Wednesday, February 07, 2007

Dinas luar kota does not make me a bad mom

Status saya memang menikah dan punya anak (tiga pula , dan balita --underscored). Suami, pegawai negeri yang tengah terbelit urusan negara dengan para wakil rakyat sehingga separuh minggu terpaksa meninggalkan keluarga demi menyelesaikan suatu perubahan.

Kalau suami tidak pulang bermalam-malam, kelihatannya pemuka masyarakat menganggapnya itu suatu yang wajar. Seringnya mereka malah mensyukuri pekerjaan saya yang tidak menuntut berangkat terlalu pagi dan pulang terlalu malam --semata-mata karena kantor saya jaraknya setimpukan gabus dari rumah alias super dekat dan anti macet. Tambahan lagi saya cuma staff yang pekerjaannya tidak akan sepusing manajer : seperti kata boss saya dulu , "Kalau jadi kepala (boss) pasti pusing, kalau jadi tangan dan kaki (staff) mah pasti pegel". Bener banget deh ah, secara kerjaan saya sebagian besar memang klerikal dan musiman --tergantung perintah boss.

Meskipun di era emansipasi , tetapi diskriminasi mah tetap ada. Sebagai contoh, kalau saya ditugaskan keluar kota untuk beberapa hari, padahal orang satu kantor tahu bahwa sebagai staff di unit yang mengkoordinasikan 26 kantor cabang di 15 provinsi di seantero Indonsia , tidak akan mungkin saya menghindar tugas keluar kota. Tambahan lagi cuma ada 2 orang ; saya sendiri dan boss saya yang menangani sebegitu banyak cabang. Kasarannya minimal sekali dalam sebulan kami berdua bakalan melontarkan diri ke luar kota minimal sekali untuk beberapa hari. Jika ada proyek tambahan, bisa-bisa dua minggu saya menghilang dari kantor dan berkantor di luar kota.

Nah, judulnya kalo saya bakalan ditugaskan ke luar kota, komentar rata-rata adalah : asyik dong jalan-jalan (dalam hati : kagak tahu apa lu gue bakalan diperes kayak tebu, kerja lebih dari 8 jam sehari dan melototin gaya ngajar segitu banyak guru ampe pedes ini mata n hati).

Udah tahu juga judulnya dinas, tetep aja ada yang coba-coba nyeletuk : jangan lupa yah oleh-oleh (dalam hati : emang ada anggarannya? udah bagus kalo gua kagak nombokin uang SPJ buat makan n transpor disono). Mungkin ada juga teman yang rajin membawakan oleh-oleh demi untuk gak disirikin. Saya? Ntar dulu ah. terserah aja mau sirik mah, silakan minta dipindahkan jadi staff di unit saya aja gih sono! Asal kuat dan memenuhi sayrat mah monggo.

Yang bikin nafsu mah, yang belom married or belom punya anak dengan mata membulat bertanya : anak-anak lo gemana ditinggal berapa hari gitu? Dulu-dulu sih saya cuma angkat alis sambil buru-buru angkat kaki dari lokasi pembicaraan. Sekarang? Udah mulai bebel, jadi bisa jawab; Lah....kan ada babenya. (dalam hati ; emang lu mau ngurusin anak gue?)

Tidak jarang, para ibu-ibu itu membahas kepergian saya sambil geleng-geleng kepala. Ujaran rata-rata mereka : saya dulu, waktu anak-anak masih kecil sih , saya jadi part timer. Yang bikin telinga saya panas sih yang mulai ngejulukin saya BUGIL . Eit jangan ngeres dulu ! Bugil ini singkatan dari IBU GILA.

Terserah deeee...mo dibilang BUGIL apa BUNGIL (ibu tengil). Saya rasanya gak perlu gembar-gembor bahwa sehari-hari saya sudah berusaha maksimal untuk anak-anak saya, dari bangun pagi untuk masakin mereka, sepulang kantor menyempatkan diri bermain dengan mereka (tidak jarang bikin prakarya ato loncat-loncat bareng), menidurkan mereka dan bangun tengah malam untuk membuatkan susu. Meskipuuun....pada saat saya di kantor atau di luar kota, semua urusan anak-anak diambil alih 1 baby sitter dan 2 pembantu. Lavish? Ah, relatif menurut saya.

Kira-kira apa yang akan mereka komentari kalo tahu saya juga jumpalitan berupaya memperhatikan kesejahteraan ketiga anak saya. Tahukah mereka bahwa saya rela berpikir dan membuka-buka buku masakan untuk bisa membuatkan menu makanan untuk anak-anak saya per dua mingguan dan belanja sendiri untuk menjaga kualitas bahan pangan dan variasi menu. Kadang saya bela-belain bangun pagi sekali di hari minggu supaya bisa belanja di pasar tradisional dan kalo kesiangan belanja juga merasakan dikejar-kejar petugas kamptibmas karena belanja di luar PD Pasar Jaya -- lah abis harganya lebih murah dan lebih segar bahan makanannya.

Bukan juga pamer, tapi saya buatkan program belajar bagi Wisnu dan merancang kegiatan-kegiatan di rumah yang bisa dibimbing si mbak pengasuh yang meliputi keterampilan motorik, kemampuan kognitif, afektif, moral, verbal. Sepulang kantor saya masih rela ikut gunting-gunting kertas, bikin prakarya, mebuat percobaan-percobaan sederhana atau mengajarkan Wisnu apa saja yang saya cantumkan di menu homeschooling program yang saya tempel di dinding kamar sebagai reminders saya mengenai tingkat kompetensi yang perlu dicapai anak seusia Wisnu.

