Monday, February 05, 2007

'yang..hujan turun lagi"

Makna hujan, bagi sulung kami, Wisnu adalah mengeluarkan bootnya, payung dan jas hujannya untuk kemudian bemandi hujan dengan riang. Kadang saya ikut menemani, sambil membayangkan kegembiraan saya sendiri sebagai anak kecil di masa dahulu. Sungguh menyenangkan.

Kalau hujan, para pembantu RT saya berteriak-teriak sambil berlari-lari : mengangkat jemuran pakaian anak-anak saya dan kemudian tergopoh-gopoh mengambil ember sebagai tadah untuk tetesan air dari atap yang bocor di sana-sini. Kalau dua hari berturut-turut hujan tak henti, mereka mulai resah dan menggerutu karena pakaian menjadi bau apek. Setelah itu biasanya saya menemukan satu cabe merah dan bawang merah ditusuk lidi di halaman belakang yang mereka percayai akan menghentikan hujan.


Beberapa malam yang lalu, saya menonton siaran BBC yang menyoroti masalah global warming dan dampaknya. Konon, gara-gara pemanasan global segala macam musibah terjadi sekarang ini di seluruh penjuru dunia dari gempa bumi, tsunami, angin puting beliung, perubahan curah hujan sampai banjir. Lebih dahsyat lagi, seorang pakar ekonomi mengajukan hipotesanya bahwa pemanasan global bisa mengakibatkan 20 % inflasi.

Saya memang bukan pakar ekonomi, tapi saya memperhatikan fenomena banjir yang melanda Jakarta beberapa hari terakhir ini sebagai hal yang cukup menarik.

Bagi beberapa para tukang ojek, hujan berarti berkurang penghasilan. Mereka biasanya termangu di pangkalan menyadari para langganannya cenderung memilih naik angkot atau bahkan jalan kaki. Sementara tukang ojek di daerah lain malah panen karena bisa menawarkan jalan alternatif menuju gedung-gedung kantor yang sekelilingnya digenangi air.

Untuk Mbah Das, tukang pijat langganan saya yang berusia 70-an, berarti harus kehilangan penghasilan, yang seharinya berkisar 75-100 ribu rupiah dan rumahnya kebanjiran. Sungguh sedih membayangkan orang setua beliau harus bolak-balik mengangkati barang-barangnya. Tapi banjir yang semakin parah ini ternyata menda tangkan malaikat-malaikat juga yang membagikan nasi bungkus dimana-mana sebagai kesempatan untuk berderma.

Tapi tetap hati ini perih saat tadi malam berkeliling mencari jalan yang tidak banjir demi untuk mencapai RS tempat ibu saya dirawat. Mungkin sebenarnya ada alternatif jalan yang tidak banjir, namun waktu berkunjung sudah hampir habis...sehingga sia-sia juga waktu yang terbuang. Apalagi karena saya sudah kadung janji mau datang membesuk, setelah dua hari absen membesuk karena banjir dimana-mana itu juga.

Mata saya juga membasah mendengarkan siaran radio yang mengatakan ada sms dari pendengar radio meminta bantuan karena sudah dua hari terkurung dan mulai kehabisan bahan makanan. Ada lagi yang pemberi pesan tinggal di Grogol dan terkepung banjir juga
meminta tolong karena kakaknya yang menderita diabetes dan tinggal sendirian di Kelapa Gading blok anu-anu sudah kehabisan obat insulinnya. Duh Tuhan!

Saya ganti saluran radio yang lain, karena hati ini makin perih mendengar berita-berita serupa tanpa bisa melakukan apa-apa. Tapi malah jadi gak karuan rasanya, mendengar orang-orang yang sibuk berfoto diri dengan kamera handphonenya dengan latar belakang banjir. Kira-kira ada latar belakang yang lain gak sih selain orang-orang yang lagi tercenung melihat kasur dan barang-barang milinya rumahnya mengambang di air ?

Duh, bang Obie Mesakh kemana yaa... kok nyanyian " yang hujan turun lagii" nya terdengar sumbang di telinga saya.

4 comments:

Harry said...

Inilah sifat manusia yang tidak bisa diterima akal sehat, dilain pihak seseorang mengalami kesedihan di jadikan obyek buat menyalurkan keinginan diri sendiri
Mudah-mudahan kita semua di jauhkan dari sifat yang begini

Niken said...

rmh Kalibata kering ya? yokatta..sedih ya, dimana2 banjir..

Anonymous said...

ih, potret2! Gak punya otak di udelnya kali tuh orang2...
Emak sakit apa?

Anonymous said...

huhuhuhuhu....
cerita beginian ga ada abis2 nyaaaaaa

(ga bisa log in pake blogger...hiks)
http://nila-nila.blogspot.com