Terimakasih Tuhan,
untuk semua kesedihan, kekecewaan, kegundahan
sehingga saya terpekur, menundukkan kepala dan mencakupkan tangan
memohon petunjuk dan pengharapan
Terimakasih anak-anakku,
untuk ciuman dan dekapan penuh kecintaan kepada ibu
untuk pemahaman dan semua peristiwa lucu
membuat mata yang melotot dan hardikan terhenti di ujung lidah yang kelu
Terimakasih Aji,
untuk komentar dan perspektif penyeimbang yang sudah teruji
untuk kesetiaan dan kesabaran, dan bukan sekedar janji-janji
semoga kita tetap saling menghargai dan mencintai sampai nanti
Terimakasih teman-teman,
untuk semua pandangan dan saran
juga airmata penyertaan atau tawa penuh kegembiraan
susah-senang, bokek-tajir, sahabat jiwa disemua keadaan
Terimakasih, terimakasih
Friday, December 24, 2010
Thursday, October 28, 2010
to quit does not make you loser
As a grown up, sometimes we feel that we know what we are doing and why. We even brag about the risks that we anticipate and the percentage of success. Some of us even claim that they choose certain people to make it happen. Or they claim that they mold people to achieve it.
Sometimes, things got out of our hands. Really really out of hands. There are things we can do: admit defeat and get up again, or blame it on someone, or something, or the timing.
When you play the role of a leader, things could be more complicated. When you are squeezed in between like a sandwich, it could be worse, or the worst. Especially when things get tougher, and tougher, and you yourself could no longer stand just to watch yourself fall. When you were thinking of the domino effects after your fall, perhaps you try to gain some strength. But only for some time.
Then the time comes when you have a strong feeling that you have to choose the fight and the field, and you just have to tell them in the eye, that you are not one of the childrens of gods/godess. In your head, you just have to shout out "Stop trying to make miracles". So you decided to walk out the fighting field, on fire, and realize that you could never come out clean. So you quit, so what?
Just never wear guilt to oppose Napoleon (he died anyway) upon his statement" Winners never quit, quitters never win". In life, there are a lot of more important hings than winning. On the other hand, quit for a reason is something a winner should also learn.
These are good reasons to quit on something, though.
1. Quit arguing with people about the same old foolishness
2. Quit trying to pull people on your journey who don't want to travel with you.
3. Quit complaining about things you can't and won't change.
4. Quit blaming each other for things that in the big picture aren't going to matter three weeks from now
5. Quit trying to change people
6. Quit the job you hate! Start pursuing your passion.
7. Quit volunteering for things that you aren't getting any personal fulfillment from anymore
8. Quit making excuses about why you are where you are or why you can't do what you want to do
9. Quit waiting on others to give you the answers, and start finding the answers for yourself
Sometimes, things got out of our hands. Really really out of hands. There are things we can do: admit defeat and get up again, or blame it on someone, or something, or the timing.
When you play the role of a leader, things could be more complicated. When you are squeezed in between like a sandwich, it could be worse, or the worst. Especially when things get tougher, and tougher, and you yourself could no longer stand just to watch yourself fall. When you were thinking of the domino effects after your fall, perhaps you try to gain some strength. But only for some time.
Then the time comes when you have a strong feeling that you have to choose the fight and the field, and you just have to tell them in the eye, that you are not one of the childrens of gods/godess. In your head, you just have to shout out "Stop trying to make miracles". So you decided to walk out the fighting field, on fire, and realize that you could never come out clean. So you quit, so what?
Just never wear guilt to oppose Napoleon (he died anyway) upon his statement" Winners never quit, quitters never win". In life, there are a lot of more important hings than winning. On the other hand, quit for a reason is something a winner should also learn.
These are good reasons to quit on something, though.
1. Quit arguing with people about the same old foolishness
2. Quit trying to pull people on your journey who don't want to travel with you.
3. Quit complaining about things you can't and won't change.
4. Quit blaming each other for things that in the big picture aren't going to matter three weeks from now
5. Quit trying to change people
6. Quit the job you hate! Start pursuing your passion.
7. Quit volunteering for things that you aren't getting any personal fulfillment from anymore
8. Quit making excuses about why you are where you are or why you can't do what you want to do
9. Quit waiting on others to give you the answers, and start finding the answers for yourself
Saturday, October 16, 2010
Canang Sari
”Canang sari inggih punika sarin kasucian kayun bhakti ring Hyang Widhi tunggal. Napkala ngaksara kahiwangan-kahiwangan”.
Canang sari yaitu inti dari pikiran dan niat yang suci sebagai tanda bhakti/hormat kepada Hyang Widhi ketika ada kekurangan saat sedang menuntut ilmu kerohanian (lontar Mpu Lutuk Alit).
Canang sari adalah suatu Upakāra /banten yang selalu menyertai atau melengkapi setiap sesajen/persembahan, segala Upakāra yang dipersiapkan belum disebut lengkap kalau tidak di lengkapi dengan canang sari.
Apakah sebenarnya makna yang terkandung dalam sebuah canang sari?
1. Ceper
Ceper adalah alas dari sebuah canang, yang memiliki bentuk segi empat sebagai lambang badan (angga-sarira). Keempat sisinya sebagai lambang dari Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya, Panca Karmendriya yang membentuk terjadinya badan ini.
2. Beras
Beras atau wija sebagai lambang Sang Hyang Ātma , yang menjadikan badan ini bisa hidup.
Beras/wija sebagai lambang benih, dalam setiap insan/kehidupan diawali oleh benih yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berwujud Ātma. Ceper sebagai lambang angga-sarira/badan tiadalah gunanya tanpa kehadiran Sang Hyang Ātma .
3. Porosan
Sebuah Porosan terbuat dari daun sirih, kapur/pamor, dan jambe atau gambir sebagai lambang/nyasa Tri-Premana dan Tri Kaya.
Tri-Premana adalah tiga cara untuk mengetahui hakekat kebenaran sesuatu, baik nyata maupun astrak meliputi Pratyaksa (melihat dan memegang), Anumana (membuktikan), dan Agama (pengetahuan yang diberikan guru/sarjana).
Tri Kaya yaitu Bayu, Sabda, dan Idep (pikiran, perkataan, dan perbuatan). |
| |||
|
4.Tebu dan pisang.
Di atas sebuah ceper telah diisi dengan beras, porosan, dan juga diisi dengan seiris tebu dan seiris pisang. Tebu atapun pisang memiliki makna sebagai lambang amrtha. Setelah kita memiliki badan dan jiwa yang menghidupi badan kita, dan tri Pramana yang membuat kita dapat memiliki aktivitas, dengan memiliki suatu aktivitaslah kita dapat mewujudkan Amrtha untuk menghidupi badan dan jiwa ini. Tebu dan pisang adalah sebagai lambang/ nyasa Amrtha yang diciptakan oleh kekuatan Tri Pramana dan dalam wujud Tri Kaya.
5.Sampian Uras.
Sampian uras dibuat dari rangkaian janur yang ditata berbentuk bundar yang biasanya terdiri dari delapan ruas atau helai, yang melambangkan roda kehidupan dengan Astaa iswaryanya/delapan karakteristik yang menyertai setiap kehidupan umat manusia, yaitu :
- Dahram (Kebijaksanaan)
- Sathyam (Kebenaran dan kesetiaan)
- Pasupati (ketajaman, intelektualitas)
- kama (Kesenangan)
- Eswarya (kepemimpinan)
- Krodha (kemarahan)
- Mrtyu (kedengkian, iri hati, dendam)
- Kala ( kekuatan)
Itulah delapan karakteristik yang dimiliki oleh setiap umat manusia, sebagai pendorong melaksanakan aktivitas, dalam menjalani roda kehidupannya.
6. Bunga.
Bunga adalah sebagai lambang/nyasa, kedamaian, ketulusan hati.
Di dalam kita menjalani roda kehidupan ini hendaknya selalu dilandasi dengan ketulusan hati dan selalu dapat mewujudkan kedamaian bagi setiap insan.
7. Kembang Rampai.
Kembang rampai akan ditaruh di atas susunan/rangkaian bunga-bunga pada suatu canang, kembang rampai memiliki makna sebagai lambang/nyasa kebijaksanaan. Dari kata kembang rampai memiliki dua arti, yaitu: kembang berarti bunga dan rampai berarti macam-macam, sesuai dengan arah pengider-ideran kembang rampai di taruh di tengah sebagai simbol warna brumbun, karena terdiri dari bermacam-macam bunga. Dari sekian macam bunga, tidak semua memiliki bau yang harum, ada juga bunga yang tidak memiliki bau, begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, tidak selamanya kita akan dapat menikmati kesenangan adakalanya juga kita akan tertimpa oleh kesusahan, kita tidak akan pernah dapat terhindar dari dua dimensi kehidupan ini. Untuk itulah dalam kita menata kehidupan ini. Untuk itulah dalam kita menata kehiupan ini hendaknya kita memiliki kebijaksanaan.
8.Lepa.
Lepa atau boreh miyik adalah sebagai lambang/nyasa sebagai sikap dan prilaku yang baik.
Boreh miyik/lulur yang harum, lalau seseorang memaki lulur, pasti akan dioleskan pada kulitnya, jadi lulur sifat di luar yang dapat disaksikan oleh setiap orang. Yang dapat dilihat ataupun disaksikan oleh orang lain adalah prilaku kita, karena prilakunyalah seseorang akan disebut baik ataupun buruk, seseorang akan dikatakan baik apabila dia selalu berbuat baik, begitu juga sebaliknya seseorang akan dikatakan buruk kalau di selalu berbuat hal-hal yang tidak baik. Boreh miyik sebagai lambang/nyasa perbuatan yang baik.
9.Minyak wangi.
Minyak wangi/miyik-miyikan sebagai lambang/nyasa ketenangan jiwa atau pengendalian diri, minyak wangi biasanya diisi pada sebuah canang. Sebagai lambang/nyasa di dalam kita menata hidup dan kehidupan ini hendaknya dapat dijalankan dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang baik, saya umpamakan seperti air yang tenang, di dalam air yang kita akan dapat melihat jauh ke dalam air, sekecil apapun benda yang ada dalam air dengan gampang kita dapat melihatnya. Begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang mantap kita akan dapat menyelesaikan segala beban hidup ini.
Canang adalah pada dasarnya sebagai wujud dari perwakilan kita untuk menghadap kepada-Nya.
Kalau kita dapat meresapi dan menghayati serta melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari, seperti apa yang terkandung dalam makna Canang sari di atas, pasti bhakti kita akan diterima olehNya dan kita dapat mengarungi kehidupan ini dengan damai sejahtera sekala niskala.
Karena suatu ajaran Agama tidak hanya cukup untuk diresapi ataupun dihayati saja, melainkan harus dipraktekan dalam kehidupan nyata sehari-hari di dalam masyarakat.
Monday, September 27, 2010
AlLoW mE tO ...
- berjalan kaki berkilometer seperti dari jalan sabang sampai monas dibawah panas terik namun penuh tawa, dari mall kelapa gading ke terminal pulo gadung karena tak kebagian bis, dari stasiun sudimara ke pondok pucung karena tak kebagian angkot, dari shimin byoin ke halte bis demi mengirit uang beasiswa yang makin menipis, dari rumah ke kantor polisi kalibata dan balik lagi untuk mengurus KTP yang hilang, keliling kompleks menikmati sore atau pagi yang menenangkan...
- seperti saat dalam rasa penuh kasih, penuh syukur dan berkah, dalam rasa senang, gelak tawa-canda sekedar humor insidentil, juga dalam prihatin, secukup uang sekedar untuk yang diperlukan, sedikit rezeki berlebih untuk saling menyenangkan hati satu sama lain, saat sehat dan kuat, saat menderita cacar air dan jauh dari sanak saudara dan jauh dari tanah air...
- menggengam tanganmu dalam harapan seperti saat menantikan kelahiran si sulung -si tengah- si bungsu, saat kalang kabut melarikan si sulung ke dokter karena jatuh dari tempat tidur pertama kali, menemani si tengah menjalani trauma konselling gara-gara baby sitter edan, saat perang mental menghadapi si bungsu yang tak mempan diberi hukuman time out time ...
