan belanja sendiri untuk menjaga kualitas bahan pangan dan variasi menu. Kadang saya bela-belain bangun pagi sekali di hari minggu supaya bisa belanja di pasar tradisional dan kalo kesiangan belanja juga merasakan dikejar-kejar petugas kamptibmas karena belanja di luar PD Pasar Jaya -- lah abis harganya lebih murah dan lebih segar bahan makanannya.
Bukan juga pamer, tapi saya buatkan program belajar bagi Wisnu dan merancang kegiatan-kegiatan di rumah yang bisa dibimbing si mbak pengasuh yang meliputi keterampilan motorik, kemampuan kognitif, afektif, moral, verbal. Sepulang kantor saya masih rela ikut gunting-gunting kertas, bikin prakarya, mebuat percobaan-percobaan sederhana atau mengajarkan Wisnu apa saja yang saya cantumkan di menu homeschooling program yang saya tempel di dinding kamar sebagai reminders saya mengenai tingkat kompetensi yang perlu dicapai anak seusia Wisnu.
Bagi kemajuan Akira, saya juga tidak keberatan membuatkan boneka sederhana yang berkuping, bermulut dan bermata walaupun untuk itu saya harus berburu dakron, kain felt, dan peralatan sulam-jahit ke Mangga Dua ditemani sahabat baik plus teman gosip saya yang bikin hidup tambah seru, dan juga rela mengurangi jatah tidur malam demi membuat boneka tersebut. Kalau saya sempat pulang sore, saya masih berusaha memandikan Andhika, menyuapi Akira dan mengajak mereka bermain meskipun Wisnu sudah teriak-teriak cemburu minta gilirannya.
Saya tetap saja ingin menjadi ibu yang baik, meskipun saya sering meninggalkan mereka berhari-hari untuk pekerjaan di luar kota. Sungguh tidak adil, jika ada anggapan bahwa sosok ibu yang sempurna adalah semata-mata ibu yang ada di rumah around the clock, tidak bekerja, tidak bergaul dengan kawan-kawan yang bisa menyehatkan hati dan pikiran. Bukan suatu hukum yang mutlak bahwa untuk mencapai suatu tujuan A hanya ada satu cara. Jika saya mengalami kesedihan atau tantangan dalam kepengasuhan dan pendidikan anak-anak saya, rasanya tidak bisa selalu dikaitkan dengan ketidakberadaan saya di rumah.
Saya sendiri tumbuh dan melewati masa kanak-kanak saya tidak dengan keadaan ibu saya di rumah. Ibu saya full timer di suatu perusahaan yang pergi dan pulang ditemani matahari dan seminggu dua kali pulang malam karena mencari nafkah tambahan. Namun tidak semua orang tahu bahwa sebelum ibu saya berangkat ke kantor, beliau masak untuk kami terlebih dahulu saat fajar menyingsing. Makanan walaupun jumlahnya tak banyak tapi penuh gizi dan tidak ber-MSG. Sepulang kantor ibu saya masih sering menyempatkan diri membuat puding sarikaya, cake atau apalah untuk kudapan esokan harinya demi menggembar-gemborkan slogan anti jajan. Walau teman-teman saya jajan dan mencemooh saya yang tidak pernah punya uang jajan, saya bisa menikmati makanan yang dibuatkan ibu saya dengan all her sweat and blood.
Saya pernah harus tinggal sendiri, membuat perencanaan keuangan dan renovasi rumah ortu saya sementara kedua ortu saya berburu dolar dinegeri orang. Saya melewati masa gadis saya dengan selamat dengan kondisi ibu yang tidak selalu ada di rumah, namun mencari nafkah, bahkan pergi bertahun. Kenapa? Keadaan membuat saya belajar mandiri, tidak menggantungkan diri kepada ortu, bertanggungjawab terhadap diri sendiri dan orang lain dan harta orang lain.