Bagi kemajuan Akira, saya juga tidak keberatan membuatkan boneka sederhana yang berkuping, bermulut dan bermata walaupun untuk itu saya harus berburu dakron, kain felt, dan peralatan sulam-jahit ke Mangga Dua ditemani sahabat baik plus teman gosip saya yang bikin hidup tambah seru, dan juga rela mengurangi jatah tidur malam demi membuat boneka tersebut. Kalau saya sempat pulang sore, saya masih berusaha memandikan Andhika, menyuapi Akira dan mengajak mereka bermain meskipun Wisnu sudah teriak-teriak cemburu minta gilirannya.

Saya tetap saja ingin menjadi ibu yang baik, meskipun saya sering meninggalkan mereka berhari-hari untuk pekerjaan di luar kota. Sungguh tidak adil, jika ada anggapan bahwa sosok ibu yang sempurna adalah semata-mata ibu yang ada di rumah around the clock, tidak bekerja, tidak bergaul dengan kawan-kawan yang bisa menyehatkan hati dan pikiran. Bukan suatu hukum yang mutlak bahwa untuk mencapai suatu tujuan A hanya ada satu cara. Jika saya mengalami kesedihan atau tantangan dalam kepengasuhan dan pendidikan anak-anak saya, rasanya tidak bisa selalu dikaitkan dengan ketidakberadaan saya di rumah.

Saya sendiri tumbuh dan melewati masa kanak-kanak saya tidak dengan keadaan ibu saya di rumah. Ibu saya full timer di suatu perusahaan yang pergi dan pulang ditemani matahari dan seminggu dua kali pulang malam karena mencari nafkah tambahan. Namun tidak semua orang tahu bahwa sebelum ibu saya berangkat ke kantor, beliau masak untuk kami terlebih dahulu saat fajar menyingsing. Makanan walaupun jumlahnya tak banyak tapi penuh gizi dan tidak ber-MSG. Sepulang kantor ibu saya masih sering menyempatkan diri membuat puding sarikaya, cake atau apalah untuk kudapan esokan harinya demi menggembar-gemborkan slogan anti jajan. Walau teman-teman saya jajan dan mencemooh saya yang tidak pernah punya uang jajan, saya bisa menikmati makanan yang dibuatkan ibu saya dengan all her sweat and blood.

Saya pernah harus tinggal sendiri, membuat perencanaan keuangan dan renovasi rumah ortu saya sementara kedua ortu saya berburu dolar dinegeri orang. Saya melewati masa gadis saya dengan selamat dengan kondisi ibu yang tidak selalu ada di rumah, namun mencari nafkah, bahkan pergi bertahun. Kenapa? Keadaan membuat saya belajar mandiri, tidak menggantungkan diri kepada ortu, bertanggungjawab terhadap diri sendiri dan orang lain dan harta orang lain.

Kalau sekarang saya harus bolak-balik tugas ke luar kota meninggalkan tiga buah hati dan suami, bukanlah suatu kebetulan, juga bukan suatu kekurangan. Bukan juga berarti saya tidak bisa menjadi seperti ibu-ibu yang lain, karena memang saya dari species pekerja. Itu juga berarti anak-anak saya adalah manusia istimewa yang tumbuh dalam lingkungan yang istimewa. Saya percaya, mereka punya sejuta jalan untuk mendefinisikan kebahagiaan. Saya, dan juga suami saya memberikan mereka ruang gerak untuk belajar mandiri dan bertanggungjawab -- yang maaf kata mungkin tidak dimiliki oleh para anak lain.

Sementara ini saya perlu menebarkan senyuman yang lebar dan mendamaikan hati untuk menggempur segala macam komentar tentang kesibukan tugas luar kota. Kalimat afirmasi andalan saya saat ini adalah " It's just not as bad as you think".

5 comments:

Niken said...

Bugil ini emang superwoman ya. Jadi malu deh kalo inget aku punya banyak waktu dirumah tapi ga bikin program belajar buat Aya, buku hadiah Kenny aja kadang2 aja dipraktekin..sigh.. Penyakit M-nya ga bisa ilang sih..

Anonymous said...

Aku salut liat Ibu yang satu ini. Punya anak tiga tapi tetap kerja. Yang penting kan hubungan yang berkualitas dengan anak-anak en suami. Keren uey. Persis kata Paul McCartney kalo nanggepi orang yang nda ngerti. Let it be ... let it be. Oke?

IrA said...

Setuju bu..biar anjing mengonggong kita mah antepin aja, kan yg tahu dlmnya bukan dia..OK? sing sabar yah mbak...mmuah buat tiga jagoan yg ganteng (Wisnu, Akira dan ReY)

Anonymous said...

Seringkali, orang yg ngomong begitu gak bisa berempati krn gak pernah ngalamin. Kita syukuri aja krn kita lbh kaya pengalaman. Dan kita sukurin aja mereka krn lebih miskin hehehe... Lagian, satu jagat ini gak ada yg bisa kasih The Best Mom Award kecuali anak2 sendiri. Jd, kalo anak2 gak komplen, ya sud.

Anonymous said...

Hebat hebat hebat...
salut bgt ma elo jeng Kenny....
bener bgt, gw setuju sama prinsip dirimu...

jangan didenger omongan org, yg tau kehidupan keluarga kita ya kita sendiri kan...
beberapa waktu yg lalu pernah bgt ngerasain hal yg sama.....

akhirnya gw putusin freelance aja....
ga kuat, krn kantor gw jauuuhhh bgt....

ga bisa log in pake blogger jeng...hiks
http://nila-nila.blogspot.com