- duduk bersisian tanpa sepatah kata seperti saat aklamasi perasaan berlawanan dengan persetujuan orang tua, saat tak punya jawaban untuk semua pertanyaan dari mereka yang mempertanyakan, saat merasa tak berhak untuk memaksakan kehendak siapapun, saat marah atau gundah namun rasa benci tak cukup untuk meninggalkan satu sama lain...
lOvE yOu ThE SaMe...
Thursday, September 23, 2010
Conscience
The only guide to man is his conscience; the only shield to his memory is the rectitude and sincerity of his actions. It is very imprudent to walk thorough life without this shield, because we are so often mocked by the failure of our hopes and the upsetting of our calculations; but with this shield, however the fates may play, we march always in the rank of honor. (Winston Chruchill, 1874-1965)
Sunday, September 19, 2010
Menangislah demi kesehatan tubuh dan jiwa
Beberapa orang menganggap saya adalah manusia yang terbuat dari air. Sedikit saja bercerita tentang hidup di masa lalu, saya langsung meleleh. Tak jarang juga saya tanpa tahu sebabnya membuat orang meleleh.
Dalam perkara tangis-menangis ini, memang ada beberapa keanehan yang saya alami. Pertama, rasanya memang juga ada semacam reaksi kimia dengan orang-orang tertentu di sekitar saya, sehingga saya dan orang bisa saling mempengaruhi untuk menangis.
Sebutlah kawan A, yang packagingnya bak beton, kata-katanya pedas dan wataknya lebih keras dari pada kelom tasikmalaya. Tapi urusannya kalo saya sudah berdua dengan dia, saling bercerita tentang "jeroan", (perasaan) waduuuh... mata kita langsung seperti danau kalimutu yang berwarna warni. Tentunya orang lain heran kalau mendapati manusia seperti dia bisa mewek sambil tertawa dengan saya. Dan settingnya juga biasanya tidak pernah cantik, dan diatur, jadi entah itu di kantin meong atau kantin lainnya yang panas dengan makanan tak jelas. Dan sebaliknya, saya pun bisa dibuatnya mewek karena setting hidupnya sedikit banyak mirip pahitnya.
Ada juga kawan B, yang kalau disebut dekat juga tidak dengan saya, tapi seringnya kita berjauhan tapi juga saling teringat. Ada di suatu masa, kami duduk bersebelahan di sofa kantor, menatap layar televisi. Ruangan saat itu agak sepi, dan kami saling bertanya tentang keadaan masing-masing sambil bisik-bisik. Setelah itu, terjadilah keanehan, mata kami tertuju pada televisi, mulut bergantian berbisik, tapi mata kami bercucuran air mata. Orang yang memergoki kami jelas heran, karena acara televisinya adalah berita dan bukan sinetron, tapi kenapa bisa dua orang menonton TV sambil matanya berair. Dua orang yang aneh!
Tapi saya rasa orang yang bisa menangis di hadapan orang lain adalah orang yang hatinya masih bersih. Linangan airmata perlahan ataupun deras disertai sesenggukan adalah karunia dan cerminan perasaan yang mulia. Getaran emosi orang yang menangis sesungguhnya sering membuat saya merasa menjadi manusia yang berarti di hadapan Tuhan. Seperti halnya menyaksikan kehebatan orang lain, bulu kuduk saya bisa merinding dan airmata meluncur tak terbendung, disaat ada orang yang menumpahkan tangisnya kepada saya yang seringkali menganggap saya bebal atas nasehat orang lain, saya bisa merinding dan ikutan menangis. Walau seringkali saya tidak mengerti sedalam apa sedih orang itu, dan bagaimana bisa menolongnya. Meskipun dari dulu sudah ada lagu " Don't cry out loud" yang menyarankan orang untuk menyimpan baik-baik perasaannya dan tak boleh menangis keras-keras, saya rasa pencipta lagunya tidak adil karena menasehati orang untuk menahan tangis. Airmata itu sudah bagian dari ciptaanNya dan sifatnya seperti namanya itu : air, jadi pasti harus mengalir. Kenapa harus ditahan?
Saya juga tidak setuju jika ada kriteria siapa yang boleh menangis. Apakah karena urusan mengalirkan air mata itu hanya bagian dari satu jenis gender? Apakah tangisan itu menandakan gender itu lemah? Apa hubungannya kelemahan dan air?
Kalau ada pihak pemberi grant kepada pendukung gerakan menangis, saya pasti sudah daftar sejak pendonor tiba. Kalau boleh malah saya mau memperjuangkan kesamaan hak dan memberikan jaminan kepastian hukum bagi siapa saja yang perlu menangis tanpa memandang gender atau derajat orang tersebut karena :
1. Menangis itu melegakan
Airmata mengandung zat mangaan, yang mempengaruhi temperamen dan zat prolaktin, yaitu hormon yang mengatur produksi ASI. Pelepasan kedua zat ini terjadi untuk meredakan ketegangan dengan cara menyeimbangkan tingkat stress fisik dan pembuangan kedua zat tadi dapat menghilangkan unsur-unsur kimia sehingga si pelaku merasa lebih baik. Walaupun anda tidak menyusui, aliran airmata yang spontan (bukan dibuat-buat) akan melegakan perasaan secara alami, sehingga obat penenang atau zat additif lainnya tidak perlu didekati.
2. Menangis itu sehat!
Menurut peneliti Margaret Crepeau, Ph.D., Professor dari Marquette University, orang yang lebih banyak menangis tigkat kesehatannya lebih baik dibanding orang yang sakit maag atau sering perut kembung. Dan penelitian pada anak-anak menunjukkan, anak yang tenang adalah anak-anak yang dapat menangis untuk mengekspresikan kesedihannya.
Dan saya juga bisa menerima, jika saat ini ada kawan saya yang memilih untuk menangis sendirian. Walaupun ia tahu, saya dan kawan-kawannya sungguh ingin meringankan bebannya. Cuma satu pesan saya, kalau malam-malam yang lalu ia menjadi kalong untuk mengerjakan sesuatu, semoga malam-malam ini ia tidak melewatkannya untuk terlalu banyak air mata. Paling tidak, jika memang melewatkan sepanjang malam berteman air mata, semoga sebelum burung berbunyi, doa saya bisa meredakan airmatanya.
Don't Let The Sun Catch You Crying lyrics
Sunday, September 12, 2010
Pelanggan adalah...
Konsep "pelayanan pelanggan" mungkin masih terlalu abstrak bagi rata-rata orang. Tulisan guede itu cuma jadi pajangan di meja tempat wanita bersenyum manis duduk tanpa paham fungsi keberadaan pekerjaan yang mewakili tulisan itu.
Berbeda dengan negara Jepang seperti yang disebutkan oleh Konosuke Matsushita, pendiri Matsushita Electric, yang menganggap pelanggan adalah Dewa, di NKRI ini pelanggan belum mendapat predikat apa-apa.
Saya punya banyak pengalaman buruk sebagai pelanggan. Sebutlah beberapa mingggu lalu.
Setting 1 : rumah sakit (UGD)
Saya membawa ibu saya yang berusia 71 tahun dan sulit berjalan karena keluhan diare selama 2 hari. Begitu kami melarikannya ke RS, di depan unit UGD, keluarlah perawat pria yang sudah siap dengan kursi roda:
" Ada 2 yang mengantar ya? Satu yang antar masuk ke UGD, satunya daftar dulu"
Sungguh sapaan yang tidak menyenangkan. Dan keadaan semakin tak menyenangkan, saat saya tinggal sebentar ke kamar kecil. Setelah saya kembali dari kamar kecil, tiba-tiba saya disodori surat:
" Tanda tangan ya di sini, tadi sekalian pasang infus, cek lab".
" maksudnya?" jawab saya garang.
" ya, tanda tangan aja di sini. tadi kan cek lab."
" cek lab? lab apa? urin? atau darah? atau feses?"
" ya tadi cek lab untuk lekositnya. kan diarenya sudah lebih dari 10 kali, jadi tanda tangan aja"
" SAYA TIDAK MAU TANDA TANGAN. Kenapa tidak minta persetujuan saya terlebih dahulu, baru mengambil tindakan? Lagipula ibu saya baru ke belakang 3 kali, bukan sepuluh kali. Siapa yang bilang 10 kali?"
" tadi situ gak ada, jadi sekalian aja"
" wah,tidak bisa begitu dong. memang tidak bisa menunggu barang sebentar? saya hanya ke kamar kecil, memangnya sekritis apa sehingga tidak bisa menunggu sebelumnya?"
" ya kalau gak jadi, ya gak apa-apa"
Nafas saya memburu.
" jadi gak jadi nih?"
" TIDAK".
Celaka dua belas. Untung hanya diare, kalau sakit lainnya apa tidak berabe? Complaint saya kepada dokter pun tidak dianggap sesuatu yang besar. Tak ada pula permintaan maaf dari dokter. Parah.
Situasi 2 : kedai yogurt
Setelah mengambil yogurt, tibalah saat membayar:
" berapa semuanya?" tanya saya.
" 74.100. ada uang 100 rupiah? " tanya sang kasir.
Saya merogoh kantung, tas, dompet. Tak ada uang 100 rupiah.
"adanya 200 rupiah"
"ya gak apa-apa. ini kembalinya jadi Rp 26.000. tadi uangnya Rp 100.000".
Saya bengong. Bukankah harusnya dia yang minta maaf karena saya jadi membayar kelebihan Rp 100? lah kok jadi saya yang minta maaf?
Situasi 3 : toko buku
Saya tengah mencari stamp bed pada untuk anak. saya cari-cari tak bertemu
" ada di sebelah mana ya yang anti toxic"
" gak tau, cari aja di dalam" tanpa bergeming sedikt [
Hampir saja kepalan saya mendarat di pipi si jkasir. Grrrrrrrrrrrrrrrr...
Berbeda dengan negara Jepang seperti yang disebutkan oleh Konosuke Matsushita, pendiri Matsushita Electric, yang menganggap pelanggan adalah Dewa, di NKRI ini pelanggan belum mendapat predikat apa-apa.
Saya punya banyak pengalaman buruk sebagai pelanggan. Sebutlah beberapa mingggu lalu.
Setting 1 : rumah sakit (UGD)
Saya membawa ibu saya yang berusia 71 tahun dan sulit berjalan karena keluhan diare selama 2 hari. Begitu kami melarikannya ke RS, di depan unit UGD, keluarlah perawat pria yang sudah siap dengan kursi roda:
" Ada 2 yang mengantar ya? Satu yang antar masuk ke UGD, satunya daftar dulu"
Sungguh sapaan yang tidak menyenangkan. Dan keadaan semakin tak menyenangkan, saat saya tinggal sebentar ke kamar kecil. Setelah saya kembali dari kamar kecil, tiba-tiba saya disodori surat:
" Tanda tangan ya di sini, tadi sekalian pasang infus, cek lab".
" maksudnya?" jawab saya garang.
" ya, tanda tangan aja di sini. tadi kan cek lab."
" cek lab? lab apa? urin? atau darah? atau feses?"
" ya tadi cek lab untuk lekositnya. kan diarenya sudah lebih dari 10 kali, jadi tanda tangan aja"
" SAYA TIDAK MAU TANDA TANGAN. Kenapa tidak minta persetujuan saya terlebih dahulu, baru mengambil tindakan? Lagipula ibu saya baru ke belakang 3 kali, bukan sepuluh kali. Siapa yang bilang 10 kali?"
" tadi situ gak ada, jadi sekalian aja"
" wah,tidak bisa begitu dong. memang tidak bisa menunggu barang sebentar? saya hanya ke kamar kecil, memangnya sekritis apa sehingga tidak bisa menunggu sebelumnya?"
" ya kalau gak jadi, ya gak apa-apa"
Nafas saya memburu.
" jadi gak jadi nih?"
" TIDAK".
Celaka dua belas. Untung hanya diare, kalau sakit lainnya apa tidak berabe? Complaint saya kepada dokter pun tidak dianggap sesuatu yang besar. Tak ada pula permintaan maaf dari dokter. Parah.