Kalau sekarang saya harus bolak-balik tugas ke luar kota meninggalkan tiga buah hati dan suami, bukanlah suatu kebetulan, juga bukan suatu kekurangan. Bukan juga berarti saya tidak bisa menjadi seperti ibu-ibu yang lain, karena memang saya dari species pekerja. Itu juga berarti anak-anak saya adalah manusia istimewa yang tumbuh dalam lingkungan yang istimewa. Saya percaya, mereka punya sejuta jalan untuk mendefinisikan kebahagiaan. Saya, dan juga suami saya memberikan mereka ruang gerak untuk belajar mandiri dan bertanggungjawab -- yang maaf kata mungkin tidak dimiliki oleh para anak lain.
Sementara ini saya perlu menebarkan senyuman yang lebar dan mendamaikan hati untuk menggempur segala macam komentar tentang kesibukan tugas luar kota. Kalimat afirmasi andalan saya saat ini adalah " It's just not as bad as you think".
Monday, February 05, 2007
'yang..hujan turun lagi"
Makna hujan, bagi sulung kami, Wisnu adalah mengeluarkan bootnya, payung dan jas hujannya untuk kemudian bemandi hujan dengan riang. Kadang saya ikut menemani, sambil membayangkan kegembiraan saya sendiri sebagai anak kecil di masa dahulu. Sungguh menyenangkan.
Kalau hujan, para pembantu RT saya berteriak-teriak sambil berlari-lari : mengangkat jemuran pakaian anak-anak saya dan kemudian tergopoh-gopoh mengambil ember sebagai tadah untuk tetesan air dari atap yang bocor di sana-sini. Kalau dua hari berturut-turut hujan tak henti, mereka mulai resah dan menggerutu karena pakaian menjadi bau apek. Setelah itu biasanya saya menemukan satu cabe merah dan bawang merah ditusuk lidi di halaman belakang yang mereka percayai akan menghentikan hujan.
Beberapa malam yang lalu, saya menonton siaran BBC yang menyoroti masalah global warming dan dampaknya. Konon, gara-gara pemanasan global segala macam musibah terjadi sekarang ini di seluruh penjuru dunia dari gempa bumi, tsunami, angin puting beliung, perubahan curah hujan sampai banjir. Lebih dahsyat lagi, seorang pakar ekonomi mengajukan hipotesanya bahwa pemanasan global bisa mengakibatkan 20 % inflasi.
Saya memang bukan pakar ekonomi, tapi saya memperhatikan fenomena banjir yang melanda Jakarta beberapa hari terakhir ini sebagai hal yang cukup menarik.
Bagi beberapa para tukang ojek, hujan berarti berkurang penghasilan. Mereka biasanya termangu di pangkalan menyadari para langganannya cenderung memilih naik angkot atau bahkan jalan kaki. Sementara tukang ojek di daerah lain malah panen karena bisa menawarkan jalan alternatif menuju gedung-gedung kantor yang sekelilingnya digenangi air.
Untuk Mbah Das, tukang pijat langganan saya yang berusia 70-an, berarti harus kehilangan penghasilan, yang seharinya berkisar 75-100 ribu rupiah dan rumahnya kebanjiran. Sungguh sedih membayangkan orang setua beliau harus bolak-balik mengangkati barang-barangnya. Tapi banjir yang semakin parah ini ternyata menda tangkan malaikat-malaikat juga yang membagikan nasi bungkus dimana-mana sebagai kesempatan untuk berderma.
Tapi tetap hati ini perih saat tadi malam berkeliling mencari jalan yang tidak banjir demi untuk mencapai RS tempat ibu saya dirawat. Mungkin sebenarnya ada alternatif jalan yang tidak banjir, namun waktu berkunjung sudah hampir habis...sehingga sia-sia juga waktu yang terbuang. Apalagi karena saya sudah kadung janji mau datang membesuk, setelah dua hari absen membesuk karena banjir dimana-mana itu juga.
Mata saya juga membasah mendengarkan siaran radio yang mengatakan ada sms dari pendengar radio meminta bantuan karena sudah dua hari terkurung dan mulai kehabisan bahan makanan. Ada lagi yang pemberi pesan tinggal di Grogol dan terkepung banjir juga
meminta tolong karena kakaknya yang menderita diabetes dan tinggal sendirian di Kelapa Gading blok anu-anu sudah kehabisan obat insulinnya. Duh Tuhan!