Situasi 2 : kedai yogurt
Setelah mengambil yogurt, tibalah saat membayar:
" berapa semuanya?" tanya saya.
" 74.100. ada uang 100 rupiah? " tanya sang kasir.
Saya merogoh kantung, tas, dompet. Tak ada uang 100 rupiah.
"adanya 200 rupiah"
"ya gak apa-apa. ini kembalinya jadi Rp 26.000. tadi uangnya Rp 100.000".
Saya bengong. Bukankah harusnya dia yang minta maaf karena saya jadi membayar kelebihan Rp 100? lah kok jadi saya yang minta maaf?
Situasi 3 : toko buku
Saya tengah mencari stamp bed pada untuk anak. saya cari-cari tak bertemu
" ada di sebelah mana ya yang anti toxic"
" gak tau, cari aja di dalam" tanpa bergeming sedikt [
Hampir saja kepalan saya mendarat di pipi si jkasir. Grrrrrrrrrrrrrrrr...
Sunday, August 29, 2010
what ramadhan brings me back
Bagian terbaik dari sepotong nyali saya ini adalah mencoba kembali ke masa lalu. Meski banyak orang yang mati-matian bilang bahwa untuk maju kita harus beranjak masa lalu, untuk beberapa hal tertentu masa lalu itu tidak selalu menjadi hal yang diharamkan untuk ditengok.
Ramadhan bagi seorang saya waktu kecil adalah upaya keras untuk bangun lebih awal membantu ibu saya menyiapkan makanan untuk seluruh keluarga. Saya uring-uringan atas perlakuan diskriminatif ibu saya saat itu karena semata-mata saya anak perempuan, jadi harus bangun lebih pagi, sementara kakak saya yang tergolong gender berbeda bisa asyik tidur dan baru bangun 10 menit sebelum imsak.
Beberapa Ramadhan kala itu saya uring-uringan tak ada habisnya. Hingga datang waktunya, satu demi satu kakak saya pergi meninggalkan rumah. Kursi yang kosong itu tidak pernah terisi lagi. Sampai satu waktu ortu sayalah yang pergi dinas untuk beberapa tahun. Meninggalkan saya sahur sendiri. Ada rasa yang menggelegak mengingat seberapa sepetnya mata bangun pukul 3, di masa sebelumnya, paling tidak ada upah tawa dari para penikmat masakan yang disajikan. Selebihnya, hanya kentongan hansip dan nyala televisi yang menemani suapan demi suapan menu sahur.
Dan bisa saya bayangkan, bagaimana perasaaan ibu saya sekarang bangun sahur. Tak ada anak-anaknya. Berdua saja dengan ayah saya yang selalu bangun lebih dulu tapi tak pernah menemani makan atau bicara sepatah kata pun. Ibu saya yang maha cerewet itu, akhir-akhir ini pun baru saya perhatikan tidak punya lagi repertoire sebanyak dulu.
Baru saya tersadar. Kemarin saya sibuk dengan teman-teman untuk berbuka dengan para anak panti asuhan. Sibuk beli ini-itu untuk sembako karyawan. Saya lupa, membagi kebahagiaan saya dengan orang tua sendiri. Lupa, lupa, lupa. Tiga minggu sudah saya absen menjenguk mereka. Ahhhhh...
Saat saya sudah tidak bisa kesal lagi karena harus ekstra bangun untuk memasakkan makanan, tidak usah lagi mendengarkan omelan, tidak lagi merunduk karena tidak diberi uang untuk membeli buku kesukaan saya,paling tidak, tidak seharusnya saya membuat mereka berharap sampai tak berani meminta untuk dikunjungi.
Hari ini, ya,'mak. Maafkan saya baru tersadar hari ini.
Ramadhan bagi seorang saya waktu kecil adalah upaya keras untuk bangun lebih awal membantu ibu saya menyiapkan makanan untuk seluruh keluarga. Saya uring-uringan atas perlakuan diskriminatif ibu saya saat itu karena semata-mata saya anak perempuan, jadi harus bangun lebih pagi, sementara kakak saya yang tergolong gender berbeda bisa asyik tidur dan baru bangun 10 menit sebelum imsak.
Beberapa Ramadhan kala itu saya uring-uringan tak ada habisnya. Hingga datang waktunya, satu demi satu kakak saya pergi meninggalkan rumah. Kursi yang kosong itu tidak pernah terisi lagi. Sampai satu waktu ortu sayalah yang pergi dinas untuk beberapa tahun. Meninggalkan saya sahur sendiri. Ada rasa yang menggelegak mengingat seberapa sepetnya mata bangun pukul 3, di masa sebelumnya, paling tidak ada upah tawa dari para penikmat masakan yang disajikan. Selebihnya, hanya kentongan hansip dan nyala televisi yang menemani suapan demi suapan menu sahur.
Dan bisa saya bayangkan, bagaimana perasaaan ibu saya sekarang bangun sahur. Tak ada anak-anaknya. Berdua saja dengan ayah saya yang selalu bangun lebih dulu tapi tak pernah menemani makan atau bicara sepatah kata pun. Ibu saya yang maha cerewet itu, akhir-akhir ini pun baru saya perhatikan tidak punya lagi repertoire sebanyak dulu.
Baru saya tersadar. Kemarin saya sibuk dengan teman-teman untuk berbuka dengan para anak panti asuhan. Sibuk beli ini-itu untuk sembako karyawan. Saya lupa, membagi kebahagiaan saya dengan orang tua sendiri. Lupa, lupa, lupa. Tiga minggu sudah saya absen menjenguk mereka. Ahhhhh...
Saat saya sudah tidak bisa kesal lagi karena harus ekstra bangun untuk memasakkan makanan, tidak usah lagi mendengarkan omelan, tidak lagi merunduk karena tidak diberi uang untuk membeli buku kesukaan saya,paling tidak, tidak seharusnya saya membuat mereka berharap sampai tak berani meminta untuk dikunjungi.
Hari ini, ya,'mak. Maafkan saya baru tersadar hari ini.
Thursday, August 26, 2010
Into the light
When I was younger, my dad often said that the philosophy books are not sold on the street. And he also said, that if you did find one, it doesn't teach you any philosophy at all. I was like 7 or 8 years at that time and did not understand what he was trying to say. I did not even bother to ask, as I was always amazed about things he said, stories he told, even though I did not understand what went between the lines.
Lately I found a book that said if you found the Budha on the street, then he is not the Buddha at all. A wise man says that the state of enlightenment, stillness and total liberation cannot be described because it can only be understood and realized. When some body claimed she/he was enlightened, it is most possibly that she/he is not at all. Worst case is that when somebody say that other people are lost souls. What makes them think they know about all of those?
Many would consider me as a lost soul. Some even claimed seeing my soul turning upside down most of the time. Maybe they are right. I wonder if any saw me not possessing one.
I do believe every single person brought to the world to live for a reason. For sure, it's God's reason. A damn good one, for sure. A very customized one. The thing is we have to find the reason on our own. Such process requires journey. If during the journey we dare to question God what we are dealing with, how these things happpen, there will be no easy answer.
Then I was also inspired by the Linkin Park
here
Lately I found a book that said if you found the Budha on the street, then he is not the Buddha at all. A wise man says that the state of enlightenment, stillness and total liberation cannot be described because it can only be understood and realized. When some body claimed she/he was enlightened, it is most possibly that she/he is not at all. Worst case is that when somebody say that other people are lost souls. What makes them think they know about all of those?
Many would consider me as a lost soul. Some even claimed seeing my soul turning upside down most of the time. Maybe they are right. I wonder if any saw me not possessing one.
I do believe every single person brought to the world to live for a reason. For sure, it's God's reason. A damn good one, for sure. A very customized one. The thing is we have to find the reason on our own. Such process requires journey. If during the journey we dare to question God what we are dealing with, how these things happpen, there will be no easy answer.
Then I was also inspired by the Linkin Park
I tried so hard
And got so far
But in the end
It doesn't even matter
I had to fall
To lose it all
But in the end
It doesn't even matter
here
Thursday, August 12, 2010
the team in need is the solid team indeed
Adapting to new organizational culture has never been a piece of cake. What works for people in an organization may not work for those in another. A leadership style implemented in one department may not be effective in another one. I remember one author wrote "dealing with people is like dealing with a cat. If you kick them, you will never know whether they will go away or bite you".
I grew up in an educational business which has never been really purely business oriented, nor educational oriented. I started my career in academic ground then somehow along the way swift to the world of marketing and sales. What I have become is really reflected where I came from. Where many books claim that all marketing are liars, and to me I still can be a marketing person without having to lie (note: to exaggerate is not equal to lie. LOL). I still live up to my idealism and personal belief. No matter how hard it is.
Then there was a time when my leadership integrity is challenged. First case, one of my subordinate continuously presented inaccurate manipulative data even before I arrived. As I believe people can change, I gave him a chance to prove to improve. I was not given enough time to show the progress as the top decision maker was at the top of his toes to kick this guy out of the team. Without any warning letter or certain procedures, he was asked to leave.
If you think that was the only thing that color my life, you are completely wrong. Secondly, I got another guy who test your nerves by claiming that he needs one month to complete one single project. He said that the management is totally a chaos. I did some talk and offered my personal guarantee to improve the system while asking him to support the process by being cooperative. I was almost there, but then it was the time to evaluate his annual performance to decide whether we should extend his contract. Again this time, I believe I still can change him and change how people perceive him. I never got there. The top man viewed that poor attendance in the last month represent the whole year performance. Instead of improving this staff' attitude, the top guy pushed him to the edge. This time it was the staff who decided to take the initiative to resign.
Oh how I wish I could just manage the team just like a scarecrow does the birds. I wish I could just raise my hands and keep them hanging without having to feel anything to keep the farm field safe. I guess God has his own way of showing people how to gain strength.
One day, another member of my team decided to resign. Concerned about the high turn over of this year, I personally approached her to find out what happened and possibly how to stop her from leaving. She said it was something personal that she could not share. Then a day later, I found out that she felt being unfairly treated as I could not show my full affection to her as the former leader did to her. And she raised the issue that she was boycotted, cheated, not fully supported. The worst is she said something bad really happened to her and I did not try in anyway to rescue her. I did not try to defend myself nor find excuses. Perhaps I began to be weary of all these things.
I just tried to clarify with a hired staff, H, who happened to witness the real incidence she complained about. H said, my direct subordinate, E, cut the name of the staff of a database. I asked the person in private what actually happened, who did it and why it happened. E was silent and could not tell me in the eyes. I should have been able to corner him and shoot him right before my superior's eyes, but I did not. In disgrace, I said to my boss, " I knew who did it but I want the person to admit it". The proprietor remained silent and saved his own ass. So I wore all the blame and humiliation for not being able to lead the team.
What I felt did not matter to me, but I felt that the team should be solid as the target still has to be achieved. I have been practicing being a scape goat. Many give me bad names. That would not stop me to get where I want to go.
I still put the whole team in a meeting and made it sure that we will try our best to achieve the target. Then I left for another meeting so that I could divert my attention from those puzzles. Then I went to the HRD making statement that I was ready for a go. Before I finished explaining why I was planning to leave the post, the top man texted me asking to see him. I got my letter ready and got my chin up foreseeing what worse to come.
It never happened in the history of the company, the top man with the biggest ego would extend his apology. But he did, and said he was wrong about me. He said all my team member came all way up to him to prove that they were on my side. They said good things about me that I never expected I would hear from people that I lead in only 3 months but seem to know all good sides of me. I was almost choked to hear that they defend me from all accusation. Even the hired janitor daringly said " You can just fire me instead of firing Ms. Kenny".
I do not know what to say. And my tears keep flowing when I found the letter from the janitor on my desk
I could not stop the tears from falling. I could not thank God more. I could not value the team work more than this team of mine for trusting me and protecting me.
I grew up in an educational business which has never been really purely business oriented, nor educational oriented. I started my career in academic ground then somehow along the way swift to the world of marketing and sales. What I have become is really reflected where I came from. Where many books claim that all marketing are liars, and to me I still can be a marketing person without having to lie (note: to exaggerate is not equal to lie. LOL). I still live up to my idealism and personal belief. No matter how hard it is.
Then there was a time when my leadership integrity is challenged. First case, one of my subordinate continuously presented inaccurate manipulative data even before I arrived. As I believe people can change, I gave him a chance to prove to improve. I was not given enough time to show the progress as the top decision maker was at the top of his toes to kick this guy out of the team. Without any warning letter or certain procedures, he was asked to leave.
If you think that was the only thing that color my life, you are completely wrong. Secondly, I got another guy who test your nerves by claiming that he needs one month to complete one single project. He said that the management is totally a chaos. I did some talk and offered my personal guarantee to improve the system while asking him to support the process by being cooperative. I was almost there, but then it was the time to evaluate his annual performance to decide whether we should extend his contract. Again this time, I believe I still can change him and change how people perceive him. I never got there. The top man viewed that poor attendance in the last month represent the whole year performance. Instead of improving this staff' attitude, the top guy pushed him to the edge. This time it was the staff who decided to take the initiative to resign.
Oh how I wish I could just manage the team just like a scarecrow does the birds. I wish I could just raise my hands and keep them hanging without having to feel anything to keep the farm field safe. I guess God has his own way of showing people how to gain strength.
One day, another member of my team decided to resign. Concerned about the high turn over of this year, I personally approached her to find out what happened and possibly how to stop her from leaving. She said it was something personal that she could not share. Then a day later, I found out that she felt being unfairly treated as I could not show my full affection to her as the former leader did to her. And she raised the issue that she was boycotted, cheated, not fully supported. The worst is she said something bad really happened to her and I did not try in anyway to rescue her. I did not try to defend myself nor find excuses. Perhaps I began to be weary of all these things.
I just tried to clarify with a hired staff, H, who happened to witness the real incidence she complained about. H said, my direct subordinate, E, cut the name of the staff of a database. I asked the person in private what actually happened, who did it and why it happened. E was silent and could not tell me in the eyes. I should have been able to corner him and shoot him right before my superior's eyes, but I did not. In disgrace, I said to my boss, " I knew who did it but I want the person to admit it". The proprietor remained silent and saved his own ass. So I wore all the blame and humiliation for not being able to lead the team.
What I felt did not matter to me, but I felt that the team should be solid as the target still has to be achieved. I have been practicing being a scape goat. Many give me bad names. That would not stop me to get where I want to go.
I still put the whole team in a meeting and made it sure that we will try our best to achieve the target. Then I left for another meeting so that I could divert my attention from those puzzles. Then I went to the HRD making statement that I was ready for a go. Before I finished explaining why I was planning to leave the post, the top man texted me asking to see him. I got my letter ready and got my chin up foreseeing what worse to come.
It never happened in the history of the company, the top man with the biggest ego would extend his apology. But he did, and said he was wrong about me. He said all my team member came all way up to him to prove that they were on my side. They said good things about me that I never expected I would hear from people that I lead in only 3 months but seem to know all good sides of me. I was almost choked to hear that they defend me from all accusation. Even the hired janitor daringly said " You can just fire me instead of firing Ms. Kenny".
I do not know what to say. And my tears keep flowing when I found the letter from the janitor on my desk
" Miss, Maaf kalau saya bicara terus terang sama boss, walaupun miss melarang saya. Kebenaran harus ditegakkan".
I could not stop the tears from falling. I could not thank God more. I could not value the team work more than this team of mine for trusting me and protecting me.
Sunday, August 08, 2010
Penganten Sunat
Sejak 3 bulan lalu, Wisnu punya masalah setiap kali buang air kecil, yaitu air seninya tidak bisa mengucur deras karena lubang keluarnya menyempit. Setelah dibawa ke dokter anak, sang dokter menganjurkan agar Wisnu disunat saja karena bagian atas genitalnya ternyata mengalami perlengketan sehingga kotoran-kotorannya menempel dan air seninya tidak lancar.
Maka mulailah kami memberi pengertian bahwa anak-anak laki seumurnya pun banyak yang sudah disunat. Upaya memberi pengertian ini dimulai dari dialog, membujuk, mengiming-imingi, sampai memaksa. Biasalah, Aji kebagian jadi pihak negotiator dengan segala bla-bla mengenai alasan kenapa harus disunat dan menawarkan metoda sunat apa yang Wisnu setujui . Riset internet, sms teman-teman yang anaknya sudah disunat, menelepon beberapa rumah sakit adalah porsinya Aji karena tokh ada konsekuensi finansial yang pastinya harus dipertimbangkan merupakan hak perogatifnya. Sampai-sampai sempat ada wacana layanan sunat di rumah, yaitu si pemegang profesi pesunat ini bisa dipanggil ke rumah.
Ibu kebagian mengantar Wisnu ke tempat perayaan anak yang sudah disunat dengan harapan memberi gambaran seorang anak yang disunat akan baik-baik saja (berdiri tegak, berpakaian lengkap, tersenyum lebar menerima ucapan selamat dari banyak orang dan mendapatkan amplop). Kesan yang bisa membingungkan untuk seorang Wisnu karena di situasi lain, melihat anak lainnya yang disunat dan terkapar di tempat tidur dan sulit begerak dengan penisnya yang terkespos sementara orang-orang berdatangan memberikan salam dan pujian serta amplop berisi uang. Hey, paling tidak ibu berusaha memberikan gambaran utuh mengenai kejadian sunat itu !Neneknya Wisnu tidak mau kalah partisipasi dengan caranya sendiri : memperlihatkan amplop yang sudah ditulisi : Untuk Wisnu; Rp 100.000 karena berani disunat. Setiap kali datang kami datang berkunjung, amplop itu diperlihatkan Wisnu seraya bujukan maut sang nenek,
Awalnya kami tertarik dengan metoda clamp yang tersohor itu dan disinyalir tidak sakit. Sempat juga sepakat mau pakai metode laser, tapi kemudian berujung pada pengakuan seorang teman yang memakai dokter di rumah sakit tempat Wisnu lahir, Duren Tiga, dengan azas sederhana : murah, dekat, metoda dokter, bius lokal dan aman.
Tibalah saatnya pada hari minggu, pukul 6 pagi kami sudah stand by di rumah sakit. Awalnya Wisnu sudah siap mental dan setuju bahwa selama proses sunat dilaksanakan dia akan main game saja di I pad. Tapi, pada saat akan dilaksanakan, arahan dokter yang berupaya sabar pun tak sanggup menghalau rasa takut dan panik Wisnu. Menangis, menjerit histeris, memohon dan mengiba agar tidak jadi disunat hampir membuat kami mengurungkan niat. Kemudian, dalam hitungan detik, kami sepakat tidak akan ada hari atau kesempatan lain untuk sunat selain : sekarang. Ibu memeluk erat Wisnu sambil menutupi muka Wisnu agar ia tidak melihat prosesnya, sementara Aji menjadi saksi peristiwa itu dan memberikan semangat.
Wisnu menangis beberapa saat, pada saat jarum suntik membiusnya. Teriakan dan tangisannya mewarnai ruang praktek dokter ditemani sumpah serapah sang dokter yang mengeluh tak bisa tenang karena Wisnu tidak kooperatif. Ibu cuma mau tutup kuping dan berharap proses cepat selesai . Dengan berbagai cara, Wisnu perlu ditenangkan karena kalau dia meronta bisa fatal akibatnya. Sebenarnya setelah dianastesi lokal, tidak ada rasa sakit yang dirasa, hanya saja Wisnu panik karena merasa ada beberapa alat yang tengah beraksi. Sensasi sakit yang sebenar-benarnya dirasakan adalah setelah sunat selesai dan ia minta buang air kecil. Yah, rasa sakit yang mungkin harus dilalui ditambah dengan imajinasinya terhadap apa yang sudah terjadi karena melihat penisnya dalam kondisi dramatis : berlumuran betadin dan mencuat karena ditahan oleh perban. Sepanjang perjalanan dari rumah sakit sampai rumah, Wisnu masih menangis dan tidak bisa menerima kenyataan dia harus disunat. Sempat terucap, " harusnya Wisnu tidak usah disunat, ibu".
Untuk beberapa saat, bahkan amplop sakti isi uang dari Nini tak mampu menahan isak tangis Wisnu. Setelah minum obat penghilang rasa sakit, Wisnu tertidur. Sejam kemudian, barulah dia minta makan dan minum. Dan akhirnya bisa tersenyum dan berkata dengan bangga, " sekarang penis Wisnu seperti punya Aji". Oh , man! Ibu jadi melengos.com.
Maka mulailah kami memberi pengertian bahwa anak-anak laki seumurnya pun banyak yang sudah disunat. Upaya memberi pengertian ini dimulai dari dialog, membujuk, mengiming-imingi, sampai memaksa. Biasalah, Aji kebagian jadi pihak negotiator dengan segala bla-bla mengenai alasan kenapa harus disunat dan menawarkan metoda sunat apa yang Wisnu setujui . Riset internet, sms teman-teman yang anaknya sudah disunat, menelepon beberapa rumah sakit adalah porsinya Aji karena tokh ada konsekuensi finansial yang pastinya harus dipertimbangkan merupakan hak perogatifnya. Sampai-sampai sempat ada wacana layanan sunat di rumah, yaitu si pemegang profesi pesunat ini bisa dipanggil ke rumah.
Ibu kebagian mengantar Wisnu ke tempat perayaan anak yang sudah disunat dengan harapan memberi gambaran seorang anak yang disunat akan baik-baik saja (berdiri tegak, berpakaian lengkap, tersenyum lebar menerima ucapan selamat dari banyak orang dan mendapatkan amplop). Kesan yang bisa membingungkan untuk seorang Wisnu karena di situasi lain, melihat anak lainnya yang disunat dan terkapar di tempat tidur dan sulit begerak dengan penisnya yang terkespos sementara orang-orang berdatangan memberikan salam dan pujian serta amplop berisi uang. Hey, paling tidak ibu berusaha memberikan gambaran utuh mengenai kejadian sunat itu !Neneknya Wisnu tidak mau kalah partisipasi dengan caranya sendiri : memperlihatkan amplop yang sudah ditulisi : Untuk Wisnu; Rp 100.000 karena berani disunat. Setiap kali datang kami datang berkunjung, amplop itu diperlihatkan Wisnu seraya bujukan maut sang nenek,
Nih bli Wisnu, lihat, nini sudah sisihkan Rp 100,000 untuk bli dan nini simpan dalam amplop, di dalam dompet nini. Nanti nini berikan kalau Wisnu sudah selesai disunatUjaran si nenek berimplikasi kepada Andhika yang berseloroh, " wah, asyik banget! Andhika mau juga disunat!'.
Awalnya kami tertarik dengan metoda clamp yang tersohor itu dan disinyalir tidak sakit. Sempat juga sepakat mau pakai metode laser, tapi kemudian berujung pada pengakuan seorang teman yang memakai dokter di rumah sakit tempat Wisnu lahir, Duren Tiga, dengan azas sederhana : murah, dekat, metoda dokter, bius lokal dan aman.
Tibalah saatnya pada hari minggu, pukul 6 pagi kami sudah stand by di rumah sakit. Awalnya Wisnu sudah siap mental dan setuju bahwa selama proses sunat dilaksanakan dia akan main game saja di I pad. Tapi, pada saat akan dilaksanakan, arahan dokter yang berupaya sabar pun tak sanggup menghalau rasa takut dan panik Wisnu. Menangis, menjerit histeris, memohon dan mengiba agar tidak jadi disunat hampir membuat kami mengurungkan niat. Kemudian, dalam hitungan detik, kami sepakat tidak akan ada hari atau kesempatan lain untuk sunat selain : sekarang. Ibu memeluk erat Wisnu sambil menutupi muka Wisnu agar ia tidak melihat prosesnya, sementara Aji menjadi saksi peristiwa itu dan memberikan semangat.