Saya ganti saluran radio yang lain, karena hati ini makin perih mendengar berita-berita serupa tanpa bisa melakukan apa-apa. Tapi malah jadi gak karuan rasanya, mendengar orang-orang yang sibuk berfoto diri dengan kamera handphonenya dengan latar belakang banjir. Kira-kira ada latar belakang yang lain gak sih selain orang-orang yang lagi tercenung melihat kasur dan barang-barang milinya rumahnya mengambang di air ?
Duh, bang Obie Mesakh kemana yaa... kok nyanyian " yang hujan turun lagii" nya terdengar sumbang di telinga saya.
Kalau hujan, para pembantu RT saya berteriak-teriak sambil berlari-lari : mengangkat jemuran pakaian anak-anak saya dan kemudian tergopoh-gopoh mengambil ember sebagai tadah untuk tetesan air dari atap yang bocor di sana-sini. Kalau dua hari berturut-turut hujan tak henti, mereka mulai resah dan menggerutu karena pakaian menjadi bau apek. Setelah itu biasanya saya menemukan satu cabe merah dan bawang merah ditusuk lidi di halaman belakang yang mereka percayai akan menghentikan hujan.
Beberapa malam yang lalu, saya menonton siaran BBC yang menyoroti masalah global warming dan dampaknya. Konon, gara-gara pemanasan global segala macam musibah terjadi sekarang ini di seluruh penjuru dunia dari gempa bumi, tsunami, angin puting beliung, perubahan curah hujan sampai banjir. Lebih dahsyat lagi, seorang pakar ekonomi mengajukan hipotesanya bahwa pemanasan global bisa mengakibatkan 20 % inflasi.
Saya memang bukan pakar ekonomi, tapi saya memperhatikan fenomena banjir yang melanda Jakarta beberapa hari terakhir ini sebagai hal yang cukup menarik.
Bagi beberapa para tukang ojek, hujan berarti berkurang penghasilan. Mereka biasanya termangu di pangkalan menyadari para langganannya cenderung memilih naik angkot atau bahkan jalan kaki. Sementara tukang ojek di daerah lain malah panen karena bisa menawarkan jalan alternatif menuju gedung-gedung kantor yang sekelilingnya digenangi air.
Untuk Mbah Das, tukang pijat langganan saya yang berusia 70-an, berarti harus kehilangan penghasilan, yang seharinya berkisar 75-100 ribu rupiah dan rumahnya kebanjiran. Sungguh sedih membayangkan orang setua beliau harus bolak-balik mengangkati barang-barangnya. Tapi banjir yang semakin parah ini ternyata menda tangkan malaikat-malaikat juga yang membagikan nasi bungkus dimana-mana sebagai kesempatan untuk berderma.
Tapi tetap hati ini perih saat tadi malam berkeliling mencari jalan yang tidak banjir demi untuk mencapai RS tempat ibu saya dirawat. Mungkin sebenarnya ada alternatif jalan yang tidak banjir, namun waktu berkunjung sudah hampir habis...sehingga sia-sia juga waktu yang terbuang. Apalagi karena saya sudah kadung janji mau datang membesuk, setelah dua hari absen membesuk karena banjir dimana-mana itu juga.
Mata saya juga membasah mendengarkan siaran radio yang mengatakan ada sms dari pendengar radio meminta bantuan karena sudah dua hari terkurung dan mulai kehabisan bahan makanan. Ada lagi yang pemberi pesan tinggal di Grogol dan terkepung banjir juga
meminta tolong karena kakaknya yang menderita diabetes dan tinggal sendirian di Kelapa Gading blok anu-anu sudah kehabisan obat insulinnya. Duh Tuhan!
Saya ganti saluran radio yang lain, karena hati ini makin perih mendengar berita-berita serupa tanpa bisa melakukan apa-apa. Tapi malah jadi gak karuan rasanya, mendengar orang-orang yang sibuk berfoto diri dengan kamera handphonenya dengan latar belakang banjir. Kira-kira ada latar belakang yang lain gak sih selain orang-orang yang lagi tercenung melihat kasur dan barang-barang milinya rumahnya mengambang di air ?
Duh, bang Obie Mesakh kemana yaa... kok nyanyian " yang hujan turun lagii" nya terdengar sumbang di telinga saya.
Subscribe to:
Posts (Atom)