Wisnu menangis beberapa saat, pada saat jarum suntik membiusnya. Teriakan dan tangisannya mewarnai ruang praktek dokter ditemani sumpah serapah sang dokter yang mengeluh tak bisa tenang karena Wisnu tidak kooperatif. Ibu cuma mau tutup kuping dan berharap proses cepat selesai . Dengan berbagai cara, Wisnu perlu ditenangkan karena kalau dia meronta bisa fatal akibatnya. Sebenarnya setelah dianastesi lokal, tidak ada rasa sakit yang dirasa, hanya saja Wisnu panik karena merasa ada beberapa alat yang tengah beraksi. Sensasi sakit yang sebenar-benarnya dirasakan adalah setelah sunat selesai dan ia minta buang air kecil. Yah, rasa sakit yang mungkin harus dilalui ditambah dengan imajinasinya terhadap apa yang sudah terjadi karena melihat penisnya dalam kondisi dramatis : berlumuran betadin dan mencuat karena ditahan oleh perban. Sepanjang perjalanan dari rumah sakit sampai rumah, Wisnu masih menangis dan tidak bisa menerima kenyataan dia harus disunat. Sempat terucap, " harusnya Wisnu tidak usah disunat, ibu".
Untuk beberapa saat, bahkan amplop sakti isi uang dari Nini tak mampu menahan isak tangis Wisnu. Setelah minum obat penghilang rasa sakit, Wisnu tertidur. Sejam kemudian, barulah dia minta makan dan minum. Dan akhirnya bisa tersenyum dan berkata dengan bangga, " sekarang penis Wisnu seperti punya Aji". Oh , man! Ibu jadi melengos.com.
Saturday, August 07, 2010
Birthday is always a happy day
This very year, Andhika is now 4 years old. He does not look happy at all with the candle to blow.
Akira, a week later, celebrated his 5th b'day. We let him blew the candle before school.
Two weeks later, three of them, still eager to blow the candle, represent the 45th grandpa and grandma wedding anniversary. Wasn't it fun to blow candles many times like this?
Akira, a week later, celebrated his 5th b'day. We let him blew the candle before school.
Two weeks later, three of them, still eager to blow the candle, represent the 45th grandpa and grandma wedding anniversary. Wasn't it fun to blow candles many times like this?
Thursday, July 29, 2010
Exclusive serenity
Sedikit berbeda dari orang, sejak kecil, saya sering memerlukan waktu dan ruang untuk sendiri saja. Sendirian untuk berdua dengan diri sendiri. Entah aneh entah ajaib.
Untuk beberapa orang yang sulit mengerti kebutuhan saya itu seringnya saya tak perduli. Buat saya, itu hak orang tersebut untuk tidak memahami saya. Dan yang paling penting, itu hak saya untuk memahami diri saya sementara orang lain tidak bisa.
Akhir-akhir ini, kebutuhan untuk menyendiri semakin meningkat. Entah kenapa, saya merasa kebutuhan itu menjadi sesuatu yang ekslusif, yang sangat bernilai. Bukan saya tak mau jadi makhluk sosial, tapi betapa indahnya untuk dapat berdiam diri tanpa mendengarkan suara orang lain, atau memikirkan pendapat orang lain.
Untuk beberapa orang yang sulit mengerti kebutuhan saya itu seringnya saya tak perduli. Buat saya, itu hak orang tersebut untuk tidak memahami saya. Dan yang paling penting, itu hak saya untuk memahami diri saya sementara orang lain tidak bisa.
Akhir-akhir ini, kebutuhan untuk menyendiri semakin meningkat. Entah kenapa, saya merasa kebutuhan itu menjadi sesuatu yang ekslusif, yang sangat bernilai. Bukan saya tak mau jadi makhluk sosial, tapi betapa indahnya untuk dapat berdiam diri tanpa mendengarkan suara orang lain, atau memikirkan pendapat orang lain.
Tuesday, July 13, 2010
Go Public
BEBERAPA pekan terakhir,Indonesia geger dengan skandal video porno.Ini adalah salah satu dampak negatif dari teknologi. Namun,sisi positif teknologi sesungguhnya masih banyak sekali.
Salah satunya adalah pemanfaatan teknologi untuk pendidikan. Namun, belum banyak masyarakat Indonesia yang mempergunakan teknologi, khususnya internet sebagai alat yang memudahkan proses belajar mengajar.Padahal,pada saat ini peserta didik tidak cukup hanya mengandalkan informasi yang diberikan pengajar, tapi harus mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya dari luar pendidikan resmi.
Director Laureate International Universities Network Gordon Lewis menjelaskan, sekarang merupakan waktu yang tepat bagi lembaga pendidikan di Indonesia untuk memanfaatkan teknologi dalam proses belajar mengajar. ”Kalau tidak membiasakan dari sekarang, pada masa mendatang pendidikan Indonesia bias semakin tertinggal,”jelas Lewis.
Di banyak negara,penggunaan teknologi seperti internet ataupun Facebook dalam proses belajar mengajar sudah kerap dilakukan. Bahkan, sejumlah guru di luar negeri sengaja memberikan tugas kepada peserta didik untuk berkenalan dengan pelajar dari negara lain. Hal itu dimaksudkan untuk membiasakan peserta didik berdialog dengan pelajar lain yang tidak dikenal.
Di sisi lain, tugas tersebut juga memungkinkan peserta didik untuk mencari informasi mengenai budaya dan pengetahuan di negara lain.Hal ini tentunya akan bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan jaringan. Sebuah hal yang sulit dilakukan, jika lembaga pendidikan tidak mulai memanfaatkan teknologi untuk proses belajar mengajar. ”Hal sama juga bisa dilakukan pendidik,”tutur Lewis.
Dengan mempergunakan teknologi, tatap muka antara pendidik dan peserta didik bisa berkurang. Persentasenya bisa 25% dengan telekonferensi dan sisanya tatap muka secara langsung, atau 50% telekonferensi, sisanya tatap muka.Telekonferensi bisa dilakukan dengan mempergunakan jaringan yang sudah ada, seperti Yahoo Messenger ataupun Facebook. Sumber daya teknologi yang mungkin berguna dalam proses belajar mengajar antara lain,komputer, laptop,netbook.Kemudian lembaga pendidikan juga perlu berinvestasi pada jaringan internet.
Dengan berinvestasi pada alat,maka akan membuat pengusaha terus memperbaharuinya. Seiring dengan itu, Marketing Director Inti Education Group Kenny Dewi Juwita mengaku, bila ingin proses belajar mengajar yang dilakukan menjadi efektif, maka harus meningkatkan kualitas hubungan peserta didik dan pendidik. Semuanya dapat dibuat menarik bila guru ingin efektif dalam mengajar bidang studi apa pun.
Semuanya dapat dibuat menarik dan menyenangkan apabila pendidik telah mengetahui bagaimana menciptakan hubungan saling menghargai dan saling mengerti dengan siswanya.Untuk itu, pendidik sepertinya perlu mulai mencoba pendekatan interaktif yang dapat membantu peserta didik mulai meningkatkan motivasi belajar siswanya.Salah satunya dengan pemanfaatan teknologi. Misalkan saja pada internet.Teknologi internet menunjang peserta didik yang mengalami keterbatasan ruang dan waktu untuk tetap dapat menikmati pendidikan.
Metode talkdan chalk dapat dimodifikasi dalam bentuk komunikasi melalui e-mail,mailing list,dan chatting.Melalui mailing list,pakar akan berdiskusi bersama anggota mailing list. Metode ini mampu menghilangkan jarak antara pendidik dan peserta didik. Suasana yang hangat dan nonformal pada mailing list ternyata menjadi cara pembelajaran yang efektif. Sebenarnya memanfaatkan teknologi dalam pengajaran bukanlah hal baru.
Namun,beberapa pendidik masih belum terbiasa dengan teknologi tersebut.Termasuk penggunaan komputer dan internet sebagai salah satu wacana pencarian bahan mengajar. Sementara, peserta didik yang diajarkan sudah sangat terbiasa dan nyaman dalam menggunakan segala jenis teknologi tersebut. Karena itulah,menurut Kenny, semua pihak harus mendorong pendidik untuk mau belajar teknologi yang sekarang berkembang. Jika tidak, bukan mustahil pendidik akan dianggap setengah mata.
Tidak menutup kemungkinan semua bahan belajar yang akan diajarkan kepada peserta didik sudah terlebih dahulu dikuasai. ”Peserta didik bisa mengunduh bahan pelajaran yang banyak tersedia di internet,”tuturnya. Sementara pegiat teknologi informatika (TI),Bonatua BV Napitu, menambahkan, dalam menggunakan teknologi, lembaga pendidikan semestinya juga harus mempertimbangkan apakah hal itu akan membuat peserta didik terbantu dan termotivasi.
”Kalau hal itu benar- benar terjadi, maka lembaga pendidikan harus segera mempergunakan teknologi dalam proses belajar mengajar yang dilakukannya,” katanya. Bonatua menjelaskan, teknologi yang dimaksud tidak selalu mahal. Lembaga pendidikan bisa saja membuat jaringan internal pada komputer yang ada. Kemudian, pengajar atau peserta didik membuat sebuah isu yang terkait dengan pelajaran.Dari situ,pengajar bisa mengetahui peserta didik mana saja yang aktif dalam menanggapi isu tersebut. ***
Sumber: seputar-indonesia
Salah satunya adalah pemanfaatan teknologi untuk pendidikan. Namun, belum banyak masyarakat Indonesia yang mempergunakan teknologi, khususnya internet sebagai alat yang memudahkan proses belajar mengajar.Padahal,pada saat ini peserta didik tidak cukup hanya mengandalkan informasi yang diberikan pengajar, tapi harus mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya dari luar pendidikan resmi.
Director Laureate International Universities Network Gordon Lewis menjelaskan, sekarang merupakan waktu yang tepat bagi lembaga pendidikan di Indonesia untuk memanfaatkan teknologi dalam proses belajar mengajar. ”Kalau tidak membiasakan dari sekarang, pada masa mendatang pendidikan Indonesia bias semakin tertinggal,”jelas Lewis.
Di banyak negara,penggunaan teknologi seperti internet ataupun Facebook dalam proses belajar mengajar sudah kerap dilakukan. Bahkan, sejumlah guru di luar negeri sengaja memberikan tugas kepada peserta didik untuk berkenalan dengan pelajar dari negara lain. Hal itu dimaksudkan untuk membiasakan peserta didik berdialog dengan pelajar lain yang tidak dikenal.
Di sisi lain, tugas tersebut juga memungkinkan peserta didik untuk mencari informasi mengenai budaya dan pengetahuan di negara lain.Hal ini tentunya akan bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan jaringan. Sebuah hal yang sulit dilakukan, jika lembaga pendidikan tidak mulai memanfaatkan teknologi untuk proses belajar mengajar. ”Hal sama juga bisa dilakukan pendidik,”tutur Lewis.
Dengan mempergunakan teknologi, tatap muka antara pendidik dan peserta didik bisa berkurang. Persentasenya bisa 25% dengan telekonferensi dan sisanya tatap muka secara langsung, atau 50% telekonferensi, sisanya tatap muka.Telekonferensi bisa dilakukan dengan mempergunakan jaringan yang sudah ada, seperti Yahoo Messenger ataupun Facebook. Sumber daya teknologi yang mungkin berguna dalam proses belajar mengajar antara lain,komputer, laptop,netbook.Kemudian lembaga pendidikan juga perlu berinvestasi pada jaringan internet.
Dengan berinvestasi pada alat,maka akan membuat pengusaha terus memperbaharuinya. Seiring dengan itu, Marketing Director Inti Education Group Kenny Dewi Juwita mengaku, bila ingin proses belajar mengajar yang dilakukan menjadi efektif, maka harus meningkatkan kualitas hubungan peserta didik dan pendidik. Semuanya dapat dibuat menarik bila guru ingin efektif dalam mengajar bidang studi apa pun.
Semuanya dapat dibuat menarik dan menyenangkan apabila pendidik telah mengetahui bagaimana menciptakan hubungan saling menghargai dan saling mengerti dengan siswanya.Untuk itu, pendidik sepertinya perlu mulai mencoba pendekatan interaktif yang dapat membantu peserta didik mulai meningkatkan motivasi belajar siswanya.Salah satunya dengan pemanfaatan teknologi. Misalkan saja pada internet.Teknologi internet menunjang peserta didik yang mengalami keterbatasan ruang dan waktu untuk tetap dapat menikmati pendidikan.
Metode talkdan chalk dapat dimodifikasi dalam bentuk komunikasi melalui e-mail,mailing list,dan chatting.Melalui mailing list,pakar akan berdiskusi bersama anggota mailing list. Metode ini mampu menghilangkan jarak antara pendidik dan peserta didik. Suasana yang hangat dan nonformal pada mailing list ternyata menjadi cara pembelajaran yang efektif. Sebenarnya memanfaatkan teknologi dalam pengajaran bukanlah hal baru.
Namun,beberapa pendidik masih belum terbiasa dengan teknologi tersebut.Termasuk penggunaan komputer dan internet sebagai salah satu wacana pencarian bahan mengajar. Sementara, peserta didik yang diajarkan sudah sangat terbiasa dan nyaman dalam menggunakan segala jenis teknologi tersebut. Karena itulah,menurut Kenny, semua pihak harus mendorong pendidik untuk mau belajar teknologi yang sekarang berkembang. Jika tidak, bukan mustahil pendidik akan dianggap setengah mata.
Tidak menutup kemungkinan semua bahan belajar yang akan diajarkan kepada peserta didik sudah terlebih dahulu dikuasai. ”Peserta didik bisa mengunduh bahan pelajaran yang banyak tersedia di internet,”tuturnya. Sementara pegiat teknologi informatika (TI),Bonatua BV Napitu, menambahkan, dalam menggunakan teknologi, lembaga pendidikan semestinya juga harus mempertimbangkan apakah hal itu akan membuat peserta didik terbantu dan termotivasi.
”Kalau hal itu benar- benar terjadi, maka lembaga pendidikan harus segera mempergunakan teknologi dalam proses belajar mengajar yang dilakukannya,” katanya. Bonatua menjelaskan, teknologi yang dimaksud tidak selalu mahal. Lembaga pendidikan bisa saja membuat jaringan internal pada komputer yang ada. Kemudian, pengajar atau peserta didik membuat sebuah isu yang terkait dengan pelajaran.Dari situ,pengajar bisa mengetahui peserta didik mana saja yang aktif dalam menanggapi isu tersebut. ***
Sumber: seputar-indonesia
Sunday, July 04, 2010
Akhirnya ...
Saya berhutang budi kepada Budi yang dulu sering saya sebut-sebut namanya pada saat saya belajar membaca (walaupun sebenarnya belajar menghafal kalimat sesuai dengan gambar--biar dikira dah bisa baca, padahal baru bebas buta huruf kelas 3 SD)di bangku SD.
Selain itu saya hutang budi pada celeb ciklit kondang yang meracuni saya memanfaatkan laptop dan sambungan internet gratis di malam-malam saat musim semi dan menanti kelahiran Akira di Yokohama. Saya yang sesumbar mau menulis buku cerita baru bisa mewujudkannya di tahun ke-4.
Tentunya saya paling berhutang budi pada senior penulis drama kondang kampret
yang tak jemu-jemu memberikan semangat dan arahan (padahal saya sudah patah semangat dan salah arah). Tanpanya apa artinya
Dan saudara-saudara sekalian, saya persembahkan 2 buku anak-anak atas nama anak-anak saya dan anak-anak Indonesia yang tak perlu latah menggandrungi serial impor, dan mau membaca tulisan penulis dari negeri sendiri.
Persembahan saya :
Selain itu saya hutang budi pada celeb ciklit kondang yang meracuni saya memanfaatkan laptop dan sambungan internet gratis di malam-malam saat musim semi dan menanti kelahiran Akira di Yokohama. Saya yang sesumbar mau menulis buku cerita baru bisa mewujudkannya di tahun ke-4.
Tentunya saya paling berhutang budi pada senior penulis drama kondang kampret
yang tak jemu-jemu memberikan semangat dan arahan (padahal saya sudah patah semangat dan salah arah). Tanpanya apa artinya
Dan saudara-saudara sekalian, saya persembahkan 2 buku anak-anak atas nama anak-anak saya dan anak-anak Indonesia yang tak perlu latah menggandrungi serial impor, dan mau membaca tulisan penulis dari negeri sendiri.
Persembahan saya :
Thursday, May 13, 2010
road taken
There were nights that seemed to be the darkest of all. My eyes were widely open, but there was nothing. I did not know what was coming. I had no idea where to go. There was no point of directions. I just thought as long as I still can walk, I will keep on moving. Just keep on moving.
Many who did not seem to understand my pitfall could simply play wise saying, " be patient". Those who probably consider they were born with lucky star sign confidently shout, " Be thankful for what you have got". Yeah, yeah, yeah. Not that I doubt in the Omnipotent, but you knew your limit. Enough is enough.
You could never be like me. You would never be in my shoes. There is no way that you understand my feeling. There. I was too angry to myself to argue with them. If this was supposed to be a test, My Almighty, fine. I'll figure it out in my human way.
As always, I had to try different things other would not do. I guess I was born and raised in a way that I had differential factor in my genes. I made a breakthrough. I took a chance. Not quite surprising, I got it. Not just got something new for the sake of the change itself.
Now that things are getting clearer. To my wonder and worries, it has been way too easy. What's next to come, my dear Supreme Power? Could you go videoconferencing with me and provide with tutorial for my next 5 years life? Any clues at all? Of course, not.
When you gave me all this power, what is it your expectation? That I will not kick people in the ash while I can for the things they did to me when I could not do anything?
When I saw my reflections of being betrayed in other people, then I understand... so this is all about the dark road you took me. I know I passed those road before. Now, that you expect me not to let them feel the way I felt? Is that so? Does it always have to be this way?
Many who did not seem to understand my pitfall could simply play wise saying, " be patient". Those who probably consider they were born with lucky star sign confidently shout, " Be thankful for what you have got". Yeah, yeah, yeah. Not that I doubt in the Omnipotent, but you knew your limit. Enough is enough.
You could never be like me. You would never be in my shoes. There is no way that you understand my feeling. There. I was too angry to myself to argue with them. If this was supposed to be a test, My Almighty, fine. I'll figure it out in my human way.
As always, I had to try different things other would not do. I guess I was born and raised in a way that I had differential factor in my genes. I made a breakthrough. I took a chance. Not quite surprising, I got it. Not just got something new for the sake of the change itself.
Now that things are getting clearer. To my wonder and worries, it has been way too easy. What's next to come, my dear Supreme Power? Could you go videoconferencing with me and provide with tutorial for my next 5 years life? Any clues at all? Of course, not.
When you gave me all this power, what is it your expectation? That I will not kick people in the ash while I can for the things they did to me when I could not do anything?
When I saw my reflections of being betrayed in other people, then I understand... so this is all about the dark road you took me. I know I passed those road before. Now, that you expect me not to let them feel the way I felt? Is that so? Does it always have to be this way?
Tuesday, May 04, 2010
the art of making mistakes
I used to kick the trash bin in my former office everytime I had to bear the consequences of someone's irresponsible conduct. I used to stare at people who tried to make excuses of their mistakes or negligence. I wore out of patience and gave up on certain people because I failed them.
My life seemed never be complete without any surprises-- I should have reminded myself. One fine day, I contributed a mixture circumstances full of confusion, chaos and anger. Just on one fine day, I wear all the guilt and accusation.
I made mistakes. I admit it. I said sorry.
What else can I do ?
The fierce look, frown faces, sms with all exclamation remarks do not take my soul. I could bear all the negative remarks. Guess what trembled me most was the look on my friend's face being bombarded with questions and accusation for which I should have been the one taking all the blame. I wish I could say something to lessen the effect.
She should have never been there.
She did not deserve anything of these.
What can I say?
It is easier to give in to anger when somebody else is making mistakes.
It is easier to curse than to forgive.
It is easier to say sorry than try to forgive, maybe.
Still, I still have to say it.
My life seemed never be complete without any surprises-- I should have reminded myself. One fine day, I contributed a mixture circumstances full of confusion, chaos and anger. Just on one fine day, I wear all the guilt and accusation.
I made mistakes. I admit it. I said sorry.
What else can I do ?
The fierce look, frown faces, sms with all exclamation remarks do not take my soul. I could bear all the negative remarks. Guess what trembled me most was the look on my friend's face being bombarded with questions and accusation for which I should have been the one taking all the blame. I wish I could say something to lessen the effect.
She should have never been there.
She did not deserve anything of these.
What can I say?
It is easier to give in to anger when somebody else is making mistakes.
It is easier to curse than to forgive.
It is easier to say sorry than try to forgive, maybe.
Still, I still have to say it.
Monday, April 26, 2010
Surat kepada Bu Etty
Suatu hari, sepulang dari kantor, saya menemukan secarik kertas A4 terlipat dua di atas meja komputer. Ada tulisan besar-besar : Kepada Yth Ibu Etty.
Kertas itu ditulisi Wisnu, anak tertua saya yang belum genap 7 tahun itu kepada ibu guru wali kelasnya.
Kalau ada sound effect untuk pengantar cerita ini, begitulah bunyinya.
Nasib anak saya yang bersekolah di sekolah negeri republik tercinta ini. Kepanasan di sekolah karena tak ada AC, mungkin sulit dimengerti oleh orang tua macam saya yang dulunya biasa kemeringet di sekolah INPRES.
Kamar mandi yang bau seringkali dikomentari oleh Wisnu karena menghilangkan seleranya untuk buang air kecil di sana. Komentarnya sambil mengkerutkan hidungnya, " Ada air besarnya, bu, gak disiram. B-A-U". Yaiks. Saya bahkan tak sanggup membayangkannya.
Tidak nyaman ? Sekolah gratis, gitu loh.
Berhenti sekolah? Teman saya yang di sana pasti sudah gemas dengan sarannya sedari dulu untuk memindahkan Wisnu ke sekolah bernuansa sekolah alam. Halah, anak pegawai negeri kok mau sekolah mewah, bisa-bisa jadi korban prejudice.
WC yang bersih, is that too much to ask?
.
Kertas itu ditulisi Wisnu, anak tertua saya yang belum genap 7 tahun itu kepada ibu guru wali kelasnya.
"Wisnu sudah berhenti sekolah di sini karena tidak ada AC nya kamar mandinya bau dan ada air besarnya jadi tidak nyaman".Kwak kwaw.
Kalau ada sound effect untuk pengantar cerita ini, begitulah bunyinya.
Nasib anak saya yang bersekolah di sekolah negeri republik tercinta ini. Kepanasan di sekolah karena tak ada AC, mungkin sulit dimengerti oleh orang tua macam saya yang dulunya biasa kemeringet di sekolah INPRES.
Kamar mandi yang bau seringkali dikomentari oleh Wisnu karena menghilangkan seleranya untuk buang air kecil di sana. Komentarnya sambil mengkerutkan hidungnya, " Ada air besarnya, bu, gak disiram. B-A-U". Yaiks. Saya bahkan tak sanggup membayangkannya.
Tidak nyaman ? Sekolah gratis, gitu loh.
Berhenti sekolah? Teman saya yang di sana pasti sudah gemas dengan sarannya sedari dulu untuk memindahkan Wisnu ke sekolah bernuansa sekolah alam. Halah, anak pegawai negeri kok mau sekolah mewah, bisa-bisa jadi korban prejudice.
WC yang bersih, is that too much to ask?
.
Thursday, March 25, 2010
A lot of pain, to gain a lot
After 13 years, finally I made the decision to start something new. There has never been an easy way to step into a new world, especially when you have been so comfortable and familiar with the milieu. The worst people with worst responses I could anticipate have been bearable condition for me, for years. From the cheapest smile to wear at the right time of weather, for the right person to the most blank face to look away to the right target, is in my repertoire to deal with any kind of creatures who make my day.
For once, you got really really sick and tired of it. It's just like suffering from cancer. You feel something growing inside of you and it just could not stop. You know it's killing you. You do not know whether you can survive. You do not even dare to wish to die. On top of it , all kinds of treatment is no cure at all. They only give placebo effect with no promise of effective result. The worst thing is when you search for the answer, they just look at you in vain and say " I am so sorry, I wish I knew what to do with you”.
And again, enough is enough. I decided to disarm myself and walk away. I was not born to be a hero who can win the suicidal war. When you refuse to wear the same uniform and join the flock to be in a formation, at least you just have to pretend you are like them. I just can no longer do that. Though I knew there are things I could do, but I think somewhere in certain point of your life I realize that I am destined to be in a different path from others. After sipping the thickest black coffee, what are you not ready for?
Anyway I have been well trained for not confirming to weakness. Being a kid who survived from 3 time hospital treatment of bronchitis, acute asthma and the last one, dengue fever who took many lives of kids of my age back in 1985, I learned to cope with no hope at all and survive despite the doctor’s reservation, the inexistence of medication, money deprivation. I spent more time in hospital rather than in school (It was likely that the class did not even spare any seat for me, so I need to sit on the teacher’s chair or write on the board as the secretary to the teacher with false argument that I write so clear and neat that my friends will learn how to write so from my writing while the teacher was taking her/his privilege taking her/his seat). I skipped too many classes, learned to catch up the lessons on hospital bed with the help of my dad. It's not a homeschooling but hospitalbedschooling , though. My parents were so sure I could not get promoted during my elementary education and somewhat hypnotized me if I did get to the higher class, it's merely bonus from the God.
I DID get a lot of bonus. I got promoted every year.
I did survived from all those disease. I live. I have lived through the years.
I continued to Junior High, coping with the school mates who were born with silver spoon, managed to be exempted from prep course for free because this best friend of mine whose brain is somewhat hopeless but whose parents are too ambitious to put her into top school refused to take the class without me in her company despite the fact that my parents could never afford the fee, I was like sponsored by my friend’s parents. I was just damn lucky, or got another bonus from God.
Another critical period was when I found the right guy to trust but politically wrong to marry practically because of different faith. Many were sure that my relationship would not last. Many predicted he would back off and desert me. The idea of getting married was more likely to be considered a Malin Kundang rather than a Cinderella tale , as choosing this guy means that I will be a disgrace to the family and cursed.
I did not give up. I did not talk back (for once in my life) to my mother. I just said , “ I was just asking for your permission to let me marry this guy and live my own life” which results in my being expelled from the house. I left my parents house but I did not get offended. Even this guy was afraid that I would do something stupid, like committing suicide or perhaps some other destructive ideas. Instead of saying “ I’ll climb the mountain to win you”, surprisingly he said :” I hope it’s alright with you if we can not marry anyway”. Boom !
I was too numb to be in pain. I could not cry anymore. I did not go to anyone and whine about life. I was unsure what was coming. As always, in time like this, I did not dare to wish for anything. But then God listens to you even you do not dare to talk to him. My parents agreed to let me proceed the wedding. We did get married.
Once I thought that I got a hang of things and settled with a job: regular one, average salary, close distance from my residence. I thought , like everybody else in that company , it was quite OK. All say that I have 3 kids to take care of, so I just need to raise them and be a good mom while the job does not have to be something I pursued. It was only something to kill my time. Rite. I thought so, then I realized I would never be resilient to accountability. I smelled too many things fishy and I just could no longer feel that I should be doing something I believe in while the others do not. I just do not fit in anymore. Things went so rough and unhealthy.
In the end, I just have to believe that nothing happens for no reason. That I should believe that God has again given me another package of bonus. New land of hope, new people to meet, new thing to learn. It’s not always about money, you know.
For once, you got really really sick and tired of it. It's just like suffering from cancer. You feel something growing inside of you and it just could not stop. You know it's killing you. You do not know whether you can survive. You do not even dare to wish to die. On top of it , all kinds of treatment is no cure at all. They only give placebo effect with no promise of effective result. The worst thing is when you search for the answer, they just look at you in vain and say " I am so sorry, I wish I knew what to do with you”.
And again, enough is enough. I decided to disarm myself and walk away. I was not born to be a hero who can win the suicidal war. When you refuse to wear the same uniform and join the flock to be in a formation, at least you just have to pretend you are like them. I just can no longer do that. Though I knew there are things I could do, but I think somewhere in certain point of your life I realize that I am destined to be in a different path from others. After sipping the thickest black coffee, what are you not ready for?
Anyway I have been well trained for not confirming to weakness. Being a kid who survived from 3 time hospital treatment of bronchitis, acute asthma and the last one, dengue fever who took many lives of kids of my age back in 1985, I learned to cope with no hope at all and survive despite the doctor’s reservation, the inexistence of medication, money deprivation. I spent more time in hospital rather than in school (It was likely that the class did not even spare any seat for me, so I need to sit on the teacher’s chair or write on the board as the secretary to the teacher with false argument that I write so clear and neat that my friends will learn how to write so from my writing while the teacher was taking her/his privilege taking her/his seat). I skipped too many classes, learned to catch up the lessons on hospital bed with the help of my dad. It's not a homeschooling but hospitalbedschooling , though. My parents were so sure I could not get promoted during my elementary education and somewhat hypnotized me if I did get to the higher class, it's merely bonus from the God.
I DID get a lot of bonus. I got promoted every year.
I did survived from all those disease. I live. I have lived through the years.
I continued to Junior High, coping with the school mates who were born with silver spoon, managed to be exempted from prep course for free because this best friend of mine whose brain is somewhat hopeless but whose parents are too ambitious to put her into top school refused to take the class without me in her company despite the fact that my parents could never afford the fee, I was like sponsored by my friend’s parents. I was just damn lucky, or got another bonus from God.
Another critical period was when I found the right guy to trust but politically wrong to marry practically because of different faith. Many were sure that my relationship would not last. Many predicted he would back off and desert me. The idea of getting married was more likely to be considered a Malin Kundang rather than a Cinderella tale , as choosing this guy means that I will be a disgrace to the family and cursed.
I did not give up. I did not talk back (for once in my life) to my mother. I just said , “ I was just asking for your permission to let me marry this guy and live my own life” which results in my being expelled from the house. I left my parents house but I did not get offended. Even this guy was afraid that I would do something stupid, like committing suicide or perhaps some other destructive ideas. Instead of saying “ I’ll climb the mountain to win you”, surprisingly he said :” I hope it’s alright with you if we can not marry anyway”. Boom !
I was too numb to be in pain. I could not cry anymore. I did not go to anyone and whine about life. I was unsure what was coming. As always, in time like this, I did not dare to wish for anything. But then God listens to you even you do not dare to talk to him. My parents agreed to let me proceed the wedding. We did get married.
Once I thought that I got a hang of things and settled with a job: regular one, average salary, close distance from my residence. I thought , like everybody else in that company , it was quite OK. All say that I have 3 kids to take care of, so I just need to raise them and be a good mom while the job does not have to be something I pursued. It was only something to kill my time. Rite. I thought so, then I realized I would never be resilient to accountability. I smelled too many things fishy and I just could no longer feel that I should be doing something I believe in while the others do not. I just do not fit in anymore. Things went so rough and unhealthy.
In the end, I just have to believe that nothing happens for no reason. That I should believe that God has again given me another package of bonus. New land of hope, new people to meet, new thing to learn. It’s not always about money, you know.
Monday, March 22, 2010
Upon Books and Magazines and Friends
I love reading , correction : collecting , books. Books can spend me a
fortune. I feel secure having them as my reference. I always go back
to my books when I need some information. Proudly will lend friends some
of them as they ask about certain things. I feel comfortable checking
the table of content, index and all that I need. And I always come back to them. They never bore me. They are plain, no tricky fonts nor pictures, no ads. Just as it is.
You might ask : how about magazines? Well, I might grab them when I was in the beauty salon, desperately waiting for my hairstylist. I do not seem to find the reason to buy or even worse to collect them. Magazines are not for me to keep. I take a glimpse on them, might try to like them, but I never succeed.
Friends, to me, fall to two categories : the book and magazine types, if I may compare. Let me define it for you.
The book friends do not mean they are the bookworms, though. To me the book ones are the ones who resemble the quality and value book : as it is. They are plain and are not meant for entertainment. They do not strive so hard for me to take a look at. They have solid cover, exact position in certain location in my heart. They are there, constantly, and easy to be found, with the map to their heads, opinions, and feeling as clear as the table of content and index in a book. They are meant to be there, in my bookshelf, as my reference, anytime I need to. They remain the same : in terms of quality and endurance. They persistently agree or disagree with me. Again, as it is.
The magazines types of friends come in seasons. In different theme and colors. When I am on their sides, they'll publish the issues about me, even pictures with special fonts. But then they are like magazines : superficial. Again, in season. When the season is off, you are a history. That's what they are. And maybe, just like I do to any magazines, I will say " Oh ya, I have them, but I don't see the point why I should keep them". Anyway, what people do with old magazines?
When some people say "Books and friends should be few, but good ones", I'd rather say "Books should stay, magazines go away".
And, like the magazines I never buy, some friends will still lend me. It's more fun that way.
So, today, I will return all the magazines friends some have lent me. Nothing personal, but, sorry, I wont keep them as my reference. They are merely just magazines.They do not last forever.
You might ask : how about magazines? Well, I might grab them when I was in the beauty salon, desperately waiting for my hairstylist. I do not seem to find the reason to buy or even worse to collect them. Magazines are not for me to keep. I take a glimpse on them, might try to like them, but I never succeed.
Friends, to me, fall to two categories : the book and magazine types, if I may compare. Let me define it for you.
The book friends do not mean they are the bookworms, though. To me the book ones are the ones who resemble the quality and value book : as it is. They are plain and are not meant for entertainment. They do not strive so hard for me to take a look at. They have solid cover, exact position in certain location in my heart. They are there, constantly, and easy to be found, with the map to their heads, opinions, and feeling as clear as the table of content and index in a book. They are meant to be there, in my bookshelf, as my reference, anytime I need to. They remain the same : in terms of quality and endurance. They persistently agree or disagree with me. Again, as it is.
The magazines types of friends come in seasons. In different theme and colors. When I am on their sides, they'll publish the issues about me, even pictures with special fonts. But then they are like magazines : superficial. Again, in season. When the season is off, you are a history. That's what they are. And maybe, just like I do to any magazines, I will say " Oh ya, I have them, but I don't see the point why I should keep them". Anyway, what people do with old magazines?
When some people say "Books and friends should be few, but good ones", I'd rather say "Books should stay, magazines go away".
And, like the magazines I never buy, some friends will still lend me. It's more fun that way.
So, today, I will return all the magazines friends some have lent me. Nothing personal, but, sorry, I wont keep them as my reference. They are merely just magazines.They do not last forever.
Wednesday, March 17, 2010
in (everybody's) good time
I am one of those who believe that everybody can learn. But please note that my sentence is not yet complete without: in his/her own pace. When you start to question how come some people never learn from mistakes, the answer is that because the pace for each of us varies.
Inspired by the occasion of teaching my eldest son to ride a bike, it took me a year to assure him to put off the two small additional wheels at the back of his bike. He often cried and resisted my idea of putting him on the two wheel bike. I myself almost gave up teaching him and let my husband do it. Surprisingly, one good Sunday morning he confidently said “ ibu, I want to learn to ride a bicycle”. So with no question and held my breath hoping that he did not change his mind, in rush I went with him to the public park in our neighborhood. He did wobbled a lot, but he did try at his best until he was in sweat to prove that he is ready to take the chance. Within a week now he can ride a bike just like any other boy and he could even free one hand from the steer. That was about a 6.5 year boy to learn to ride a bike in his own good time.
Long time ago I used to think that I was really in love with a guy that I thought would surely die if we broke up. I was not too desperate to give anything up, but I had to admit that my staying at the dorm every weekend to anticipate his visit was actually the most painful slap on my face to find that he never took time for me. I did not demand for fixed schedule for a date nor intended to check his availability. I did not risk myself nosing around other dorms to catch him in the act seeing another girl like what my friends suspected. I was damn too proud of my charm that he would show up in his own good time. It took me some months to weigh whether the relationship really worth taking. It just took me one single call to realize that we were not meant to be together. From that time on, I learned to recollect my self respect. Next time I knew he just a series of icon in my dreams that faded away. When the time comes, all the wounds were healed.
Some people misjudge my values towards friendship. Well, I do not blame them. I sort of have a shorter list of friends compared to others, in real life or even in whatever on line social network account. I just find the number is not my first priority. They won the privilege to be my friends because they have become what they are, without bothering pretending to be some one too nice, too understanding nor too helpful to be true. I love them when they are around or can not be found. Why? Because I myself am not always available and too helpful to be a real person. They are not required to take my advice and I am not obliged to be whatever person they want be me to be. One thing I am sure, they know that we find our own good time to see each other’s eyes or look after one another in the definition that others might not understand.
Career, just like happiness, is optional. It is something to pursue, but it operates mysteriously within you. Somehow, it will not happen for no reason. You will have to invest in time and relationship to achieve it. You have to give away to any people to be able to get there. Career in family or job, happiness to be around those you love or to be alone without being lonely is free of any terms of conditions. It depends on how you define it and how you work on to get there.
To consider God knows exactly what I need, I believe that what I get is finally what I deserve. I know things will come to be mine in my own good time: A real good man to marry at the right time, good off springs to deliver at the perfect moment, good career to cherish at the right time, good money to spend and to keep at the right moment, good friends to laugh and cry with in time of need in the right dosage to take up at the same time.
In the absence of light, work, and travel on this very early New Saka Year, I owe a thank you for those who make this world worthwhile to live for me, for those who allow some room for me to be myself, and to let me into their lives to share.
Most of all, thank you dear God, for giving me the space and option for personal experience in reaching out for you in a way that I am capable of.
Saturday, March 13, 2010
Move on
Mengutip dari tulisan Nino Sujudi, pemimpin redaksi majalah Men's Health :
" Mungkin sebagian besar orang akan keberatan untuk berpisah dari hal-hal yang punya arti di masa lalu".
Nino memberikan ilustrasi menarik tentang kawannya yang akan pindah ke London dan "menyikat" habis barang-barang miliknya untuk dilego pada garage sale, dan menenteng 1 luggage saja ke London. Alasan kawannya itu sederhana saja, banyak benda-benda dari masa lalunya tidak perlu selalu "menempel" padanya, apalagi jika benda itu tidak pernah dipakai lagi. Cukup disimpan dalam memori atau album foto.
sederhana saja, " Release the past, grasp the future".
Ya, ya, ya.
Saya termasuk orang yang masih harus belajar untuk melepaskan barang-barang dan hal-hal di masa lalu. Kotak pensil hadiah dari kuis majalah Bobo sewaktu SD saja masih saya simpan dengan dalih itu doorprize pertama dalam hidup saya. Belum lagi diktat kuliah jaman jebot, plus surat cinta monyet yang mulai pudar tintanya. Hm. Mau disimpan sampai kapan?
Selain itu, perasaan-perasaan lama, kalo mau dibongkar di laci-laci hati saya: masih ada. Apa yang si A katakan, atau B lakukan kepada saya atau apa yang tidak dilakukan C kepada saya. Semua lengkap tersimpan rapih sebagai repertoire dan jika anda menyebut nama orang tersebut, klik, otomatis ada katalog acuan embel-embel predikat dan kesan saya terhadap orang tersebut. Lalu?
Tiap tahun baru, cenderung resolusi saya adalah mendapatkan hal-hal yang baru, yang belum saya miliki. Tapi Tahun baru Saka kali ini, rasanya daftar itu harus saya ganti. Bukan lagi hal-hal yang harus saya raih, atau benda-benda yang saya miliki. Bukan. Sebelum saya meraih hal-hal yang baru, saya perlu bongkar-bongkar gudang hati saya untuk membuang hal-hal di masa lalu. Untuk apa? Supaya bisa satu hal : MAJU. MOVE ON.
Ya sudahlah, yang sudah sudah. Lembar baru seharusnya tidak tembus ke belakang halaman yang lama dan lapuk.
" Mungkin sebagian besar orang akan keberatan untuk berpisah dari hal-hal yang punya arti di masa lalu".
Nino memberikan ilustrasi menarik tentang kawannya yang akan pindah ke London dan "menyikat" habis barang-barang miliknya untuk dilego pada garage sale, dan menenteng 1 luggage saja ke London. Alasan kawannya itu sederhana saja, banyak benda-benda dari masa lalunya tidak perlu selalu "menempel" padanya, apalagi jika benda itu tidak pernah dipakai lagi. Cukup disimpan dalam memori atau album foto.
sederhana saja, " Release the past, grasp the future".
Ya, ya, ya.
Saya termasuk orang yang masih harus belajar untuk melepaskan barang-barang dan hal-hal di masa lalu. Kotak pensil hadiah dari kuis majalah Bobo sewaktu SD saja masih saya simpan dengan dalih itu doorprize pertama dalam hidup saya. Belum lagi diktat kuliah jaman jebot, plus surat cinta monyet yang mulai pudar tintanya. Hm. Mau disimpan sampai kapan?
Selain itu, perasaan-perasaan lama, kalo mau dibongkar di laci-laci hati saya: masih ada. Apa yang si A katakan, atau B lakukan kepada saya atau apa yang tidak dilakukan C kepada saya. Semua lengkap tersimpan rapih sebagai repertoire dan jika anda menyebut nama orang tersebut, klik, otomatis ada katalog acuan embel-embel predikat dan kesan saya terhadap orang tersebut. Lalu?
Tiap tahun baru, cenderung resolusi saya adalah mendapatkan hal-hal yang baru, yang belum saya miliki. Tapi Tahun baru Saka kali ini, rasanya daftar itu harus saya ganti. Bukan lagi hal-hal yang harus saya raih, atau benda-benda yang saya miliki. Bukan. Sebelum saya meraih hal-hal yang baru, saya perlu bongkar-bongkar gudang hati saya untuk membuang hal-hal di masa lalu. Untuk apa? Supaya bisa satu hal : MAJU. MOVE ON.
Ya sudahlah, yang sudah sudah. Lembar baru seharusnya tidak tembus ke belakang halaman yang lama dan lapuk.
Saturday, February 13, 2010
What my parents forgot to tell me...
They raise me well. but they just forgot to tell me that:
1. living together is not equal to sharing
2. raising children of your own does not mean you know what's best for them
3. parents in law might try to accept you, but not as you are
4. love bring lovers together, enough money and love keep you together
5. some jobs really suck
6. you just cant pretend to smile to those who give you pain in the neck
7. best friends do not last forever
8. level of trust and understanding fluctuate
9. you have the rights to shoo people away
10 anger management means there is nothing you could do but kicking the trash can or slam the door
11. you might want something to happen so badly, but when it comes you feel like running away from it
12. some people are very charming for no reason
13. certification is important, but attitude is fatal
14. money can bring some degree of happiness, but happiness can never bring money. so what?
15. put your hopes high, but it means nothing until you find someone who can take you there
you got more?
Monday, January 18, 2010
What if...
At certain point in your life, you will be at the intersection. No clue at all . You wished that God would be a bit kind to send just a tiny sign behind the signboard. My problem is ...no sign board at all. I told myself that I shouldnt be surprised of any extreme weather that hit me. Been there, done that. Flopped here and there. I stumbled and fell and learned to stand up again.
Then I thought I had some dear friends who would listen to my complains and grudges. But then I asked them to back off . Or I let them leave as if they were not meant to be. Guess I've got to much to bear lately and I am just no longer capable of projecting my fear.
It is really not the job that I am not happy about. This job has been like this. It was just that I gave things up. Just no longer find anyone to look up. After all, no body expected anything from anyone right now. For some people it seemed to be a good condition as you could slow yourself down. For me, I hate to admit that it was more like injecting the poisonous substance to your blood, and before you knew it, you are paralyzed.
It is really not about the desire to have your own dwelling place. It's the soul I have lost to live here as an extended family. I am just not really into it anymore. Not that I didnt try.
What if I am wrong? What if it was me who was selfish, stubborn, snob, intolerant, narrow minded?
What if I these are all about me swimming against the flow? What If I was the one lost?
What if I am the one who did not consider others?
What if I only pretended that I didnt need anyone?
what if..............
Then I thought I had some dear friends who would listen to my complains and grudges. But then I asked them to back off . Or I let them leave as if they were not meant to be. Guess I've got to much to bear lately and I am just no longer capable of projecting my fear.
It is really not the job that I am not happy about. This job has been like this. It was just that I gave things up. Just no longer find anyone to look up. After all, no body expected anything from anyone right now. For some people it seemed to be a good condition as you could slow yourself down. For me, I hate to admit that it was more like injecting the poisonous substance to your blood, and before you knew it, you are paralyzed.
It is really not about the desire to have your own dwelling place. It's the soul I have lost to live here as an extended family. I am just not really into it anymore. Not that I didnt try.
What if I am wrong? What if it was me who was selfish, stubborn, snob, intolerant, narrow minded?
What if I these are all about me swimming against the flow? What If I was the one lost?
What if I am the one who did not consider others?
What if I only pretended that I didnt need anyone?
what if..............
Tuesday, January 12, 2010
Ketukan hati
Saya mengaku senang mengajar. Hati saya ciut mendengar keluhan si sulung,
" Ibu, buku-buku sekolahnya dikembalikan saja ke bu guru. Wisnu mau berhenti sekolah. Pelajarannya susah".
Saya mengaku perduli dengan dunia pendidikan. Lidah saya kelu mendengar keluhan si tengah.
" Kenapa cuma Bli Wisnu yang sekolah setiap hari? Akira mau dong sekolah"
Saya berjanji sana-sini, pergi kesana-kemari, dengan alasan "demi anak-anak". Kaki saya lemas mendengar si bungsu berkata,
" Andhika mau sama ibu, nggak mau sama mbak."
Suatu malam yang mengantar perasaan gelisah, saya meracau tengah malam menceritakan angan-angan saya. Teman tidur saya hanya mengiyakan. Saya berpanjang-panjang orasi tentang TK dekat rumah yang tak terurus karena kurang dana, keinginan saya mendirikan klub baca, hasrat untuk membuat pelatihan bagi para pembantu yang menyuapi anak-anak di taman dekat rumah sambil bercengkerama mesra cenderung mesum dengan pacarnya tanpa diketahui majikannya. Semua terhenti dengan gumaman teman tidur saya tadi ,
" whatever makes you happy".
Aih aih. Itu rupanya wangsit yang saya dapatkan. seharusnya saya yang sekarang berkata kepada mereka berempat, " if it makes u happy, it shouldnt be that bad for me to do it". Saya niatkan, malam ini juga.
" Ibu, buku-buku sekolahnya dikembalikan saja ke bu guru. Wisnu mau berhenti sekolah. Pelajarannya susah".
Saya mengaku perduli dengan dunia pendidikan. Lidah saya kelu mendengar keluhan si tengah.
" Kenapa cuma Bli Wisnu yang sekolah setiap hari? Akira mau dong sekolah"
Saya berjanji sana-sini, pergi kesana-kemari, dengan alasan "demi anak-anak". Kaki saya lemas mendengar si bungsu berkata,
" Andhika mau sama ibu, nggak mau sama mbak."
Suatu malam yang mengantar perasaan gelisah, saya meracau tengah malam menceritakan angan-angan saya. Teman tidur saya hanya mengiyakan. Saya berpanjang-panjang orasi tentang TK dekat rumah yang tak terurus karena kurang dana, keinginan saya mendirikan klub baca, hasrat untuk membuat pelatihan bagi para pembantu yang menyuapi anak-anak di taman dekat rumah sambil bercengkerama mesra cenderung mesum dengan pacarnya tanpa diketahui majikannya. Semua terhenti dengan gumaman teman tidur saya tadi ,
" whatever makes you happy".
Aih aih. Itu rupanya wangsit yang saya dapatkan. seharusnya saya yang sekarang berkata kepada mereka berempat, " if it makes u happy, it shouldnt be that bad for me to do it". Saya niatkan, malam ini juga.
Subscribe to:
Posts (Atom)